Adakah yang mengerti rasa begitu dicintai tapi tak mampu mencintai? Emile mencintaiku mati-matian, memperlakukanku dengan sangat baik, membuatku tak nyaman karena aku tak mampu menawarkan rasa yang sama yang diberikan olehnya padaku. Oh Tuhan, Emile terlalu berharga untukku. Dia layak mendapatkan gadis manapun yang lebih baik dariku, dan aku yakin tidak ada gadis tolol yang mau menolaknya. Seandainya aku memiliki alasan untuk membencinya, wajahnya terlalu sempurna, sikapnya terlalu ksatria, kepriadiannya luar biasa. Dan malam ini dia melakukan segalanya.
Ini akan jadi hari pertamaku tinggal di hotel, seperti sarannya. Malam ini sebuah pesta telah menungguku; penyambutan, perayaan, lepas dari masa berkabung dan penampilan perdanaku di depan publik, semacam perkenalan, cara yang mahal untuk mulai bersosialisasi dengan para borjuis kota New York. Emile merancang segalanya, konsep Masquerade Ball ala Venesia abad pertengahan . Ide cemerlang semoga aku menikmatinya, bukannya mati bosan ketika ketika harus beramah-ramah dengan sekumpulan gadis pirang penyayang binatang yang tak bisa hidup tanpa smart phone-nya.
“Kau suka?” Emile berbisik di telingaku, aku merasakan lembut nafasnya menyentuh kulitku.
“Yeah” jawabku singkat sambil, mengedarkan pandangan ke ballroom hotel yang di dominasi warna-warni cantik; Emerald, Biru tosca, dan Ungu yang indah. Musik dan derai tawa juga obrolan yang renyah terdengar sangat harmonis, seolah ada komposer yang mengaturnya. Aku memasang topeng dengan aksen bulu merakku, dengan tangan digandeng Emile, kami melangkah menuju pesta.
Emile dengan cepat melebur bersama teman-temannya, aku bicara sepatah dua kata, lalu akhirnya bosan, begitu seterusnya. Aku merasa aku benar-benar menyebalkan, sebuah kehidupan baru yang berbeda dari yang pernah kubayangkan, seperti topeng yang sedang kugunakan, aku merasa aku sedang menyembunyikan apa yang seharusnya tak kuijinkan untuk terlihat.
“Well, kapan berita baik akan datang dari kalian berdua?” Seorang pria jangkung dengan wajah terlalu Eropa yang menguarkan wangi The Number 1 Parfume, tampak begitu antusias untuk mengetahui bagaimana kelanjutan hubungan kami.
Aku tertawa kecil mencoba bersikap sopan.
“Randall, aku selalu berharap sesegara mungkin, tapi kau tau, Violetta terlalu muda untuk terikat pernikahan” terdengar entah begitu pengertian atau otak dangkalku malah mengartikannya sebagai sindiran, tapi yang jelas aku lebih mempercayai pendapat otakku. “Aku akan menunggu hingga dia benar-benar siap menyandang nama belakangku” Emile begitu menikmati obrolan ini.
“Kuharap kau segera siap Violetta, jangan lupa, pertimbangkan aku sebagai pengiring pengantinmu.” Debra, tunangan Randall terlihat seperti tipe gadis yang ingin selalu menjadi sahabat baik bagi semua orang, hanya saja, seumur hidup aku nyaris tak memiliki teman, bukan tak membutuhkannya hanya saja aku begitu egois dan keras kepala, menjaga jarak denganku baik bagi mereka.
“Dan jangan terlalu marah padaku, jika aku membuatkan Emile pesta lajang dengan banyak gadis jalang” Gurauan baik buat Randall, seharusnya aku sedikit cemberut karena cemburu bukan hanya menggerakan bibir tipisku dengan kaku.
“Oh” Emile tak mampu berkata-kata hanya memberikan tinju pada bahu Randall dan tertawa. “Kupikir beberapa waktu ke depan, kami akan menjalani liburan indah di Bora-Bora.”
“Ide cemerlang!” aku coba menimpali
“Kalian memang harus ke sana, aku menyarankan” bisik Debra dengan nada menggoda “Anggap saja ini seperti bulan madu” Debra berbisik padaku “Percayalah bungalow-bungalownya sungguh luar biasa, berdiri di atas beningnya air laut berwarna turquoise, kau bisa melihat keindahan Pegunungan Otemanu, laguna dan pasir pantai yang bercahaya hanya dari balkon. Pikirkan tentang snorkeling di taman karang warna-warni, atau bayangkan kau seperti Putri Duyung cantik yang bertemu dengan perompak laut tampan dan seksi, kalian saling jatuh cinta dan…sebuah pertunangan romantis saat matahari terbenam” Debra terlihat bersemangat.
“Yeah, terdengar hebat” aku merespon, semoga terdengar bersemangat, dan sesuatu harus menyelamatkanku dari situasi yang mulai membosankan ini, dan doaku terkabulkan, iringan musik Walts segera mengalun, dan Emile bak pangeran yeah dia memang lebih pantas jadi pangeran dibanding pangeran manapun mengajakku berdansa, tentu saja aku tak menolak.
Aku sungguh mencoba untuk dapat larut dalam suasana romantis ini, dengan mencoba menghirup dalam-dalam aroma tubuh Emile, juga menatap dalam mata biru kehijauannya yang mengintip di balik topeng bergaya Phantom of Opera-nya, atau merasakan hangat tangannya saat memelukku, tapi segalanya hampa, aku merasa seperti seseorang yang mati rasa.
“Aku suka matamu, aku suka hidungmu, bibirmu, dirimu…aku mencintaimu Violetta, sungguh” Emile berbisik padaku, kurasakan bibirnya mengecup singkat daun telingaku.
“Aku menyukaimu, aku mencintaimu” bisikku, kuharap bisa meyakinkannya tapi ini lebih seperti sebuah sugesti pada diri sendiri.
“Aku lebih mencintaimu” bisiknya lembut dan tulus “sangat…akulah yang paling mencintaimu”
“Aku mempercayaimu” jawabku lirih sambil tetap melangkah mengikuti irama dan tetap berdansa.
Diiringi irama yang begitu lembut dan merdunya,kami saling menatap, tangannnya di pinggul dan bahuku seperti hendak melindungku. Aku ingin percaya bahwa aku bisa mencoba untuk mencintainya, bukannya larut dalam kebingungan dan misteri yang terus menerus bermain di otakku. Aku ingin agar aku bisa menikmati kebersamaan kami, selamanya, melupakan apa yang menjadi ramalan yang seharusnya kuselesaikan. Tidak! Ramalan itu tidak nyata, itu hanya sesuatu yang menarik, seperti zodiak atau kata-kata dari kartu tarot, itu saja! Yang nyata adalah apa yang ada di depan mata, masa lalu hanyalah baying-bayang, dan masa depan walau harapan, tapi akan diwujudkan dengan apa yang kita miliki sekarang bukan yang belum tentu ditemui. Aku membulatkan tekad, semua akan baik-baik saja selama aku dengan Emile, kupastikan Emile-lah yang kuinginkan untuk kuhabiskan waktu bersama, seperti sebuah ciuman hangat yang saat ini tengah dinikmati bibirku, saat bibir beraroma mint-nya melumatkannya dengan lembut, aku mencoba menikmatinya, mencoba, mencoba, mencoba, merasakannya; hangat, lembut, manis, tidak tawar seperti yang dibisikkan kepalaku. Ciuman yang manis dan lembut seperti ciuman yang seharusnya, aku membalasnya dan kurasakan saat menjilat bibirku sendiri, terasa seperti sebuah cream di atas cupcake yang manis. Aku ingin larut dalam ciuman ini, seperti Emile yang begitu menikmatinya. Nyaris larut di dalamnya tapi tiba-tiba tersadar, saat Emile membisikkiku
“Maukah kau….”
Namun, kata-kata itu menggantung begitu saja hingga semuanya terasa melambat, saat sebuah tembakan terdengar begitu tiba-tiba, kurasakan ada yang basah mengalir di kulit lenganku, Oh Tuhan, darah! Bukan padaku, tapi mengalir dari bahu Emile yang merintih, aku mengedarkan pandangan mencoba melihat ke sekeliling, seorang pria dengan tuxedo hitam dan topeng perak dengan pistol di tangannya, alih-alih berlari menjauh, dia malah mendatangi kami.
Semuanya terasa membeku, dan histeria, panik dan cemas seakan menghentikan segalanya, tapi tidak langkah pria itu dan juga ketakutanku, pria itu datang menarik tanganku kasar, membuatku melepaskan pelukan dari Emile yang sekarat, Emile menyebut namaku lirih, tapi aku seolah tak sadarkan diri, saat diseret dan diajak berlari.
bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H