Mohon tunggu...
Citra Rizcha Maya
Citra Rizcha Maya Mohon Tunggu... pegawai negeri -

I wanted to be that quirky girl who writes silly stories that still have meaning.❤\r\n\r\n\r\nhttp://ceritacintaciptaancitra.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Holiday Writing Challenge Gagas Media: Lembaran Biru Putih Abu-Abu

25 Maret 2012   12:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:30 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Reuni mewah di rooftop sebuah café seperti drama menyedihkan yang harus kujalani, yeah aku di sini tanpa prestasi, kecuali jika baru lepas dari panti rehabilitasi masuk dalam hitungan di sini. Siapa aku sekarang? Hanya pecundang payah, dengan gelar Kapten Cheer Leader dan Prom Queen yang kini jadi kenangan, apa aku harus mengutuk diri, mengasihani diri sendiri, dan aku di sini, seperti sampah, di depan teman-teman yang dulu kuanggap pecundang tapi sekarang terang benderang, di depan mantan kekasih lama yang dulu pernah kutinggalkan dengan cara yang menyakitkan.

“Lupita…” suaranya masih sama saat memanggil namaku, aku menatap pada wajahnya. Raya, masih setampan yang kuingat, hanya saja bila dulu dia terlihat seperti Prince Charming, sekarang dia terlihat seperti Mr. Right dalam drama Hollywood.

Aku mengabaikannya, mempercepat langkah, menjauh darinya.

“Lupita…”

Dan yeah, aku menyerah saat langkahku tertahan, ketika tanganku berhasil tergenggam.

“Mau apa?” aku menantangnya “Mengasihaniku?” entah apa yang kupikirkan, aku menengadahkan wajah dan menatapnya tajam, di saat yang sama aku ingin melepas kerinduan. Ada air mata yang ingin tumpah, tapi kutahan demi sebuah harga diri yang tak berguna.

“Aku prihatin mendengar kabarmu” suaranya membuatku menumpahkan air mata yang sedari tadi kutahan, bagaimana bisa kuhadapi seseorang yang pernah kusakiti?

***

Aku tak ingin peduli pada meriah suasana, tak ingin peduli pada musik yang menggema, suara tawa, euforia pesta telah mengabur bersama mataku yang berkaca. Bukan salahku bila kupikir bertemu teman lama akan mengurangi deritaku, derita menunggu kematian yang akan datang, vonis kematian datang terlalu dini di usia 25, tapi itulah yang kudapatkan atas apa yang telah kulakukan, berapa banyak dosa yang membuatku tak termaafkan?

***

Raya mengajakku menepi pada tempat yang lebih sepi, kami duduk di kursi besi dingin yang membuatku menggigil, aku benci membayangkan bagaimana diriku saat ini, seperti Zombie; pucat, jelek, tak terawat, jauh dari wajah Lupita beberapa waktu lalu, HIV AIDS merebut diriku yang dulu.

“Maaf…”hanya itu yang bisa kukatakan atas kesalahan kelam yang harusnya tak terampunkan.

“Aku tak pernah membencimu” Raya menatap dalam kemataku, binarnya masih sama seperti dulu, kini kedua tangannya menyentuh tangan kurusku, menggenggamnya, dan lalu menciumnya, penuh cinta, yah…aku merasakannya.

“Bagaimana bisa? Setelah semua yang terjadi?”suaraku bergetar dan terasa menyakitkan. “Kamu memang punya pilihan untuk pergi, tapi aku yang memberikanmu alasan untuk meninggalkan aku” mengingat kesalahan membuatku merasakan penderitaan dalam ini lebih menakutkan dibanding ancaman kematian. Sekarang sedikit berbeda ketika menyadari Rayalah yang di depanku, menggenggam tanganku, menenangkanku. “Sekarang kamu adalah mimpi bagiku” menyadarinya membuatku rendah diri, aku hanya gadis tragis yang akan mati.

“Aku masih menyayangimu” suaranya juga bergetar “Tak ada satu haripun aku berhenti merindukanmu” dia menghapus air mataku. Sentuhannya terasa seperti selimut hangat di hari hujan.

“Tidak bisa kembali, tidak bisa seperti dulu lagi” ucapku lirih, dia menyandarkan kepalaku pada bahunya membiarkanku merasa nyaman. “Aku akan mati, dan kamu hanya mimpi” suaraku parau. “Boleh minta satu hal?” seperti permintaan terakhir yang ingin kusampaikan, karena entah mengapa, saat mengetahui Raya masih menyayangiku segala ketakutanku seolah menguap begitu saja.

“Apapun” dia menatapku dalam mencoba meyakinkanku, aku tau dia tak berdusta.

“Bila kau adalah mimpiku, maukah kau tetap di sana…tanpa menghilang saatku terjaga?” saat mengatakannya, air mataku tertumpah, dia membiarkannya, seperti membiarkan air matanya menetes juga. Disaat itulah dia mengecup keningku begitu lama, lalu membenamkanku dalam pelukannya dan membiarkanku tidur selamanya dalam kedamaian sempurna.

Gambar : Kitty Gallanaugh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun