Langit di atas Jakarta tertutup kabut tebal, seolah meramalkan pertanda buruk akan datang. Pada malam tanggal 30 September 1965, di tengah kerumunan, suara tembakan yang berulang-ulang tiba-tiba memecah kesunyian. Pasukan tak dikenal berpindah dari rumah ke rumah dan menculik para jenderal TNI AD yang menjadi sasaran utama mereka. Ketakutan dan kebingungan menyelimuti masyarakat Indonesia. Berita tentang penculikan sang jenderal menyebar dengan cepat bagaikan api di musim kemarau, memicu spekulasi dan kekhawatiran. Sebuah dewan revolusioner muncul dalam situasi kacau dan bertanggung jawab atas insiden penculikan tersebut. Namun di balik klaim tersebut, tersembunyi agenda lain. G-30 S/PKI, yang kemudian diidentikkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), menjadi awal dari pergolakan politik yang berdarah dan merenggut nyawa banyak orang.
G-30 S/PKI, tragedi berdarah yang mengguncang Indonesia pada tahun 1965, bukan hanya peristiwa kelam dalam sejarah negara namun juga merupakan fenomena kompleks yang dikaitkan dengan sosiologi komunikasi. Tragedi ini menjadi laboratorium nyata bagaimana komunikasi, media, dan konstruksi sosial saling berinteraksi dan menimbulkan dampak signifikan di ranah politik dan sosial. G-30 S/PKI menjadi ajang kontestasi narasi dan wacana. Pemerintah Orde Baru dan PKI berusaha mengendalikan informasi dan menyiarkan peristiwa versi mereka sendiri. Media massa digunakan sebagai alat propaganda untuk memanipulasi opini publik dan memperkuat legitimasi politik. Hal ini menunjukkan bagaimana media dapat menjadi alat untuk membangun dan mengkonsolidasikan kekuasaan. Mereka juga menunjukkan bagaimana komunikasi dapat digunakan untuk membangkitkan permusuhan dan memicu konflik. Fenomena ini menunjukkan bagaimana komunikasi dapat menciptakan polarisasi dan menimbulkan konflik sosial. Pentingnya menunjukkan komunikasi terbuka dan transparansi dalam penyelesaian konflik. Kurangnya kejelasan dan keakuratan informasi mengenai peristiwa G-30 S/PKI selama bertahun-tahun justru memperpanjang trauma dan menghambat proses rekonsiliasi nasional. Hal ini menunjukkan betapa komunikasi yang tertutup dan manipulatif dapat menghambat penyelesaian konflik dan rekonsiliasi. Kejadian ini dapat menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana media dapat disalahgunakan untuk tujuan politik. Penting bagi kita untuk memahami bagaimana informasi dan wacana dapat dimanipulasi untuk menyebabkan perpecahan dan konflik. Di era digital saat ini, dengan maraknya informasi yang belum terverifikasi dan hoaks, kita perlu lebih berhati-hati dalam menerima informasi dan melakukan komunikasi yang lebih bertanggung jawab.
Peristiwa 30 September yang juga dikenal dengan peristiwa G-30 S/PKI merupakan salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah Indonesia. Pada malam tanggal 30 September dan pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, terjadi serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal TNI AD yang dilakukan oleh tentara yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G-30 S). Peristiwa ini kemudian menimbulkan konflik dan pertumpahan darah di berbagai daerah, termasuk Jakarta, dan berujung pada peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto.Yang dimana anggota PKI dan pasukan Cakrabirawa tersebut langsung bergegas turun dari truk dan berlarian menyebar ke setiap penjuru rumah. Aksi dari pengkhianatan kekejaman ini menewaskan 7 orang dewan jenderal dan perwira tinggi diantaranya ialah Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswodiharjo, Mayor Jenderal mas Tirtodarmo Haryon, Kapten Lettu Pierre Andreas Tendean, Mayor Jenderal Siswondo Parman dan yang terakhir ialah Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani. Peristiwa itu terjadi di rumah Jenderal Abdul Haris Nasution. Malam itu, pasukan Cakrabirawa mengepung setiap sudut rumah Abdul Haris Nasution. Mereka berkeliling rumah mencari keberadaannya, namun ajudannya, Letnan Pierre Andreas Tendean, mengaku sebagai bapak Nasution. Dan bapak Nasution lolos dari tentara Cakrabirawa dengan melompati tembok untuk masuk ke kedutaan Irak. Bahkan putri Pak Nasution, Ade Irma Suryani Nasution, juga ikut tewas dalam kejadian tersebut karena ditembak sekelompok prajurit Cakrabirawa. Mereka disiksa habis-habisan oleh kelompok PKI. Para jenderal dan kawan-kawan yang tewas dimasukkan ke dalam lubang yang masih disebut lubang buaya hingga saat ini. Karena kejadian tersebut terjadi di rumah Jenderal Abdul Haris Nasution, maka tempat tersebut dijadikan museum di Menteng Japus dan diberi nama Museum Jenderal Dr. Abdul Haris Nasution Sasmitaloka atau sering disebut museum sasmitaloka. Museum ini didirikan untuk mengenang jasa dan perjuangan jenderal besar Dr. Abdul Haris Nasution, salah satu pahlawan nasional Indonesia. Museum ini diresmikan pada tanggal 3 Desember 2008 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pemahaman G-30 S/PKI melalui sosiologi komunikasi akan memberikan pemahaman bagaimana komunikasi, media, dan konstruksi sosial saling bergantung dan mempengaruhi dinamika politik dan festival masyarakat. Sosiologi komunikasi menawarkan pisau analisis yang tajam untuk memahami kompleksitas tragedi ini dan membuka jalan bagi rekonsiliasi nasional dan penyembuhan luka lama. Mempelajari S/PKI G-30 melalui kacamata sosiologi komunikasi tidak hanya sekedar mempelajari masa lalu namun juga membangun masa depan yang lebih baik. Dengan memahami bagaimana komunikasi, media, dan struktur sosial dapat dimanipulasi untuk tujuan politik dan sosial, kita dapat menjadi masyarakat yang lebih kritis, bertanggung jawab, dan siap menghadapi beragam tantangan di era digital. Sosiologi komunikasi memberikan kontribusi penting dalam memahami peristiwa G-30 S/PKI dan membuka jalan bagi rekonsiliasi nasional, mempelajari sejarah kritis, dan membangun masa depan yang damai, toleran dan menghormati nilai-nilai demokrasi.
Nama : Clachieka Wilovia Defarensha
NPM : 23010400178
Dosen : Istisari Bulan Lageni, S.Sos, M.I.KomÂ
Matkul : Sosiologi KomunikasiÂ
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah JakartaÂ