Mohon tunggu...
Citra Yuda Nur Fatihah
Citra Yuda Nur Fatihah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2010, Program Kekhususan Hukum Internasional, Mahasiswa Berprestasi. Kini tengah melanjutkan pendidikan Master Hukum (LL.M.) di Pennsylvania State University, AS. Benci sekali dengan korupsi dan birokrasi/pelayanan yang lamban. Setuju dengan Revolusi Mental dan mendukung Indonesia Bersih Bebas Korupsi!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ini Akibat Sering Bolos Mata Pelajaran PPKn (KWn) Ketika di Sekolah

19 Desember 2013   20:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:44 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13874585251207115857

[caption id="attachment_284873" align="alignnone" width="604" caption="Larangan Mengucapkan Selamat Natal"] [/caption] Tentu dalam tulisan ini saya tidak akan menyimpulkan bagaimana sesungguhnya hukum mengucapkan selamat natal kepada umat Nasrani bagi umat Islam, karena selain saya bukanlah orang yang kompeten dan cukup ilmu untuk membahasnya, juga karena saya berkeyakinan bahwa ini hanyalah soal interpretasi diri kita masing-masing terhadap sumber-sumber hukum utama dalam agama Islam, seperti Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Namun, melalui tulisan ini saya hanya ingin kembali mengajak para pembaca siapa pun dan dimana pun, mari kita kembali pada jati diri kita sebagai bangsa yang plural, bangsa yang mengerti betul arti perbedaan dan bangga akan keanekaragaman.

Mungkin di saat sebagian besar para petinggi negara ini sudah sibuk dengan urusannya masing-masing, sehingga tidak lagi sempat memberikan contoh dan menjadi figur yang patut diteladani, kita seolah terlena dengan berbagai peristiwa yang kian hari kian memicu perpecahan di antara kita. Tanpa kita sadari, perlahan-lahan, jati diri yang semula menghormati perbedaan dan menghargai keanekaragaman tergerus oleh arus kemunafikan, keserakahan, dan keegoisan berkedok agama.

Belum lama ini, misalnya, ada sekelompok organisasi berlandaskan agama yang menolak penempatan dua orang lurah di kawasan Jakarta Selatan, hanya karena sang lurah beda agama dengan agama mayoritas warga kelurahan yang dipimpinnya. Padahal, sebagian besar warga dua kelurahan itu justru sangat menerima keberadaan dan mengakui kinerja bagus dua orang lurahnya tersebut. Sebenarnya masih banyak lagi peristiwa serupa yang kalau dibiarkan terus-menerus tentu akan menjadi duri dalam daging bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Itu mengapa sekarang kita kudu hati-hati melihat sepak terjang kelompok-kelompok semacam ini yang berkedok agama, tetapi yang dilakukannya justru melenceng jauh dari yang diajarkan agamanya.

Jadi, inikah hasil dari pelajaran PPKn (sejak kurikulum 2004 berubah nama menjadi KWn) yang sudah diajarkan sejak kita duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dulu? Beginikah para guru SD kita mengajarkan kita arti tenggang rasa, saling menghargai, ataupun arti dari Sila Kesatu Pancasila? Mereka yang gagal menanamkan nilai-nilai pluralisme itu ataukah kita yang memang tidak pernah mendengarkan mereka ketika di dalam kelas dulu? Atau jangan-jangan, sebagian besar dari kita justru sudah lupa bagaimana bunyi dari Sila Kesatu Pancasila?

Saya masih ingat betul, kira-kira 10-15 tahun yang lalu, bagaimana pelajaran PPKn (ketika itu masih bernama PPKn) mengajarkan untuk selalu menghargai teman-teman yang beda agama. Saya ingat betul dulu di buku PPKn saya ada 5 sekawan (maklum dulu memang baru 5 agama yang diakui di Indonesia) yang selalu berteman dalam situasi dan kondisi apapun. Bahkan, hingga hari ini saya masih ingat nama-nama dari tokohnya. Ali yang beragama Islam, Alex yang beragama Katolik, Theresia untuk yang bergama Protestan, Made yang beragama Hindu, dan Dhana yang beragama Buddha. Pasti selalu diajarkan kalau Theresia pada hari Minggu beribadah di Gereja, Ali yang rumahnya tepat disamping Gereja tidak boleh ribut. Juga, seandainya Made sakit dan dirawat di rumah sakit, pasti keempat teman yang lain datang menjenguk.

Sungguh indah ya pertemanan 5 orang sahabat berbeda agama yang ada di buku PPKn SD saya dulu itu? Seandainya makna dari pelajaran PPKn itu masih melekat di dalam benak segenap rakyat Indonesia hingga dewasa dan tetap diterapkan ketika sudah hidup dalam bermasyarakat, tentulah negeri kita ini akan menjadi tempat yang paling indah, aman, tenteram, dan damai (seperti semboyan-semboyan para caleg di akhir kampanyenya, “Mari Pilih Nomor 3, demi Propinsi XXX yang aman, tenteram, dan damai,” preeettt….). Namun, sepertinya makna pelajaran PPKn itu hilang dengan sendirinya seiring dengan semakin tingginya arus kemunafikan global seperti sekarang.

Ayolah, kalau bukan dari kita yang memulai untuk menggalakkan semangat persatuan dan kesatuan serta rasa tenggang rasa di antara sesama, siapa lagi? Potong kuping saya, kalau pikiran kita masih terus-terusan sempit seperti sekarang, berbagai kasus disintegrasi seperti di Palu, Ambon, Poso, Aceh, dll akan segera berakhir. Jangan naif! Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Dan, perbedaan itu sudah ada jauh sebelum kita lahir ke dunia. Lantas, kita mau bagaimana? Menghilangkannya? Menghancurkannya? Ya, tidak mungkin! Itu mengapa, sejak kecil kita sudah diajarkan arti tenggang rasa dan toleransi atar-umat beragama melalui pelajaran PPKn. Itu mengapa juga sejak TK guru-guru kita sudah mengenalkan nama-nama tempat ibadah yang ada di Indonesia melalui gambar-gambar, untuk menyadarkan kita ya beginilah kita, bangsa yang besar justru karena perbedaan dan keanekaragamnnya itu. Jangan pernah diusik!

Ingat ya, dahulu ketika awal-awal kemerdekaan negara kita, tidaklah sulit bagi para Bapak Pendiri Bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, seperti Malaysia, Brunei Darusslam, Republik Islam Iran, ataupun negara-negara Islam lainnya. Penduduk kita mayoritas 80% beragama Islam dan para pendiri Bangsa itupun sebagian besar beragama Islam, tapi lihat? Mereka lebih memilih Indonesia sebagai negara Kesatuan. Tidak ada agama yang mendominasi atau yang paling benar dalam konsep negara Kesatuan, karena masing-masing pemeluk agama dijamin keberadaannya dan dilindungi hak-haknya dalam Undang-Undang Dasar.

Perlu direnungkan kembali mengapa justru kata-kata “Bhinneka Tunggal Ika” yang ada di dalam genggaman Burung Garuda kita? Mengapa tidak asal comot kata-kata yang bunyinya indah, misalnya,  “Takutlah kepada Tuhan dan Cintai Negara” atau “Hiduplah Perdamaian di Negeriku?” Atau mungkin “Bersekutu Tambah Mutu” seperti yang ada di lambang negara Malaysia atau “Sentiasa Berkhidmat dengan Panduan Tuhan” seperti semboyan negara Brunei Darussalam? Pendiri Bangsa kita tidak memilih kata-kata tersebut dan justru memilih kata Bhinneka (=Berbeda-beda), dan Tunggal (=satu) karena mereka memang ingin mnegaskan bahwa kita adalah Bangsa yang Plural, Bangsa yang memiliki sedemikian banyak perbedaan dan keanekaragaman, tetapi tetap dapat menjadi satu kesatuan di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia! Itulah yang sesungguhnya mereka harapkan dengan merangkai kata-kata dari bahasa Sansekerta itu. Mereka ingin kita selalu sadar dan ingat jati diri kita sebagai bangsa yang akan senantiasa menghargai dan menghormati sesama, bagaimanapun akhirnya perbedaan itu muncul di antara kita, kita akan tetap satu, satu, dan satu!!!

Mari kita hilangkan dan buang jauh-jauh pakaian kenaifan, kesombongan, dan kemunafikan yang dapat mengarah pada perpecahan dan memicu disintegrasi Bangsa. Boleh punya pendapat, silahkan sampaikan pandangan, monggo keluarkan fatwa. Tidak ada yang melarang, sah-sah saja. Wong ini Negara merdeka kok. Tapi, mbok yo jangan sampai memicu perpecahan dan disintegrasi Bangsa. Mbok yo disampaikan dengan cara yang santun, arif, dan bijak. Tidak perlu harus memasang Baliho sebesar Gedung Bioskop ataupun Poster segede gaban, yang tentu saja berpeluang besar menyulut api kebencian antar sesama pemeluk agama. Menjelang perayaan hari besar keagamaan seperti ini memang selalu menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu oleh para Oknum Pemecah Persatuan dan Kesatuan untuk beraksi. Waspadalah jangan sampai terpengaruh apalagi mudah tersulut. Jangan mau kalah, mari kita lawan! Ayo, kita tunjukkan bahwa kita adalah masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan! Ingat dan camkan selalu jati diri kita sebagai Bangsa yang plural, yang menghormati perbedaan, dan yang bangga akan keanekaragaman. Ayo, dibuka kembali buku PPKn/Kwn SD-nya :D

Jakarta, 19 Desember 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun