[caption id="attachment_140296" align="aligncenter" width="512" caption="Glitter Graphics"][/caption]
Kadang aku tak mampu untuk membedakan mana yang benar-benar terjadi dan mana yang hanya ada di dalam khayalanku. Buatku kadang sebuah pengalaman tak harus bersifat nyata, karena jika aku memaksakan sebuah hal yang nyata, maka aku tak memiliki pengalaman apapun.
Pernah mendengar kisah dongeng? Aku tau kalian menyukainya, diawali dengan once upon a time dan di akhiri dengan happily ever after, selalu indah. Akupun menyukainya, tapi…boleh kutebak sedikit (jika kalian para gadis)? Pasti kalian pernah bermimpi untuk bisa seperti mereka, menjadi gadis jelita dengan hati mulia yang jatuh cinta pada pangeran mempesona, walaupun pada awalnya hidupmu selalu menderita, benar-benar sebuah drama, tapi kita selalu berharap untuk bisa memainkannya dalam kehidupan nyata. Aku pecaya hal itu sangat indah, indah bila menjadi dongeng semata, tapi bila kau mengalaminya dalam dunia nyata, aku berani bersumpah kau takkan pernah menginginkannya.
Aku mengalaminya, percayalah aku tak mengada-ada, tapi jangan coba menebak bahwa aku adalah gadis malang seperti Selena Gomez atau Hillary Duff yang mengalami hidup bak Cinderella di dunia nyata, karena aku tak punya saudara tiri jahat, ataupun ibu tiri, jangan juga berpikir aku seperti Amanda Bynes yang harus tinggal dengan para dorks gara-gara si cewek jahat yang terlalu takut kecantikannya tersaingi,seperti hidup ala Putri Salju, yeah aku juga tidak kayak Vanessa Hudgens yang karena berhati mulia penuh cinta bisa melepaskan kutukan sihir jahat dan merubah si buruk rupa menjadi sempurna, terakhir aku juga tak mengalami syndrome Putri tidur seperti seorang remaja Inggris, entah siapa namanya, aku benar-benar lupa. Mau tau dongeng apa yang kujalani dalam hidupku? Pernah mendengar kisah si cantik berambut panjang Rapunzel yang terkurung di menara?kisahku sepertinya hanya saja aku tak berambut sepanjang itu, dan tak ada penyihir jahat yang mengurungku, ayahku hanya terlalu menyayangiku hingga aku menjalani hidup seperti ini, dia tak mengurungku dia hanya tak ingin aku terlibat terlalu jauh ke dunia yang katanya tak ramah ini, dia hanya tak ingin gadis kecilnya ini tersakiti, aku tau dia menyayangiku, yang kutau caranya menyayangiku benar-benar salah, dia tak membiarkan dunia yang kejam ini menyakitiku hingga aku memilih menciptakan duniaku sendiri, dunia yang lebih indah dari dunia manapun, dunia dimana aku bisa menjadi putri bungsu keluarga Weasley, alih-alih Ginny, dunia di mana aku bisa bermain seharian di Neverland bersama Peter Pan (aku memilih menjadi Tink, bukannya Wendy yang sok tua!), dunia tempat aku bisa memasuki Wonderland yang ajaib saat aku menjadi Alice, dunia yang….
“Bed time! Malam ini Papa akan menceritakan dongeng favoritmu.” Papaku dengan wajahnya yang bak seorang raja dalam balutan piyama mengingatkanku akan waktunya tidur, tidur? Apa aku memerlukannya? Tidur agar aku bisa bermimpi, sementara aku bermimpi nyaris sepanjang hari, aku tak pernah menjalani hidup aku hanya memainkan mimpi.
“Okay, baiklah!” Aku membaringkan diri ditempat tidur, Papa berbaring disisiku, menatapku dalam dan selalu membisikkan hal yang sama “Kamu begitu mirip dengan mamamu, seandainya dia bisa berada bersama kita disini.”
“Maka, Gadis takkan mencintai Papa sebanyak ini, karena cinta Gadis akan terbagi dua.” Jawabku pelan, jauh di dalam hatiku sejujurnya aku mengharapkan Mamaku ada di sini, sekarang bersama kami. Papa tersenyum, tapi matanya memancarkan cahaya pedih. Dia mulai bercerita, cerita yang selalu dikisahkannya hingga aku menghafal kata perkatanya.
“Pada suatu waktu di negeri yang sangat jauh hiduplah sepasang suami istri tanpa anak yang tinggal tak jauh dari taman bertembok milik seorang penyihir jahat, setelah menunggu sekian lama akhirnya sang istri hamil, dan sang istri yang menyukai bunga Rapunzel meminta sang suami untuk memetik sekuntum bunga Rapunzel yang sialnya bearada di taman milik Gothel, si penyihir jahat, sekali tak ketauan sang suami memetik bunganya, maka esoknya sang istri memintanya melakukan lagi hingga akhirnya sang suami tertangkap tangan mencuri bunga oleh sang penyihir….”
“Sang penyihir murka, sang suami ketakutan, memohon belas kasihan, mereka bikin kesepakatan, si penyihir minta anak si suami istri itu setelah lahir, nantinya si anak yang diberi nama Rapunzel itu, dikurung di menara tinggi bersihir sakti, menginjak remaja Rapunzel menjadi gadis yang sangat jelita dengan berhiaskan rambut pirang panjangnya, suatu hari ketika dia tengah bersenandung suara merdunya memperemukannya dengan seorang pangeran, keduanya saling jatuh cinta, bertemu dengan diam-diam, rambut panjang Rapunzel menjadi alat bagi sang pangeran untuk memanjat menara, bla…bla…bla… happy ending! Papa, tau kenapa aku menyukai dongeng ini?” aku memotong ceritanya lalu dengan cepat mulai mengoceh, aku bertindak sangat tak sopan.
“Karena dongeng ini juga kesukaan Papa” jawabnya pelan, aku memandang ekspresinya yang kurang kusuka,karena alisnya bertautan dan kerutan terhias di keningnya. Aku bangkit dari tidurku, duduk dan memeluk kedua lututku.
“Salah! Karena dongeng itulah yang menginspirasi Papa, untuk menjadikan hidupku semalang Rapunzel, Papa mengurungku dengan alasan yang mengada-ada, bilang bahwa aku tak boleh tersakiti apapun…”tak terasa air mata jatuh dipipiku, aku menghapusnya cepat tak ingin terlihat lemah saat aku mengatakan kata-kata ini, wujud protes atas apa yang kualami. “Papa, kartu quote kirimanmu di sararapanku pagi tadi tertulis, ketakutan hanyalah kamar gelap tempat negatif film di simpan, tempat menyimpan foto-foto wajahku yang selalu Papa abadikan setiap harinya!” aku menghapus lagi air mataku, “tidakkah pernah sekalipun Papa berpikir, tentang apa yang mesti kutakuti? Aku tak perlu takut pada apapun karena Papa akan selalu melindungiku, aku tak perlu dikurung begini, dengan begini aku hanya menganggap Papa tak lebih dari Gothel si penyihir jahat, usiaku 15 tahun Pa, aku ingin hidup senormal anak lainnya, sekolah, mengenal orang lain, hidup dalam dunia nyata, berbuat kesalahan bahkan merasakan ketakutan!bukan hidup ini yang ingin aku jalani, Papa menjadikanku seolah aku putri dongeng dalam kisah dongeng yang Papa kisahkan beulang-ulang, Papa hanya ingin aku menjadi sisa dari yang tidak rasional?”
“Gadis…waktunya tidur” Dia menghapus air mataku, mencium puncak kepalaku, mematikan lampu, dan menutup pintu kamarku, meninggalkanku sendiri, kupikir dia akan memarahiku, kupikir dia akan merasa sedikitnya…lupakanlah! Seumur hidup aku akan tetap seperti Rapunzel yang malang, hari akan berganti lagi, pagi akan datang, Nanny akan mengantarkan sarapan, yang ditambah bunga Lily putih, seperti kesukaan Mamaku, dan kata-kata indah penuh inspirasi, entah kata-kata siapa lagi esok pagi…kutipan dari Michael Pritchard pagi tadi “Ketakutan adalah kamar gelap tempat menyimpan film negatif” malah jadi kata-kata yang menyulutku untuk berontak, aku ingin hidup yang selayaknya, sepeti orang lain lain di luaran sana, keluar dari zona aman, hadapi dunia luar, melakukan kekacauan, merasakan ketakutan. Harapanku satu-satunya, jika hidupku seperti Rapunzel, mungkin aku hanya perlu menunggu seorang Pangeran datang padaku, aku mengharapkan Pangeran?benar, Papa berhasil menjadikanku orang yang irasional!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H