Mohon tunggu...
Clairine Aprillia
Clairine Aprillia Mohon Tunggu... Tentara - Pelajar

Swag

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Demokrasi telah Ternodai, Benarkah?

29 November 2018   19:56 Diperbarui: 29 November 2018   20:06 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Indonesia adalah salah satu  negara yang menyatakan dirinya sebagai sebuah negara demokrasi. Jika menengok ke belakang, bukanlah suatu hal yang mudah  untuk menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi seperti saat ini. Panjang perjalanan yang harus Indonesia lalui, dan begitu mahal harga yang harus dibayar oleh Indonesia. 

Tidak dapat dipungkiri, bahwa pencapaian Indonesia saat ini sebagai sebuah negara demokrasi tidak lepas dari torehan sejarah yang begitu panjang. Dimulai dari sistem pemerintahan parlementer (14 November 1945-27 Desember 1949), bentuk negara serikat/ RIS (27 Desember 1949-17 Agustus 1950), demokrasi liberal (17 Agustus 1950- 5 Juli 1959), demokrasi terpimpin (5 Juli 1959- 11 Maret 1966), masa orde baru (11 Maret 1966- 21 Mei 1998), sampai dengan masa reformasi (21 Mei 1998- sekarang) pernah dijajal oleh Indonesia. Hal tersebut memang bukanlah suatu hal yang patut untuk dipamerkan, namun patut untuk diberi apresiasi. Pertanyaannya adalah, mampukah para pemimpin bangsa menjaga kemurnian dari demokrasi yang telah lama diperjuangkan?

Saat ini Indonesia tengah disibukkan oleh pagelaran pemilu tahun 2019 yang akan datang, dimana pemilu sendiri merupakan salah satu perwujudan dari demokrasi. Event 5 tahunan ini memiliki daya tarik yang sungguh luar biasa untuk menyita simpati rakyat Indonesia. Bahkan bisa dibilang bahwa pemilu 2019 telah menjadi buah bibir di segala penjuru negeri. Salah satu faktor yang membuat pemilu 2019 menjadi pembicaraan hangat di tengah masyarakat adalah tidak lain karena capres dan cawapres yang akan maju pada Pemilu 2019. Mereka adalah pasangan  Joko Widodo dan Ma'ruf Amin & Prabowo dan Sandiaga Uno. Tidak bisa dipungkiri bahwa mereka adalah tokoh-tokoh fenomenal yang memiliki popularitas luar biasa. Sebagai pasangan calon (paslon) terpilih, pastinya tokoh-tokoh fenomenal tersebut tidak lepas dari suatu dinamika yang bernama kampanye.

Kampanye adalah suatu hal yang sudah lazim dilakukan oleh para pasangan calon (paslon) terpilih jelang pemilihan umum (pemilu). Biasanya kampanye dijadikan sebagai sebuah ajang bagi para paslon untuk memperoleh simpati sebanyak-banyaknya, dengan harapan hal tersebut dapat mendongkrak perolehan suara mereka pada saat pemilu nantinya. Namun sepertinya, kampanye dewasa ini tidak lagi menjunjung nilai-nilai demokrasi yang seharusnya, dengan kata lain telah banyak penyelewengan yang terjadi. 

Menurut pasal 1 ayat 26 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum DPR, DPD, dan DPRD, kampanye adalah suatu kegiatan yang dijadikan sebagai sebuah sarana untuk mensosialisasikan visi, misi, dan program kerja yang dimiliki oleh masing-masing peserta pemilu. Namun pada kenyataannya, akhir-akhir ini kampanye telah terkontaminasi oleh hal-hal yang kurang pantas. A. Zani Bisri (2008) menyatakan bahwa faktor terbesar pilihan para pemilih ialah kepribadian peserta pemilu/ personality calon. Alhasil, akhirnya para peserta pemilu berusaha menciptakan image sebaik mungkin kepada masyarakat atau sering juga disebut sebagai pencitraan. 

Tidak cukup hanya dengan pencitraan, para peserta pemilu juga berlomba-lomba merebut perhatian masyarakat dengan mencuatkan berita, isu, dan opini yang dianggap mampu menggemparkan masyarakat. Tujuannya tidak lain adalah agar peserta pemilu yang bersangkutan menjadi pusat perhatian masyarakat dan dianggap memiliki pengaruh sosial yang besar. Hal tersebut tentu dapat menjadi salah satu batu lompatan bagi para peserta pemilu untuk semakin dekat dengan tujuannya yaitu terpilih menjadi pemimpin bangsa (petinggi negara).

Pada dasarnya ada 4 bentuk kampanye yang mungkin saja terjadi di negara-negara demokrasi, tidak terkecuali Indonesia. Bentuk-bentuk kampanye tersebut di antaranya adalah kampanye positif, kampanye negatif, kampanye abu-abu, dan kampanye hitam. Kampanye positif cenderung memperkenalkan visi, misi, program kerja, dan calon pemimpin yang menjadi peserta pemilu secara pribadi kepada masyarakat. Kampanye negatif cenderung dilakukan untuk menyerang visi, misi, program kerja, dan calon pemimpin lawan politiknya. Kampanye abu-abu sendiri adalah kampanye yang dilakukan untuk menyerang lawan politik dengan berbagai praduga sehingga menimbulkan suatu kecurigaan. Sedangkan kampanye hitam mengarah pada pembunuhan karakter lawan politik, misalnya melalui fitnah (tuduhan tanpa adanya barang bukti). 

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka jika ditinjau ulang, seharusnya kampanye yang dilakukan oleh para peserta pemilu ialah kampanye positif. Melalui kampanye positif, diharapkan agar para peserta pemilu dapat menunjukan kualitas dan kompetensi yang mereka miliki untuk menarik simpati masyarakat, dan bukan hanya sekedar mengandalkan pencitraan. Namun pada kenyataannya, kampanye di Indonesia lebih mengarah kepada kampanye negatif, abu-abu, dan hitam. Hal tersebut sangatlah terasa terutama pada saat pilpres 2014 dan pemilu 2019. Masyarakat pastilah dapat merasakan bahwa kampanye dewasa ini lebih dititik beratkan pada gagasan-gagasan kontroversial untuk saling menjatuhkan. Kampanye para peserta pemilu lebih didominasi oleh daftar panjang keburukan lawan, dibandingkan dengan sosialisasi visi, misi, dan program kerja yang dimiliki. Hal-hal tersebut ditandai dengan munculnya beberapa opini persuasif yang tersebar luas di media massa. Opini-opini tersebut di antaranya adalah gagasan bahwa Prabowo masih terkait orde baru karena ia merupakan menantu Soeharto, Prabowo yang diduga melakukan penculikan dan pelanggaran HAM tahun 1998, Jokowi merupakan boneka Megawati, Jokowi diduga terlibat korupsi Trans Jakarta, dan masih banyak lagi.

Opini-opini tersebut dapat dengan mudah dijumpai di berbagai media sosial. Meskipun baru sekedar opini tanda adanya bukti, namun tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai opini atau praduga tersebut dapat mempengaruhi pemikiran masyarakat mengenai peserta pemilu yang bersangkutan. Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pilihan masyarakat tidak lagi pilihan murni berdasarkan kualitas tetapi telah tercemar oleh berbagai hal-hal yang tidak seharusnya dijadikan sebagai sebuah pertimbangan dalam memilih calon pemimpin. Maka dapat dikatakan bahwa kampanye dewasa ini bukan lagi menjadi ajang untuk adu kualitas tetapi menjadi suatu panggung sandiwara yang diwarnai dengan berbagai gimik untuk saling menjatuhkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun