Beberapa waktu lalu Ahmet T. Kuru menerbitkan buku yang juga telah diterjemahkan dengan judul Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan. Buku ini membongkar alasan-alasan mengapa negara-negara mayoritas muslim sekerang begitu tertinggal, baik secara ekonomi, intelektual, dan demokrasi. Buku ini sekiranya perlu dibaca dan direnungi sebagai otokritik terhadap situasi dunia islam sekarang.Â
Saya sendiri menganggap memang pada saat ini, dunia muslim sedang berada pada titik terendahnya. Secara intelektual kontribusi umat muslim pada pengetahuan dan tekmologi modern sangat sedikit dibangingkan orang-orang Eropa dan Amerika. Ketika ditanya apa yang kontribusi bagi ilmu pengetahuan, biasanya selalu merujuk pada Islamic Golden Age (Masa Keemasan Islam abad ke-8) di mana sosok-sosok seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Al-Khawarizmi, serta ilmuan-ilmuan sezaman tersebut lahir. Zaman ini menurut Kuru sebanding dengan zaman Renaissance di Italia abad pada tahun 1500-an. Namun kita harus sadar bahwa itu telah ratusan tahun berlalu. Ibnu Sina, tokoh penting dalam ilmu kedokteran meninggal 987 tahun yang lalu dan Ibnu Khaldun salah satu sejarawan dan sosiolog terkemuka dimakamkan pada 692 tahun yang lalu.
Secara ekonomi memang beberapa negara-negara muslim khususnya di negara kaya seperti di negara teluk dan Brunei. Tapi harus diingat bila di bawah tanah mereka tidak terdapat minyak tidak akan ada gedung-gedung mewah di sana. Dalam sudut pandang demokrasi pun negara-negara tersebut cenderung tidak demokratis. Brunei, Bahrain, Jordan, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia, dan the United Arab Emirates memiliki raja dengan kekuasan besar (absolute monarchy). Iran yang otoritarian ketika dikuasi monarki sekuler  setelah revolusi pada 1979 dan menjadi negara demokrasi islam tetap melanjutkan jalur otoritarianisme.Â
Muslim dan ideologi islamis menjadi mayoritas  kelompok-kelompok teroris (mulai dari Al-Qaeda sampai Boko Haram). Tentu saja terorisme atau pemberontakan bercorak islam sendiri adalah gejala baru pada akhir abad ke-20. Sebelumnya kelompok-kelompok pemberontak adalah golongan sosialisme yang sekuler.Â
Tentu saja secara umum jawaban  klasik atas kekerasan, kediktatoran, dan ketertinggalan  biasanya terbagi menjadi dua. Yaitu, internal dan eksternal. Internal adalah jawaban esensialis, para pemikir ini beranggapan bahwa kekerasan dan ketertinggalan umat muslim adalah Islam dan ajaran pada Quran itu sendiri. Tentunya jawaban sini sangat simplifikasi bagi orang-orang yang malas berpikir. Bila orang-orang  yang membaca Quran dan belajar pemikiran Islam langsung menjadi seorang teroris atau keras, berarti Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di dunia harusnya menjadi organisasi teroris terbesar di dunia. Tetapi nyata tidak. NU justru selalu mengutuk tindakan terorisme yang mengatasnamakan agama.
Pendapat kedua, pendapat eksternal sebenarnya lebih masuk akal, yaitu karena sejarah bangsa muslim akibat kolonialisme Eropa yang memiliki dampak jauh kedepan bahkan setelah kemerdekaan. Secara historis kita bisa melihat bagaimana Inggris membuat negara-negara timur tengah menjadi negara-negara monarki. Salah satunya yang paling terkenal adalah pembentukan Saudi Arabia yang dibantu oleh seorang inggris terkenal Thomas Edward Lawrence atau Lawrence of Arabia. Beberapa monarki yang "dipasang" Inggris digulingkan namun muncul diktator baru seperti Sadam Hussein di Iraq atau Khadafi di Libya. Kekaisaran Ottoman sendiri yang dapat menandingi seluruh kekuatan Eropa pada masa jayanya pada akhir Perang Dunia Pertama diinvasi oleh Inggris dan terpaksa melakukan reformasi dengan membentuk negara republik berdasarakan nasionalisme Turki  (berdasarkan bangsa bukan agama seperti Ottoman) dan sekuler. Attaturk yang menjalankan proses reformasi tersebut juga memiliki kekuasaan besar atas negara baru tersebut yang ditantai oleh negara satu partai (partai yang dipimpin Ataturk) selama berpuluh-puluh tahun. Keberadaan kolonialisme Israel dan zionisme pun kerap menjadikan Timur Tengah menjadi negara tidak stabil.
Terdapat jawaban alternatif  yang dipaparkan dalam buku tersebut. Menurut Kuru, salah satu faktor penentu ketertinggalan terlebut adalah aliansi antara Ulama-Negara. Bagaimana kedua kekuatan ini saling memberi legitimasi satu sama lain. Mungkin, contoh paling akurat adalah hubungan antara Kerajaan Saudi (negara atau politik) dengan Wahabi (agama atau ulama). Iran melangkah lebih jauh lagi, Ayatullah Khomeini meleburkan instansi ulama dan politik menjadi satu dengan posisi Pemimpin Tertinggi Iran yang posisinya di atas Presiden.
Kuru berpendapat bahwa aliansi Ulama-Negara ini bukanlah secara esensial ada dalam islam dan terbentuk akibat faktor-faktor sejarah. Kuru melihat bahwa ulama-ulama besar klasik seperi Imam Hanifa merupakan seorang pedagang yang tidak mau berafiliasi dengan negara meskipun memiliki kompeten sebagai ketua hakim yang ditujuk oleh khalifah ketika itu. Ia berpendapat bawa aliansi Ulama-Negara yang tradisinya terus berlanjut dimulai ketika masa Kesultanan Seljuk pada abad ke-11. Seljuk sendiri merupakan bangsa Turki, bangsa ini merupakan bangsa nomaden yang memiliki tradisi bertarung dan militer yang kuat bahkan sebelum memeluk Islam.Â
Menurut Kuru, kerja sama yang erat antara ulama dan negara menjamin monopoli agama  dan memberikan legitimasi kepada negara. Ulama ortodox yang "resmi" negara menghalangi penafsiran-penafsiran alternatif terhadap Islam, sementara negara telah memanfaatkan agama untuk membenarkan tindakan keras terhadap lawan politik. Aliansi ulama-negara sendiri menurut Kuru  terinspirasi bukan oleh ajaran Islam melainkan oleh Kekaisaran Sasanid Persia yang merupakan teokrasi Zoroaster. Dalam wasiatnya, Raja Ardasyir I mengatakan "Ketauilah, kerajaan dan agama adalah saudara kembar". Uniknya perkataan ini justru diulangi oleh pemikir Islam seperti Razi dan Al Ghazali yang mengaggap kata-kata tersebut adalah perkataan Nabi. Dalam budaya Zoroaster lagi, terdapat Surat Tansar yang mengatakan "Agama dan Negara lahir dari satu rahim, digabungkan bersama dan tidak pernah dipisahkan". Kedua literatur masa Zoroaster Persia tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Arab, kemungkinan pada masa akhir dinasti Umayyah. Kemudian secara intelektual dilegitimasi pemikir Islam seperti Al Ghazali dan juga Ibnu Tammiyah yang mengulkan bahwa bersama antara penguasa dan ulama. Aliansi Ulama-Negara ini dilanjutkan dari Seljuk, Ayyubiyah, Mamluk, Timur Leng, Ottoman, Savafid, dan Mughal.
Pendirian ortodox Sunni, yang nantinya menjadi "resmi" atas kekasisaran-kekaisaran Sunni Islam dikristalkan ketika Khalifah Abbisiyah Qadir (991-1031)  demi menggabungkan kekutan dengan kesultanan-kesultanan Sunni lainnya untuk melawan dinasti Syiah seperti Buwahi dan Fatimiyah. Pada 1017 sang Khalifah mengeluarkan dekrit melawan kelompok heterodox, termasuk Mu'tazilah yang mayoritasnya merupakan para filsuf dan ilmuan Islam seperti Ibnu Sina dan Al Farabi, juga kelompok Syiah. Hal tersebut dikristalkan lagi oleh Imam Al-Ghazali dalam buku Tahafut al-Tahafut yang mengkritik keras para filsuf. Tradisi ini terus berjalan sehingga minat-minat terhadap filsafat maupun ilmu alam lama kelamaan terkikis perlahan-lahan dan diperburuk lagi oleh invasi mongol atas Baghdad yang merupakan pusat ilmu pengetahuan pada 1258.