Tony Abbott, PM Australia yang beberapa waktu belakangan wajahnya menghiasi seluruh halaman depan berbagai media cetak dan elektronik Indonesia, adalah seorang pemimpin dengan karakter yang cenderung chauvinis dan konservatif. Pak Abbott yang berasal Partai Liberal ini memang sangat berani dan tegas terhadap setiap hal yang menyangkut kepentingan nasional dan keamanan negaranya. Bahkan, tindakan Pak Abbott sering terlalu berlebihan sampai-sampai melanggar norma hubungan antarnegara dan batas-batas kewajaran. Sebut saja tindakan anti-mainstreamnya baru-baru ini yang sengaja menyadap percakapan telepon Pak SBY dan Bu Ani serta beberapa pejabat lainnya dengan alasan untuk kepentingan negara. Jadi, pada intinya, Pak Abbott punya satu prinsip bahwa Ia mau melakukan hal apapun asal kepentingan nasional negaranya terjamin.
Tidak salah sih sikap Pak Abbott. Sebagai seorang pemimpin negara sah-sah saja berbuat segala sesuatu untuk dan atas nama kepentingan nasional negara. Bahkan, bukankan itu memang sudah kewajibannya ya? Tapi, Pak Abbott kudu tetap mengerti batas-batas kewajaran dan tahu sampai mana perbuatan itu dapat ditolerir dalam kehidupan bersama antarnegara. Kalau memang tidak mau disadap ya jangan menyadap, begitu saja prinsipnya. Di dalam hubungan internasional, prinsip itu dinamakan prinsip Resiprositas. Namun, belakangan saya jadi sadar kalau saya sepertinya cenderung mengikuti alur berpikirnya Pak Abbott? Mengapa demikian?
Saya sangat mendukung dan setuju dengan sikap Pak Abbott, terutama dalam hal penanganan para imigran “gelap” (ilegal). Masih ingat tidak yang Pak Abbott bersikeras menempatkan polisi atau petugas imigrasinya di dalam wilayah negara Indonesia (padahal tentu saja hal ini melanggar kedaulatan Indonesia), hanya agar tidak ada lagi imigran gelap yang kabur ke Australia via Indonesia? Maklum, negara kita ini memang menjadi tempat paling favorit untuk disinggahi para imigran sebelum sampai di negara tujuan utama mereka, Australia. Terutama Pulau Christmas (atau kalau di Indonesia disebut Pulau Natal) yang jaraknya justru jauh lebih dekat ke Indonesia ketimbang Australia. Sebagai konsekuensinya, kita yang harus kerepotan mengurusi dan ketiban tanggung jawab melindungi orang-orang yang belum jelas statusnya ini.
Oleh karena itu, jujur, saya adalah orang yang paling menentang keberadaan para illegal migrant di Indonesia. Tidak pandang bulu, mau imigran yang jauh berasal dari Sri Lanka kek, mau yang berasal dari negara-negara Islam seperti Lebanon, Pakistan, Afghanistan, ataupun yang berasal dari tetangga terdekat sendiri seperti Kaum Rohingya dari Myanmar, saya sangat tidak setuju dengan keberadaan mereka di Indonesia. Saya tidak tahu mengapa, hanya saja yang selalu ada di dalam pikiran saya adalah wong rakyat negara saya sendiri saja masih banyak yang tidak makan, tidur di bawah kolong jembatan, tidak mendapatkan pendidikan, jaminan kesehatan, dan lain-lain, mengapa negara saya harus repot-repot ngurusin rakyat negara lain. Bukan begitu? Saya sih realistis saja orangnya.
Kalaulah memang rakyat sendiri saja belum terpenuhi kebutuhan pokoknya, lantas mengapa negara ini harus bersusah payah memenuhi kebutuhan pokok rakyat negara lain? Alur pikiran saya memang sesederhana itu. Tidak tahu apa karena saya yang terlalu chauvinis atau karena terlalu berburuk sangka dengan negara lain. Tapi, kalau Pak Tony Abbott saja yang negaranya sudah jauh lebih maju dan tentunya sudah berhasil memenuhi seluruh kebutuhan pokok rakyat Australia bisa tegas menolak kedatangan para imigran gelap itu di negaranya, lalu mengapa negara saya yang masih terseok-seok ini bersikap terlalu “baik” mau menerima para imigran itu dengan tangan terbuka dan diberikan fasilitas dan akses yang sejatinya tidak diperuntukkan kepada mereka?
Hal ini karena di dalam Rancangan Perpres tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi (baca tulisan saya: "Illegal Migrant" dalam Rancangan Perpres tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi) memuat aturan-aturan mengenai pemberian fasilitas dan akses yang dapat diberikan kepada para illegal migrant tersebut, seperti pendidikan, kesehatan, tempat penampungan, dan lain-lain. Terlebih lagi, di dalam Pasal 15 ayat (1) Rancangan Perpres ini dirumuskan bahwa dana utuk melaksakana Peraturan Presiden ini dibebankan pada APBN dan/atau APBD. Nah, bagaimana mungkin memberikan akses dan fasilitas pendidikan terhadap para orang asing pencari suaka dan pengungsi ini (belum lagi jika ditambah dengan illegal migrant) jika warga negara Indonesia sendiri yang memang berhak untuk mendapatkannya saja masih tidak dapat menjangkau fasilitas dan akses tersebut?
Jadi, untuk apa kita membuang banyak uang APBN/APBD kita untuk orang-orang yang jelas sudah berstatus ilegal? Kalaulah jadi diterapkan demikian, bukan tidak mungkin para illegal migrant dari seluruh dunia berlomba-lomba untuk masuk ke Indonesia karena mengetahui Indonesia adalah negara yang sangat peduli dengan orang yang jelas-jelas sudah berstatus ilegal. Sudah seharusnya kita menerapkan peraturan yang tegas, seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura yang memang strict dengan peraturan keimgrasian dan orang asing. Peraturan mereka sangat tegas terhadap orang-orang yang jelas sudah berstatus ilegal dan terhadap mereka langsung dilakukan deportasi. Negara-negara ini saja yang sudah termasuk kategori “negara kaya”, atau ya paling tidak bisa dikatakan lebih makmur dari negara kita bisa menerapkan aturan tegas seperti itu. Lantas mengapa negeri ini yang masih masuk dalam kategori negara berkembang mau “sok-sok” melindungi para illegal migrant?
Itulah alur panjang pikiran saya sebelum hari Rabu, 11 Desember 2013 ketika ada pameran di dalam gedung Perpustakaan Universitas Indonesia, yang salah satu stand-nya menampilkan hasil karya buatan kaum Rohingya yang ada di Indonesia. Sore itu saya yang sudah bersiap-siap akan pulang mendadak berhenti di depan stand kaum Rohingya karena melihat banyak pernak-pernik lucu yang benar-benar berbeda dari pernak-pernik yang biasanya saya lihat. Ada gelang tangan, kalung, hiasang dinding, hiasan pintu, dan bentuk lainnya yang terbuat dari bahan jenis kayu halus. Heran tidak pernah ada yang sebagus dan seindah ini, pikir saya dalam hati. Belakangan baru saya ketahui bahwa itu adalah hasil pekerjaan tangan kaum Rohingya selama mereka dalam pengungsian di Indonesia, tepatnya di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
[caption id="attachment_285078" align="alignnone" width="640" caption="Bersama dengan teman-teman Relawan dan Kaum Rohingya di Perpustakaan UI"][/caption]
Kebetulan karena saya sangat concern dengan masalah mereka, saya mengajak beberapa dari mereka ngobrol, dan saya kaget luar biasa karena mereka lancar sekali berbahasa Indonesia. Ternyata mereka sudah lama juga berada di Malaysia sebelum akhirnya terdampar di Indonesia. Saat ini mereka berada di dalam kondisi yang paling buruk, tidak mempunyai status warga negara (stateless), tidak mendapat pengakuan dari negara asal, dan selalu mendapatkan perlakuan yang diskriminasi dari negara-negara yang mereka datangi. Bayangkan saja jika seandainya Anda adalah orang yang lahir dan besar di suatu negara, namun kemudian karena berbagai faktor politis dan agama, status kewarganegaraan Anda seketika itu dicabut dan Anda dinyatakan bukan warga negara Negara itu dan Anda diharuskan angkat kaki sesegera mungkin dari negara itu.
Ya, itulah yang terjadi dengan Kaum Rohingya ini. Berdasarkan cerita yang saya dengar sendiri dari mereka, mereka sudah tujuh tahun berkelana singgah dari satu negara ke negara lain. Tujuan mereka adalah mencari tempat yang mau menampung mereka, syukur-syukur kalau sang pimpinan dari negara yang bersangkutan mau memberikan mereka suaka. Belum lagi negara yang mereka singgahi memberikan respon yang tidak “welcome”, seperti Malaysia dan Thailand yang jelas-jelas langsung menolak dan mendeportasi mereka. Hingga akhirnya mereka tiba di Indonesia yang responnya masih lebih “welcome” ketimbang negara-negara ASEAN lainnya.
Sejak keberadaan mereka di LBH Jakarta, salah seorang teman saya yang menjadi relawan di sana mengatakan bahwa sejak saat itu lampu di gedung LBH Jakarta jadi harus hidup terus-menerus 24 jam. Air dan listrik juga digunakan oleh mereka juga jadi menambah beban biaya pengeluaran LBH Jakarta. Bukan terkesan mau menjadi negara yang pelit, tetapi kalau terus-terusan seperti ini siapa yang tahan? Bukan begitu? Logikanya seperti ketika Anda menumpang di rumah saudara Anda untuk jangka waktu yang belum tahu sampai kapan, dan Anda tidak melakukan apapun selain hanya menambah beban keuangan saudara Anda karena Anda harus menggunakan listrik, air, dan peralatan di rumahnya, tentu lama-kelamaan saudara Anda (padahal saudara Anda sendiri) akan menjadi kesal dan mempertimbangkan keberadaan Anda di rumahnya.
[caption id="attachment_285077" align="alignnone" width="640" caption="Bersama dengan teman-teman Relawan dan Kaum Rohingya di Perpustakaan UI"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H