Hujan datang dengan tidak tau diri, petir-petir  membentak seperti sedang terjadi pemberontan di ujung langit sana, hewan-hewan kecil kembali ke kandangnya, hewan-hewan besar cuma terlihat matanya yang melas, dewa-dewa tubir marah, membelah langit  dengan bebas dengan tangannya, membelah lautan dengan kesewenang-wenangannya.
Dia mati. Manusia-manusia  itu. Ia sudah mati. Iya, kakek-kakek itu, bukan rohnya yang dipanggil Yang Kuasa tapi harapan dan cintanya itu yang  mati, anaknya diambil Ilahi , Istrinya sudah tidak mengingatnya lagi. Kakek yang malang.
Terima kasih untuk langit, kau sudah berbagi cerita dengan hujanmu. Terima kasih untuk mayat-mayat, kau telah berbagi cerita hidupmu. Terima kasih nabi-nabi, kau telah memberitahu bagaimana menjadi manusia. Terimakasih raja-raja, kau telah menjadikan semuanya budak. Tidak ada kata-kata cinta di sini seperti yang yang biasa diucapkan penyair cengeng.Â
Ke mana dewa-dewa itu pergi? Semuanya sudah reda. Bumi ini sudah  dipelintir olehnya seenak jidat tanpa pernah meminta maaf. Ah justru yang di bawah yang meminta maaf. Tiang-tiang kapal hancur, bersama harapan sang nelayan, juga  bayi-bayi menangis minta susu ibunya yang telah mati.
Banjir melanda, menghabiskan peradaban-peradaban kecil  yang bunyinya pun tak terdengar ke telinga perempuan tua. Habis sudah, air mengalir,  yang membuat kehidupan juga yang telah menghancurkan kehidupan.  Di dalam pikiran unta-unta padang pasir berkata,  "ya ini memang kehendak Yang di Atas, jalani saja, ini sudah takdir". Ah takdir, indah sekali kau memainkan bayi-bayi mungil yang polos, apakah keluguannya tak membuat matamu berkunang-kunang.
Oh Dewa-Dewa di langit yang agung, yang memorakporandakan dunia dengan mudahnya, beritaukanlah bayi-bayi itu bagai mana cara mengikhlaskan takdir, mereka tidak tahu apa apa, ibunya sudah tidak ada, yang tersisa hanya air  tangisnya.
Singa-singa yang sok menjadi raja hewan mati, dengan muka konyolnya di depan tikus-tikus yang hidup. Semut-semut berkeliaran mencari tempat baru. Ikan-ikan yang tak pernah menangis akhirnya meneteskan air mata. Hidup semangkin kelam, kita menjadi saksi akan kekuatan Ilahi, kita menjadi saksi atas apa yang terjadi.
Tetapi sudah lupa kah kalian, bahwa kematian itu wajar, kenapa merasa bahwa semuanya akan berakhir, toh kita juga akan mati. Wahai teman-temanku yang baik, aku bukan Muhammad, bukan Kristus, bukan Budha, juga bukan Sokrates, ataupun yang lain. Aku manusia, sama seperti yang di ujung sana, yang tengah asyik memainkan kecapinya. Aku cuma pencari tanda Ilahi yang sedang menuju ke lautan suci dari bara-bara kasih sayang yang sunyi. Lantunkanlah sekali lagi lagu kesedihan untuk manusia.
Sudah lah, lelah aku duduk di sini dan menulis kata-kata yang mungkin tidak akan pernah dibaca. Namaku Sulaiman, tidak penting siapa aku dan dari mana asalku, kuberi tahu juga kalian tak akan tahu. Sudah tiga bulan aku di tempat ini, di kota pelabuhan ini. Rencananya aku mau ikut dengan kapal selanjutnya menuju tanah yang indah yang bernama Yerussalem. Sudah lama aku ingin ke sana, katanya Nabi-Nabi pernah tinggal disana, termasuk Yesus tuhan bagi orang Nasrani. Beberapa ratus tahun yang lalu katanya terjadi perang di sana yang memakan ribuan nyawa korban. Apa arti nyawa bagi monster bernama perang? entahlah, aku ingin tetap pergi kesana.