Akhir-akhir ini, berita tentang kekerasan terhadap anak kembali marak di media sosial. Salah satunya adalah kasus penganiayaan seorang anak perempuan oleh anggota keluarganya di Nias Selatan. Anak perempuan itu berinisial NN (10). Berdasarkan keterangan yang diperoleh polisi, NN tinggal bersama tante dan pamannya sejak kecil karena orang tuanya berpisah. Namun, alih-alih mendapatkan perlindungan dan masa kecil yang layak seperti anak-anak pada umumnya, NN justru mengalami beberapa bentuk penganiayaan sebagai balasan untuk hal-hal kecil yang membuat tantenya kesal.Â
NN bukanlah satu-satunya korban dari kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Kejadian seperti ini merupakan fenomena yang sudah berlangsung secara turun-temurun. Beberapa bulan lalu, seorang ayah di Surabaya dilaporkan karena telah menganiaya anaknya yang merupakan penyandang disabilitas. Di Jakarta Timur, seorang anak laki-laki berusia lima tahun dicambuk menggunakan ikat pinggang dan sapu lidi oleh orangtuanya. Tak hanya sampai situ, di Kabupaten Pesawaran, seorang pengurus pondok pesantren menyundut kulit santrinya menggunakan pisau panas. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa meskipun telah ada berbagai regulasi dan hukum terkait perlindungan anak, masalah kekerasan terhadap anak di Indonesia masih jauh dari kata selesai. Selain kekerasan fisik, anak-anak juga rentan terhadap bentuk kekerasan lainnya, seperti perdagangan anak dan eksploitasi seksual. Baru-baru ini, Kepolisian Resor Kulon Progo menemukan akun Facebook yang terlibat dalam praktik jual beli bayi. Sementara itu, di Bintan Timur, polisi menangkap dua muncikari yang mencoba menjual anak-anak di bawah umur untuk dijadikan pekerja seks komersial (PSK).
Berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, prevalensi kekerasan terhadap anak pada 2024 meningkat dibandingkan 2021. Salah satu penyebab utama terjadinya hal tersebut adalah kemiskinan atau kesulitan ekonomi yang dihadapi para orang tua. Namun, pemicu kekerasan terhadap anak tentunya tidak sesederhana masalah ekonomi. Seperti halnya diskriminasi rasial dan seksisme yang pernah mendominasi narasi pada masa lalu, diskriminasi terhadap anak sering kali dibenarkan dengan argumen bahwa anak-anak belum bisa berpikir rasional atau bertanggung jawab karena otak mereka yang belum berkembang sepenuhnya. Pandangan ini mencerminkan adanya ideologi hierarki sosial yang merendahkan anak-anak sebagai individu dan menganggap hak mereka tidak setara dengan orang dewasa.
Pandangan kultural yang menganggap anak sebagai "milik" orang tua dan harus tunduk sepenuhnya pada kehendak orang tua juga sering kali dijadikan pembenaran untuk tindakan kekerasan. Justifikasi sosial seperti itu merupakan bentuk ketidakadilan yang perlu dipertanyakan. Sebagai masyarakat yang peduli pada keadilan sosial, kita harus memikirkan kembali bagaimana kita memperlakukan anak-anak. Kita harus mengakui bahwa mereka berhak dilindungi dan diberi kesempatan yang sama untuk memberikan suara, mendapatkan hak, dan menjalankan tanggung jawab sesuai kemampuan mereka.
Peran pemerintah sangatlah penting untuk mengatasi masalah ini, terutama dalam menangani isu kemiskinan dan menciptakan lapangan pekerjaan. Namun, peran serta kita sebagai warga negara juga sangat dibutuhkan. Kita harus memiliki keberanian untuk mencegah tindakan kekerasan terhadap anak dan melaporkannya kepada pihak berwajib. Indonesia sudah memiliki beberapa hukum yang mengatur perlindungan anak, seperti UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Meskipun begitu, tak dapat dipungkiri bahwa realitas pelaksanaannya masih sangat jauh dari harapan. Di daerah pedesaan, kemiskinan, pernikahan dini, rendahnya pendidikan, dan masalah kesehatan mengakibatkan anak-anak, terutama perempuan, menjadi lebih rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan.Â
Penegakan hukum dan peningkatan kesadaran masyarakat harus ditingkatkan secara maksimal untuk mengatasi masalah ini. Beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk melindungi hak anak-anak bangsa antara lain kampanye penghapusan kekerasan terhadap anak melalui pemasangan stiker, pelatihan untuk orang tua, serta dukungan dari pemerintah daerah. Kita perlu mengubah cara pandang terhadap anak-anak, agar mereka tidak hanya dilindungi, tetapi juga diberikan ruang untuk mengemukakan pendapat dan mendapatkan hak-hak mereka seutuhnya sebagai warga negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI