Media massa merupakan salah satu hal terpenting dalam era globalisasi, dimana informasi telah menjadi suatu kebutuhan penting bagi setiap individu. Terdapat berbagai jenis informasi yang disajikan oleh media massa, salah satu bentuknya adalah iklan. Iklan merupakan suatu pesan atau berita yang ditunjukan kepada masyarakat luas tentang produk ataupun jasa yang ditawarkan dengan cara semenarik mungkin dan bertujuan untuk memikat konsumen agar membeli produknya atau menggunakan jasanya.
Dalam dunia periklanan banyak berbagai macam cara yang dilakukan oleh pemasang iklan agar mendapatkan perhatian dari calon konsumennya. Salah satunya adalah dengan cara mempergunakan perempuan dalam iklannya. Perempuan dijadikan objek utama dalam iklan dan dilakukan dengan cara mengeksploitasinya, baik eksploitasi dalam bentuk tubuh, ekspresi atau mimik wajah bahkan suara. Bentuk eksploitasi tersebut dapat kita lihat dalam media iklan yang kerap kali perempuan dijadikan objek seksual, dimana tubuh perempuan dijadikan alat untuk memancing daya tarik para konsumen. Serta mengeksplor sensualitas tubuh perempuan guna memanfaatkannya sebagai alat untuk menjual produk ataupun jasa yang di iklankannya.
Sudah banyak fakta yang membuktikan bahwa perempuan tidak luput dari dunia periklanan untuk dieksploitasi dan dijadikan objek utama. Contoh beberapa kasusnya adalah dalam iklan kondom, dimana sensualitas perempuan ditampilkan secara jelas. Dan sebagian besar iklan parfume menunjukan adegan ketika seorang laki – laki menggunakan parfume tersebut para perempuan akan langsung datang menghampirinya dan menciumi wangi tubuh laki – laki tersebut. Sebagian besar iklan sabun dan handbody juga menggunakan perempuan dalam iklannya, dimana iklan sabun menunjukan bagian – bagian tubuh perempuan yang mulus dan putih. Lain halnya dalam iklan produk bayi. Dalam iklan ini hanya menunjukan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya yang seolah – olah kodrat perempuan antara lain merawat anak dan tidak ada adegan seorang bayi dengan ayahnya.
Keindahan perempuan seringkali dijadikan objek yang sangat menguntungkan bagi pelaku media. Di dalam periklanan, perempuan dijadikan komoditif utama dan dijadikan simbol dalam seni – seni komersial. Pengeksploitasian secara besar – besaran dalam dunia periklanan Indonesia sudah banyak terjadi contohnya seperti beberapa kasus diatas. Menurut Suryandaru (2004) figur model iklan yang dianggap lebih mampu menciptakan citra daya tarik adalah berbagai “potensi” yang dimiliki oleh kaum perempuan. Oleh karena itu, sudah jelas terlihat bahwa perempuan dijadikan objek utama dalam iklan karena dalam sebagian besar iklan menggunakan perempuan sebagai alat daya tarik utama untuk menarik para konsumen.
Menurut Kasali (1995) dan Widyatama (2005), iklan komersial selalu memiliki tujuan akhir mempersuasi dan menarik khalayak untuk respek terhadap produk yang ditawarkan. Untuk itu, perempuan dijadikan objek utama karena penggunaan perempuan dalam iklan – iklan komersial pada umumnya selalu dikaitkan dengan berbagai aura keindahan dan sensualitas yang melekat pada sang model. Pengeksploitasian tubuh perempuan dalam iklan menimbulkan ketidakadilan gender, diantaranya pelecehan seksual, stereotype dan subordinasi.
Banyak produk yang berhubungan langsung dengan perempuan mempergunakan dunia perempuan, semata untuk menarik perhatian. Semua sarat eksploitasi tubuh perempuan yang merendahkan martabat perempuan serta memberikan contoh pelecehan seksual terhadap perempuan. Iklan tidak jarang menampilkan perempuan sebagai objek seks dan instrumen seks. Sebagai contoh iklan kondom, dimana terdapat seorang laki – laki dan 3 orang perempuan sedang bermain biliard bersama. Ketika seorang laki – laki telah memasukkan semua bola biliardnya ia berkata “masih mau lagi?” dan salah satu dari ketiga perempuan itu menjawab “biar mainnya lebih lama” dengan nada bicara yang sensual. Setelah semua bola biliard habis dimainkan si laki – laki bertanya kembali dengan pertanyaan yang sama dan diakhir iklan ketiga perempuan tersebut menjawab hanya dengan suara “rrrrrggghhh” dengan adegan tangan seperti cakaran macan secara bersamaan. Disini, terlihat jelas unsur pelecehan seksualitas perempuan.
Terdapat nilai – nilai gender yang selalu berusaha diusung oleh iklan obat kuat atau stimulan seksual. Perempuan dalam iklan stimulan seksual dicitrakan menjadi pihak yang kalah atau selalu harus melayani dan memenuhi kebutuhan laki – laki dalam hubungan seksual. Sementara itu, laki – laki dicitrakan memiliki kontrol terhadap seksualitas kaum perempuan jika ia mengonsumsi alat atau obat seks tersebut. Dalam iklan itu pula, acap kali perempuan dicitrakan sebagai objek seksual bagi laki – laki macho dan perkasa.
Beda halnya dengan iklan parfume, sabun atau handbody dan produk bayi. Dalam iklan parfume, sabun dan handbody terdapat ketidakadilan gender dalam bentuk stereotype. Dimana terjadinya pelabelan negatif bagi kaum perempuan. Dalam iklan parfume, seolah – olah perempuan selalu tergila – gila oleh laki – laki yang hanya wangi dan bahkan sampai mengejarnya. Ini menunjukan bahwa perempuan memiliki harga diri yang rendah dan menyepelekan perempuan, karena dengan wewangian saja, perempuan sudah bisa tergila – gila. Dalam iklan sabun atau handbody, perempuan dijadikan komoditas utama dimana sebagian besar produk ditujukan bagi kaum perempuan dan membelikan pelabelan negatif tentang perempuan yang ribet dengan dunia perempuannya. Padahal, perawatan bagi tubuh sama – sama dilakukan oleh kaum perempuan maupun laki – laki.
Lain halnya dalam iklan produk bayi yang hanya mempergunakan perempuan sebagai objeknya. Dalam kasus ini terjadi ketidakadilan gender bentuk subordinasi, konstruk masyarakat yang telah memisahkan dan memilah – milah peranan gender antara laki – laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki – laki dalam urusan publik atau produksi. Iklan dalam produk bayi sebagian besar menunjukan bahwa perempuanlah yang hanya memiliki tanggung jawab atas merawat anak, menjadikan merawat anak adalah sebuah kodrat untuk perempuan bukan untuk tanggung jawab bersama antara perempuan (ibu) dan laki – laki (ayah).
Dapat dilihat bahwa parameter keterkaitan media dan perempuan adalah melalui nilai yakni obyek utama dalam iklan. Media massa tentu saja merupakan pihak yang sangat berkepentingan terhadap dieksposnya perempuan untuk bisa di konsumsi khalayak. Eksploitasi seksualitas perempuan dalam iklan komersial merupakan strategi ilusi dan manipulasi yang ditujukan pada khalayak agar tergerak membeli sebuah produk.
Sejauh ini media terkesan tidak sensitif gender, karena masih banyak contoh kasus yang menjadikan perempuan sebagai objek utama dalam iklan. Seharusnya, para insan media lebih menyadari tentang pengelolaan media massa dengan mengedepankan perspektif gender guna menempatkan perempuan dalam posisi semestinya dan tidak termarginalkan oleh insan media massa sehingga tidak terjadinya kesalahpahaman masyarakat terhadap dunianya perempuan dan menghilangkan ketidakadilan gender yang sebagian besar dirasakan oleh kaum perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H