Melihat rumitnya perundingan antar negara-negara Annex I dalam menyepakati sebuah komitmen baru pasca komitmen periode kedua Protokol Kyoto tidak serta merta menurunkan semangat Indonesia untuk tetap memperjuangkan isu perubahan iklim dan penurunan emisi GRK. Meskipun Indonesia, sebagai negara Non-Annex I, tidak mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara hukum, namun demikian, yang harus menjadi perhatian dan kewajiban Indonesia adalah menjadikan upaya adaptasi perubahan iklim sebagai prioritas utama dalam pembangunan nasional, karena setidaknya dua alasan berikut ini.
Pertama, dampak perubahan iklim dapat menyampingkan hak-hak atas kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar, yakni pangan, papan, dan sandang. Mayoritas masyarakat adat dan masyarakat yang bekerja sebagai nelayan dan petani sangat bergantung kepada variabilitas cuaca terhadap mata pencaharian mereka. Apabila dampak negatif dari perubahan iklim betul-betul terjadi, maka dapat dipastikan akan terjadi distorsi terhadap sumber ekonomi mereka dan mengancam hak-hak kesejahteraan mereka.
Kedua, pengabaian terhadap proses adaptasi perubahan iklim akan memperlambat proses penanggulangan kemiskinan dan pencapaian pembangunan berkelanjutan. Tanpa adanya ancaman perubahan iklim pun, proses penanggulangan kemiskinan dan pencapaian pembangunan berkelanjutan di Indonesia telah mengalami proses yang lambat. Pos-pos pembangunan yang diagendakan dalam Agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, justru yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim, dan paling rentan untuk mengalami pembengkakan biaya.
Dengan memperhatikan kedua alasan tersebut, maka sudah sewajibnya Indonesia menjadikan adaptasi perubahan iklim sebagai agenda pembangunan nasionalnya. Mengintegrasikan unsur adaptasi perubahan iklim kepada pola kebijakan pembangunan harus dipandang sebagai strategi yang diperlukan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Pada isu adaptasi, misalnya, selain telah membuktikannya dengan meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 dan Protokol Kyoto melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004, Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (Perpres RAN-GRK) yang menjadi rencana kerja secara lebih spesifik mengenai pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pembangunan nasional. Keberhasilan penyusunan Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) di dalam negeri inilah yang kian mendorong Indonesia menekankan pada negosiasi pendaftaran (registry)bentuk kegiatan dari aksi mitigasi nasional yang sesuai atau Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs).
Elemen mitigasi lain yang menjadi perhatian dan memiliki posisi penting di Indonesia adalah program REDD+ yang menekankan perlunya dukungan pendanaan yang cukup dan dapat diprediksi sumber-sumbernya, termasuk dukungan teknis kepada Negara-negara berkembang. Dengan demikian, diperlukan perhatian lebih khusus dan mendalam terhadap keberlangsungan program REDD+ di Indonesia. REDD+ ini sendiri berperan sangat penting dalam mengurangi emisi yang diakibatkan oleh sektor kehutanan. Untuk itu diperlukan upaya bersama seluruh dunia, antara lain, dengan memperkuat sektor kehutanan dan segera merealisasi pendanaan REDD+.
Dalam program REDD+ ini Indonesia telah berperan sangat aktif dan signifikan dalam pengimplementasiannya. Hal ini sudah dibuktikan dengan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sangat tinggi dalam upaya melindungi hutan yang ada di wilayah NKRI. Komitmen Presiden SBY tersebut diarus diutamakan ke dalam strategi pembangunan nasional yang bertajuk Sustainable Growth with Equity yang didukung oleh empat pilar utama, yaitu pro-job, pro-poor, pro-growth dan pro-environtment. Bahkan, pemerintah telah menetapkan 7% pertumbuhan ekonomi sambil melakukan 26% penurunan emisi.
Selain sangat mendukung perpanjangan dari komitmen Protokol Kyoto periode kedua, Indonesia juga dalam posisinya sangat mendorong negara-negara maju agar menjadikan isu perubahan iklim menjadi agenda bersama yang lebih nyata dampak penurunan emisinya. Hal ini juga dapat dilihat dari komitmen Presiden SBY yang membuat dunia terkesan dengan Komitmen SBY untuk menurunkan 41% emisi karbon di Indonesia sebelum 2020. Namun, syaratnya, dunia internasional mendukung Indonesia. Keberhasilan ini ditunjukan pada bulan Mei 2011, satu pemerintahan negara sahabat merespons konkret dengan menyediakan dukungan dana bertahap 1 miliar dollar AS. Sejumlah program bantuan serupa diprakarsai oleh donor bilateral, sebagai upaya internasional mengurangi emisi karbon dari perusakan hutan, dalam program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sangat sulit bagi negara-negara maju untuk mau berkomitmen bersama dalam menurunkan emisi GRK secara lebih nyata. Untuk itu, disinilah arti penting Indonesia untuk memposisikan diri sebagai negara yang selalu aktif dalam setiap negosiasi, perundingan, dan pertemuan-pertemuan terkait isu lingkungan hidup, dimana Indonesia harus selalu menekankan kebijakan-kebijakan strategis, inovatif, dan kreatif yang difokuskan pada tercapainya peningkatkan produktivitas, penurunan emisi, peningkatan daya adaptasi dan pengentasan kemiskinan. Indonesia juga di satu sisi memiliki banyak peluang yang bisa dimanfaatkan terkait pasca komitmen periode kedua Protokol Kyoto ini.
Peluang-peluang tersebut diantaranya: (1) Pengembangan kegiatan untuk pasar karbon yang dapat semakin ditingkatkan, demikian juga jenis kegiatan lain yang akan dapat berperan dalam various approaches; (2) Pengembangan aksi mitigasi di bawah Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) untuk selanjutnya disampaikan melalui NAMAs Registry; (3) Peluang dukungan pendanaan bagi mitigasi dan adaptasi; (4) Peluang dalam pengembangan dan alih teknologi dengan disepakatinya CTC (Climate Technology Center)serta network-nya.
Namun demikian, penting untuk diingat bahwa setiap konvensi internasional yang diratifikasi suatu negara, termasuk Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto, harus dipahami bahwa konvensi atau perjanjian tersebut adalah hasil pemikiran dan komitmen global negara yang selanjutnya diimplementasikan secara nasional. Pengertian nasional dalam hal ini tentu saja memiliki implikasi hukum secara lintas sektoral dan multi-stakeholder, artinya kesepakatan tersebut perlu diimplementasikan secara bersama-sama dengan melibatkan berbagai kelompok dalam setiap lapisan kehidupan masyarakat yang terkait. Implementasi suatu konvensi bukanlah komitmen sebuah departemen atau lembaga pemerintah tertentu, meskipun memerlukan koordinasi oleh sektor tertentu(leading sector). Bahkan dalam kenyataannya, pelibatan sektor swasta atau pelaku bisnis dan masyarakat madani (civil society) adalah salah satu kunci penting keberhasilannya.