Tiga hari yang lalu aku bertemu dengan temanku yang bernama Benedict. Dia seorang yang memengang kendali atas kapal yang akan kunaiki nanti. Tiga bulan di kota ini tidak pernah membuatku bosan karena selalu ada saja kejadian-kejadian unik di tempat kacau ini. Terkadang aku melihat pencuri yang dikejar habis-habisan oleh pedagang, terkadang aku melihat ikan-ikan jatuh berserakan karena sang nelayan terpeleset, dan terkadang pula aku melihat kapal dengan salib Kristus berlabuh dan turun dengan membawa mayat-mayat sehabis perang, aku sendiri tidak tahu mayat-mayat itu dikubur di mana, dan aku juga sendiri tak tahu perang apa yang mereka lakukan. Bagiku sendiri perang adalah nuansa klasik yang diimingi harapan serta keyakinan kebahagian sesudah menyelesaikan tugasnya, sebatas keyakinan itu yang membuat perang tak bernah berhenti, bahkan dari langit paling ujung sekalipun. Mayat-mayat yang berserakan itu katanya dibuang di  pedalam,  aku sendiri belum pernah melihatnya langsung.Â
Hari ini adalah hari keberangkatanku menuju  hidup baru, ombak-ombak sangat tenang seperti sedang menari-nari dibawah terik matahari, para wanita-wanita cantik entah kenapa banyak datang ke pelabuhan hari ini, seperti  datang untuk mengucapkan salam perpisahan denganku. Akhirnya hari ini aku naik kapal, rindu sekali rasanya menginjakkan kaki dan mendengar suara hentakan kayu ini.
Para pekerja mulai memasukan barang dagangan, aku kenal salah seorang pedagang yang akan naik kapal ini bersama ku, seorang yang angkuh sejak awal hidupnya. Akhirnya aku melihat dia menuju kapal ini didampingi dengan pengawalnya. Seorang saudagar sukses dengan kuasanya yang besar pula.Â
Orhan, seorang bajingan Turki, bangsawan tengik dari kerajaan Osmani  datang menghampiriku dengan perutnya menghadap ke depan.
____________
Bryna
Jatinangor, April 2016Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H