… it goes from “babe” to “bitch”, “I love you” to “I hate you”, “I need you” to “Fuck You”, You are everything to “You are nothing”
***
“Dear Prudence, let me see you smile…Dear Prudence, like a little child…The clouds will be a daisy chain…So let me see you smile again…Dear Prudence, won't you let me see you smile?”
Aku membayangkan esok pagi, lagu yang memang jadi inspirasi namaku itu akan didendangkan Papa di depan pintu kamarku. Selalu begitu, beliau akan menyanyikan lagu itu untuk merayuku, untuk menghentikan sikap manjaku, menghentikan rajukanku, bahkan setelah dewasa dia masih memperlakukanku seperti saat kecil dulu…aku menangis membayangkan bahwa aku akan meninggalkannya, bahwa esok pagi dia akan menangisiku, karena… pintu kamarku takkan pernah kubukakan untuknya…. Pintu itu takkan pernah terbuka sampai Papa membukanya dengan paksa…aku tak ingin membayangkan apakah Papa sanggup melihatku yang telah membeku, terendam dalam bathub dan tak lagi bernyawa.
***
“Aku menyukai tawamu, aku menyukai senyummu, lebih dari segalanya aku menyukai cara lidahmu melapalkan kata, aku mencintaimu” setelah itu aku mencium singkat pipi Kevin, tak seperti biasa dia akan memelukku atau membalas ciumanku dengan ciuman cepat di bibir, tapi dia malah bangkit dari sisiku. Kupikir ini akan jadi moment yang romantis, kami menikmati senja menatap matahari tenggelam di pantai dari atas kap mobil.
“Berhentilah bersikap seperti penderita Love Story Complex” Kevin tak menatapku saat mengatakannya, pandangan matanya tetap lurus ke depan ke arah langit yang berwarna keemasan.
“Baby…”
“Prudence..lebih mudah untuk kita mengakhiri segalanya saat ini” tiba-tiba saja Kevin berbicara dengan begitu mudahnya. Bagaimana bisa? “Maksudku, apa yang terjadi diantara kita…tidakkah kamu berpikir bahwa…usiamu baru enam belas tahun dan … tak seharusnya aku mengencanimu, anggap saja bahwa ini kesalahan dan inilah saat yang tepat untuk mengakhiri segalanya. Lagipula, aku harus benar-benar serius dengan kuliah dan juga tim basketku dan juga…kau seharusnya tau yeah…aku punya gadis lain, aku tak mau lagi terganggu dengan anak kecil sepertimu” Kevin bangkit dan berjalan menuju arah pantai, kupikir dia sedang ingin mengerjaiku, menggodaku hanya untuk membuatku menangis. Tapi tidak ada tanda-tanda candaan, bahkan angin dan aroma lautpun menjadi begitu dingin dan tak nyaman.
Aku berlari ke arahnya, memeluknya dari belakang.
“Bilang kalau semua ini cuma candaan” saat mengatakannya, entah mengapa suaraku menjadi bergetar dan air mataku mulai mengenang.
“Berpikirlah Pru!” dia berbalik menghadapku, dan mencengkram kedua bahuku, aku mendongak menatap wajahnya, aku ingin melihat jauh ke dalam matanya…aku ingin lihat adakah binar cinta di sana…ataukah…”Kau terlihat hebat saat membawaku ke acara prom, kau mendapatkan prom date keren, dan juga malam sempurna sesudahnya.” Aku teringat apa yang terjadi di bangku belakang mobilnya malam itu, saat aku melepas keperawananku untuk pria yang kupikir dialah pria yang tepat.
“Baby..” Air mataku mulai membasahi pipi, aku menggelengkan kepala berkali-kali masih tak ingin mempercayai apa yang terjadi, kuharap setelah ini dia tertawa dan akan memelukku lalu berteriak “gotcha!” lalu dia akan mengacak rambutku atau menarik hidungku, lalu kami berkejar-kejaran di pantai.
“Aku sungguh-sungguh mencintaimu” tiba-tiba saja aku berteriak saat mengatakannya, kupikir debur ombak akan membuat suaraku tak terdengar olehnya. Aku mencoba memeluknya tapi dia menepisku.
“Bocah enam belas tahun tidak sungguh-sungguh mengerti tentang apa cinta” dia menyeringai dan mulai tertawa, jenis tawa mengejek. “Mangenalku dan bercinta denganku anggap saja sebagai pengalaman berharga, dan itu kuberikan cuma-cuma”
Aku tak suka saat dia mulai bersikap seperti seorang bajingan.
“Saranku jangan pernah terlalu mudah menyerahkan hatimu…juga…tubuhmu” saat itu dia tengah menikmati hisapan dari rokok marijuananya sambil menatap tubuhku dengan tatapan merendahkan “Lagipula,…kupikir kau harus mulai mengatur pola makanmu, lemakmu mulai mengganggu penampilanmu, kau tau aku suka gadis sempurna” entahlah saat dia mengatakannya tiba-tiba saja aku merasa marah. Secara spontan dengan cepat kuraih pasir pantai dan melempar ke arah matanya dan berteriak “If you want a perfect girl, go buy a Barbie!” lalu aku berlari.
Dari jauh aku mendengar dia meneriakiku dengan kata “Bitch!” aku merasa sungguh sangat rendah di matanya kini.
***
“kupikir kau harus mulai mengatur pola makanmu, lemakmu mulai mengganggu penampilanmu, kau tau aku suka gadis sempurna” kata-kata itu terulang lagi malam ini dan hal itu sungguh membuatku marah, walau seharian ini aku juga menangisi patah hatiku. Setelah berkali-kali kalimat menyakitkan itu seperti menari-nari dalam benakku, suatu hal mulai mengusikku dan … aku mulai menatap bayanganku di cermin, melihat di sana apakah ada yang berubah dengan tubuhku, dan aku mulai mengingat-ingat segalanya…pola makan berubah, aku selalu merasa lapar sepanjang waktu, pusing dan juga mual, dan juga jadwal menstruasiku, sudah beberapa bulan aku belum mengalaminya…oh tidak! Aku membuang jauh pikiranku itu. Tapi faktanya, bahwa tiap kali aku dan Kevin melewatkan waktu berdua yang berujung pada kontak fisik, Kevin selalu menolak penggunaan pengaman!
Aku keluar dari kamar secepat yang kubisa dan segera menuju drugs store yang hanya berjarak beberapa blok dari rumahku, aku harus mengetahui secepatnya, dan semoga kecurigaanku salah.
***
Ada rasa takut dan gelisah manakala aku sudah berada di kamar mandi dan mulai mencoba mencari jawabannya. Lamaku duduk di toilet, dan berharap menggagalkan cara untuk mengetahuinya, aku tak ingin… tapi sebagian dari diriku ingin tau apakah kekhawatiranku beralasan…
Kupaksakan diri, hingga akhirnya kutemukan jawabannya saat tanda positif itu menghantamku dengan cara yang begitu menyakitkan. Duniaku berputar sedemikian hebatnya saat itu, kakiku tak mampu lagi menopang tubuhku, aku terjatuh dan menangis…aku baru saja dicampakan, dibuang dan sungguh tanpa harga…aku telah sampai pada tahap saat segalanya berubah menjadi keadaan sebaliknya, yeah… it goes from “babe” to “bitch”, “I love you” to “I hate you”, “I need you” to “Fuck You”, You are everything to “You are nothing”
Kekalutan menyelimutiku, usiaku begitu muda, dan aku tak sanggup mengahadapi hal ini seorang diri. Ketakutan membuatku menggigil kedinginan, tak tau harus bagaimana, otakku tak lagi bisa kufungsikan…yang kulakukan hanya mulai memasuki bathub, berendam dan mencoba menenangkan diri tapi ancaman dan kemarahan juga ancaman, hinaan, dosa, rasa bersalah membuatku gila, hingga saat mataku tak sengaja menatap benda yang berkilat tertimpa cahaya… benda itu ada di tanganku, sangat tajam dan bisa menciptakan luka yang dalam, rasanya pasti sangat menyakitkan, tapi tak apa ada rasa sakit yang paling sakit yang pernah kuderita…..jadi sakit ini takkan seberapa…
Aku tau apa yang harus kulakukan searang…dan saat aku akan melakukannya aku mulai membayangkan apa yang terjadi keesokan hari…saat aku tak ada lagi di sini… saat aku telah benar-benar pergi….aku membayangkan, papa…milikku satu-satunya di dunia … aku menangis memikirkannya…nyaris menyurutkan niatku, tapi…aku tak bisa berhenti imajinasiku menampilkan wajah brengsek Kevin...inilah keputusan yang tepat bagiku …yeah… aku mulai menggoreskan benda mungil itu di beberapa tempat ditubuhku..tak ada kesakitan, tak ada perih, tak ada pedih…yang ada hanya…tetesan merah itu semakin merah dan memenuhi bathub tempatku merendam diri hingga aku merasa bahwa aku telah pergi dari Bumi.
Backsound : Dear Prudence- The Beatles
Gambar : Kitty Gallanaugh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H