Aku tidak yakin ada pilihan lain yang lebih indah dari segala yang kudapatkan sekarang. Kami menikmati hidup yang menyenangkan, sederhana, dekat dengan alam dan…pastinya membahagiakan; Kami bermain di hutan, tertidur di bawah pohon, bercanda, menari, berbicara, tertawa, mengenang, melakukan apapun yang kami inginkan. Inilah sebuah kehidupan, yang sesungguhnya.
Pagi hari selalu membuatku bersemangat, harapan baru, lembaran baru. Kuharap hari ini kita memiliki kisah baru. Seperti biasa aku terbangun saat matahari telah menyapa melalui jendela. Selalu di sana, di bawah tangga, Massimo tertidur di anak terbawah tangga, kepalanya bersandar pada dinding kayu, tubuhnya tertutup selimut hangat bermotif garis warna krem, biru dan merah bata, beberapa helai rambutnya dengan bandel menutupi wajahnya. Semalam suntuk dia terjaga untuk menjagaku yang tertidur. Menurutnya keadaan saat ini terlalu berbahaya dan kewajibannyalah untuk memberiku rasa aman.
Aku tak ingin membangunkannya, aku hanya ingin menatap wajah teduhnya yang tertidur karena lelah. Aku mencium puncak kepalanya, dan menuju dapur untuk membuat kopi. Tak berapa lama langkahnya menyusulku, dari belakang dia memelukku dan membisikkan selamat pagi dalam nada mengantuk, setelahnya dia menguap dan masih terus memelukku, membenamkan wajahnya di bahuku.
“I love you” bisikku sambil mengaduk kopi hangat dalam mug. Aroma nikmatnya menggelitik hidungku.
“Tak menyerah untuk terus bersamaku?” Massimo melepaskan pelukan lalu menyambar kopi dari tanganku dan menyesapnya.
“Takkan pernah” aku menjawab pasti
“Apa yang dilakukan seorang gadis kaya, di pondok kayu di tengah hutan?” dia bertanya dengan tampang idiot yang mampu diekspresikan wajahnya.
“Sedang bermain peran untuk drama versi remaja Hensel and Gretel” jawabku asal.
“Jawaban yang bagus, mengingat dikehidupan lampau kita saudara, anggap saja pondok ini rumah jahenya, settingnya sungguh tepat, di tengah hutan liar yang indah” dia terkekeh pelan dan serak, sekali lagi dia menguap. Kantuk tak mau menyerah menyerangnya.
“Katakan ini dimana?” aku bertanya untuk menggodanya seolah aku tak mengetahui jawabannya. “Kupikir aku merindukan peradaban” aku tertawa kecil sambil memainkan sendok di mug kopiku.
“Jangan pernah berpikir untuk pulang jika kau ingin selamanya bersamaku” jawabnya datar dan memandang keluar jendela.
Aku mendekatinya dan duduk di pangkuannya, memberinya sebuah kecupan di pipi lalu membisikinya “Aku rela menukarkan segala yang kumiliki untuk bisa bersamamu”. Massimo tak menjawab apapun hanya menatapku lalu melepas selimutnya, dan menutupi pahaku yang tak cukup tertutup, aku hanya memakai kemeja putih polosnya yang kebesaran untuk tubuhku.
“Aku mencintaimu” bisikku
“Pastikan kamu terus mencintaiku sebelum kamu akhirnya membenciku.”Kata-katanya terdengar mengkhawatirkan.
“Aku tak melihat alasan untuk membencimu” Jawabanku adalah sebuah kejujuran.
“Bagaimana kau tau?” tanyanya cepat.
“Kita melewati sebuah masa untuk bisa bersama, kehidupan yang baru…”belum tuntas kalimatku, kemudian dia memotognya
“Bagaimana bila kehidupan baru, lebih sulit dari hidup terdahulu?”
“Bolehkah kita berhenti mengkhawatirkannya dan biarkan kita hanya menikmatinya?”
“Baiklah…” dia mengangkat bahunya, menyerah
“Persiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, persiapkan hati yang berani mencintai untuk merasakan pedih.”sebuah nasehat, ataukah peringatan.
***
Aku ditinggal sendiri. Siang itu Massimo pergi ke kota untuk membeli beberapa keperluan kami, dia berjanji akan kembali malam nanti dan akan menghadiahkanku lagu-lagu yang dia nyanyikan sambil memainkan piano . aku akan duduk di atas piano dan menggodanya dengan senyuman juga ciuman, banyak hal-hal romantis yang kami lewati bersama tiga minggu terakhir ini. Selama di sini, aku tak pernah berpikir untuk pulang, apalagi merindukan tempat lainnya, juga orang-orang lainnya.
Menunggu sungguh menyiksaku. Tanpa Massimo waktu yang kulalui berjalan selambat siput bertongkat. Lagi-lagi kuingatkan diri aku harus menunggu tapi tak tau bagaimana membunuh waktu hingga ketika bosan menyerangku, aku menyerah dan berpikir untuk membunuh rasa itu. Kuputuskan untuk keluar dari pondok yang kini kuanggap seperti rumah jahe dalam dongeng Hansel and Gretel itu, aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar, melihat sesuatu juga untuk mencari udara segar. Kupikir itu tak apa-apa karena pemandangan dari kaca jendela cukup membuatku tergoda untuk menjelajahi hutan yang sedang merayakan musim semi yang indah.
Kaki telanjangku menginjak rumput lembut bagai permadani. Aku berjalan terus dan terus, terpesona, penasaran, mengagumi hingga aku melangkah tanpa henti, terkagum-kagum pada panorama. Kicau burung, lembut angin membelai wajah, segar wangi daun dan bunga, membuatku tak ingin berhenti melangkah. Aku merasa di negeri asing yang indah, aku mencoba memposisikan diriku pada karakter Alice yang terdampar di Wonderland, aku berharap aku bertemu kelinci putih yang bisa bicara, terperosok ke sarangnya dan memulai petualanganku.
Aku berjalan dari satu sudut hutan ke sudut lainnya. Tempat-tempat indah yang sering aku kami datangi berdua, rasanya aneh saat kini semuanya kunikmati sendiri. Bersamanya bahkan dalam hutan ini kami seperti bertamasya indah setiap hari. Banyak hal yang kami lakukan bersama; membaui bunga liar, menari bersama sepoi angin, berbaring di hamparan hijau rumput, menatap birunya langit, bersenandung.
Aku tak pernah merasa sebebas ini, bersamanya aku kembali merasakan bahwa inilah hidup damai yang ingin kujalani.
Menikmati hidup di tepi pantai lalu pindah ke pusat peradaban dunia cukup membuatku tertekan, tapi kini alam bebas seperti memintaku kembali, dan yeah sekarang aku kembali, dan kini bersama seseorang yang kucintai.
***
Aku tertarik pada mawar liar berwarna jingga, ingin memetik aku ketakutan. Aku takut tertangkap tangan peri hutan dan mendapatkan hukuman, khayalanku berkelana terlalu jauh, tapi mengingat kisah Rapunzel dan Belle yang terkutuk karena salah memetik bunga membuatku mengurungkan niat, tapi hanya sebentar sebelum aku kembali tergoda, dan memetiknya.
Bahkan nantinya, saat di tengah hutan sang penyihir berhidung bengkok menewariku sebutir apel beracun yang lalu kumakan hingga pada akhirnya aku tak sadarkan, aku yakin sebuah ciuman dari sang pangeran akan menghilangkan kutukan.
Aku menabur kelopak mawar jingga dan berbaring, aku merasa seperti dewi hutan kesepian yang dipenuhi kebahagiaan, menunggu pangeran berkuda putih yang berjanji akan datang secepat dia bisa melakukannya. Aku meyakinkan diri berkali-kali tak lama Massimo datang, aku percaya, dia takkan berdusta.
***
Derap langkah cepat dan buru-buru, tertangkap oleh telingaku, suara itu membangunkanku. Sebenarnya bukan hanya bunyi langkah itu yang menyadarkanku tapi juga rasa lapar di perutku. Kupikir ini waktunya kembali ke pondok tapi tubuhku seolah terikat kuat di tanah saat seleret cahaya perlahan datang ke arahku. Tak hanya satu, tapi banyak suara langkah kaki yang kini membuatku ketakutan, hari sudah gelap dan perasaan mencekam seperti mencekik leherku. Aku seperti tenggelam, seperti terkurung di kamar gelap, seperti menghadapi kematian. Aku ketakutan. Cahaya itu datang, bergerak cepat ke arahku, cahaya itu berasal dari….
“Kami menemukannya”teriak seseorang, pria tinggi besar dalam seragam polisi. Cahaya lampu senternya mengenai wajahku menyilaukan mataku.
Oh Tuhan! Aku tak ingin mempercayai apa yang tengah kuhadapi.
“Miss…” salah satu dari mereka berbisik, aku ketakutan…mereka bukan segerombolan kurcaci pemarah, mereka adalah manusia nyata, sekumpulan pria dengan seragam yang berada di bawah perintah.
“Anda baik-baik saja?” yang lain bertanya
Gerombolan itu seakan membuat lingkaran raksasa dan menghimpitku di tengah-tengah, cahaya senternya seakan melukaiku, di saat begini pikiranku benar-benar tak dapat kufungsikan lagi.
“Miss…”mataku berkunang-kunang. Otakku menginformasikan tanda bahaya dan kekhawatiran.
“Dimana Massimo?” itulah yang bisa kutanyakan, pelan, lirih dan pelan.
“Di dalam pengejaran, anda akan pulang, dan semua akan baik-baik saja” seorang polisi memberiku selimut flannel kotak-kotak, dan menenangkanku. Aku pulang. Saat itu air mataku menetes. Di mana Massimo, dan kemana aku harus pulang, aku kebingungan, di sinilah rumahku, di sinilah hidup baruku. Oh Tuhan aku lupa, kami tengah dalam persembunyian dan kini mereka berhasil menemukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H