Menjaga Integritas Densus 88: Tantangan dan Ancaman
Senior Densus 88/AT, Jenderal Ansyaad Mbai Bersuara Dalam ILC
Densus 88, satuan khusus anti-terorisme Indonesia yang telah menjadi simbol kebanggaan nasional, kini menghadapi ujian berat dari dalam. Unit ini telah mendapat pengakuan internasional sebagai model praktik terbaik dalam pemberantasan terorisme, namun baru-baru ini, muncul isu yang melibatkan kelompok sempalan di dalam Densus 88 yang bertindak di luar kendali, mencemari reputasi dan integritas lembaga ini.
Para tokoh senior Densus 88, yang telah lama berdedikasi untuk keamanan bangsa, merasa perlu untuk berbicara. Kemarahan mereka bukan ditujukan kepada mereka yang ditangkap, melainkan kepada pihak-pihak yang memanipulasi isu ini untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kelompok sempalan ini, yang beroperasi di luar kendali Kepala Densus 88, merusak nilai-nilai dan misi asli dari unit ini.
Kenapa para tokoh senior marah? Densus 88 adalah aset nasional yang sangat penting dan telah menunjukkan prestasi luar biasa di tingkat internasional. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Densus 88 diakui sebagai 'role model' dalam praktik terbaik penanggulangan terorisme. Pada awalnya, Polri banyak belajar dari negara-negara dengan fasilitas anti-teror terbaik. Kini, banyak perwira Densus 88 diundang untuk memberikan masukan kepada satuan anti-teror di negara lain, sebuah kebanggaan yang tidak bisa diabaikan.
Namun, keberhasilan ini juga membawa tantangan besar. Selama saya menjadi Kepala BNPT, banyak energi yang terkuras untuk menjelaskan bahwa yang kami tangkap adalah teroris, bukan tokoh agama. Tantangan terbesar dalam pemberantasan terorisme di Indonesia adalah menghadapi persepsi yang keliru bahwa tindakan kami memojokkan agama tertentu.
Ketegangan antara Kejaksaan Agung dan Mabes Polri menunjukkan adanya perbedaan orientasi dan prioritas yang dapat mengganggu efektivitas penegakan hukum. Orientasi politik dan kepentingan bisnis sering kali memengaruhi dinamika internal dan eksternal Densus 88. Masalah pergantian 'tauke' atau bos dalam pengelolaan sumber daya alam juga menambah kerumitan situasi ini, memperlihatkan adanya kepentingan tersembunyi di balik operasi-operasi tertentu.
Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan hukum semata. Perlu ada koordinasi yang kuat antara lembaga-lembaga terkait dan pemahaman mendalam tentang akar masalahnya. Penyelesaian politik dan diplomasi menjadi kunci dalam menjaga integritas Densus 88.
Media sosial juga memainkan peran penting dalam membentuk opini publik. Informasi yang tidak akurat atau tendensius dapat merusak citra dan kepercayaan masyarakat terhadap Densus 88. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk menggunakan media sosial dengan bijaksana dan bertanggung jawab.
Dengan menghadapi tantangan ini secara bersama-sama, kita dapat melindungi integritas dan keberhasilan Densus 88 dalam memerangi terorisme. Lembaga ini harus terus menjadi garda terdepan dalam menjaga keamanan dan kedamaian di Indonesia. Kami berhak menuntut perbaikan dan menjaga agar Densus 88 tetap menjadi aset nasional dan internasional yang dihormati. Integritas Densus 88 adalah kunci untuk masa depan yang lebih aman dan stabil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H