[caption id="attachment_162663" align="aligncenter" width="300" caption="Google"][/caption]
No. 35 CitЯa ЯiZcha Maya + Selsa
Jika cinta itu masih milik kita
Pada akhirnya kita pasti akan bersama
***
Dering telepon itu membangunkanku, membuyarkan mimpiku, tentang satu-satunya sosok wanita yang aku rindukan. Di layar teleponku, gambar wanita itu berkelap-kelip, (jangan tanyakan mengenai foto wajahnya, aku mengambilnya di akun jejaring sosialnya), seolah-olah dia baru saja keluar dari dalam mimpiku. Yah telepon darinya, dan tidak ada alasan untukku tak mengangkatnya, dia bahkan sering menelponku di waktu-waktu tak biasa, kapanpun maunya, memang, akan selalu ada waktu untuknya, walau kadang tak mendengarnya bicara, hanya suaranya memuntahkan isi perutnya, saat dia terlalu mabuk sepulang pesta, atau saatnya menangis karena hal-hal yang tak pernah kumengerti, karena dia tak pernah mau membagi sedih, dia akan ceria ketika dia berbicara tentang hal-hal yang disukainya, itu adalah obrolan yang paling kusuka, aku mencintai caranya tertawa, seakan aku melihat wajahnya tertawa di depanku, bukannya kita terpisah ruang dan waktu.
“Damar, gue jetlag parah, but surprise! I’m home! By the way, happy Valentine Day! Love You, jam makan malam gue tunggu! Please…lewatin malam Valentine ini sama gue ya. Okay, Lovemissubye”
Dia bahkan tak menunggu jawabanku, karena pada saat itu aku bahkan belum mencerna kata-katanya, antara percaya dan tak percaya akhirnya dia kembali juga, pulang. Dan dalam hatiku, aku sudah mengatur rencanaku untuk menemuinya, dia takkan berdusta, ini 14 Februari bukannya tanggal 1 April.
***
“Happy Vals Day” dia mengucapkan untuk yang kedua kalinya hari ini, tapi kali ini secara langsung dan diberi tambahan kecupan kecil di pipi. Budaya barunya membuatnya berani, dalam diriku masih ada sedikit ragu, apalagi selama ini kita tak pernah bertemu.
“Happy Vals Day Brilly”aku membalasnya, tanpa ciuman, hanya sebuah tatapan dalam ke mata indahnya yang membuatku terpesona, betapa aku merindukannya, dan masih antara rasa percaya tak percaya, akhirnya aku melihatnya di depan mata, tampak berbeda, lebih dewasa, lebih mempesona. “Apa kabar?” kali ini aku menjabat tangannya
Dia tak menjawab dengan kata-kata tapi dengan ekspresi wajah, dia menunjukkan tawa lebar khasnya yang masih kuingat jelas. Aku tau sejak dulu, dia selalu bersikap seolah semuanya baik-baik saja, dia selalu menunjukkan wajah bahagia. Aku tau wajahnya berdusta seperti yang selalu dilakukannya, seperti juga aku yang selalu berpura-pura untuk tertipu kebohongannya. Bagaimana bisa dia selalu memakai topeng bahagia seperti dulu? Brilly, ternyata waktu memang tak banyak merubah dirimu…
***
Walau saat berkomunikasi via perantara kami sungguh akrab, tapi saat bertemu muka, ada kegugupan aneh yang kurasa menyiksa. Seusai makan malam dalam diam, kami duduk di sofa merah yang menghadap ke arah TV plasma sambil menikmati sparkling wine kesukaannya, tapi segalanya …tiba-tiba merubah segalanya manakala otakku memutarnya lagi, kenanganku delapan tahun lalu di tempat yang sama dengan suasana berbeda seolah menyaksikan memory itu melalui layar televisi, saat Brilly masih gadis polos dengan wangi gula-gula, bukan wanita dewasa dengan wangi parfum yang menggoda.
Tubuh kami masih basah karena kehujanan sepulang sekolah, dan sepanjang hari itu kami tertawa-tawa hingga lelah. Brilly mengajakku pulang ke apartement-nya, seperti biasa, sepi, orang tuanya lebih mencintai pekerjaan dibanding putri satu-satunya.
Hari iu kami cukup mendapat banyak masalah di sekolah, kami harus sembunyi dari para pengagum Brilly, dan akupun juga harus begitu, ikut serta bersembunyi bersamanya, karena, tebaklah! apa yang paling dibenci cowok berusia belasan yang tengah jatuh cinta? Cowok lain yang paling dekat dengan pujaan hatinya, dan aku adalah orang terdekat Brilly.
Kami berbaring di lantai yang dilapisi karpet berbulu tebal yang nyaman, sambil menikmati cokelat-cokelat yang kudapat dari adik-adik kelasku yang pemalu, jadi ketua OSIS berarti kamu juga jadi idola bagi para cewek cupu, walau tak sekeren para atlet baske, tentunya.
Aku masih ingat apa yang dikatakan Brilly hari itu.
“Gue nggak sabar untuk jadi dewasa, jadi bebas, dan bisa pergi serta melakukan apa saja yang gue suka”
“Gue pengen selamanya elo kayak gini, biar elo nggak tinggalin gue” itu yang aku katakan, tapi siapa kami saat itu? aku cuma sahabatnya, yang dipilihnya karena aku berguna untuknya saat menghadapi ulangan ataupun butuh contekan instant untuk PR yang dikerjakan sebelum sekolah dimulai. Sementara Brilly, dia Queen Bee sekolah, kadang aku tak percaya, aku bisa seakrab ini dengannya, kadang juga merasa bersalah saat aku memasukkannya ke dalam fantasi romantis khas pemuda puber.
Saat itu dari jendela kaca besar kami melihat gerimis hujan di luar sana, dan dari stereo terdengar lagu favorite Brilly kala itu, When You Say Nothing At All-nya Ronan Keating, kemudian tanpa kusadari Brilly berbalik dan bergerak mendekatiku, lalu menciumku, tepat dibibir, aku masih ingat bagaimana rasa ciuman itu, berasa seperti cokelat yang baru saja kami makan “Happy Vals Day, Damar!” ucapnya singkat. Itu kejadian paling tak terlupakan dalam hidupku, karena itulah hari terakhir aku bertemu dengannya sebelum dia mengikuti ibunya ke luar negeri, setelah perpisahan dengan ayahnya, setelah itu kamitak pernah bertemu sama sekali , walau tak pernah putus komunikasi lewat telepon, email, ataupun jejaring sosial, dan juga…melalui koneksi hati
***
“Gimana hidup elo?” Pertanyaan dengan kesan canggung yang kaku.
“Fuckin’ Funtastic” katanya sambil berderai tawa manja, aku tau dia ingin mencairkan suasana.
Aku tak bisa mengalihkan pandangan saat dia terlihat begitu jelita, aku ingin memeluknya dan melepaskan segala rasa yang ada, semuanya, sekarang.
“ Menikmatinya?...errr…hidup elo… maksud gue…!”
“Bisa berhenti bersikap seakan kita orang yang baru ketemu? Gue benci ngeliat elo bersikap kaku!” dia meninju bahuku.
“Segalanya baik-baik saja Bril?” entah mengapa aku mempertegas lagi pertanyaanku.
Brilly terdiam, melepaskan pandangannya dari wajahku, dan memilih memandangi Stiletto-nya yang berhak 17 centi.
“Elo tau semuanya Dam, gue cerita kan?” dia menyesap Wine-nya dalam satu tegukan cepat. “Hidup gue berantakan! Gue merindukan pulang, gue kangen banget sama elo” dan tiba-tiba saja dia memelukku, lalu menangis di bahuku.
Kubiarkan dia menangisi apa yang harus ditangisinya, setelah puas menangis dia melepaskan diri dari pelukanku, lalu mencabut tissue dan mulai menghapus air matanya, walau basah, wajahnya tetap mempesona.
“Gue nggak pengen pergi…gue nggak pernah pengen” dia terisak “Tapi harus” dia menghela nafas “Dan segalanya berantakan disana” dia menangis lagi, aku menariknya ke dalam pelukanku, membiarkan dia menumpahkan apa yang menjadi beban batinnya.
“Gue menggila, dan menjadi sesuatu yang bukan diri gue sendiri, mungkin gue belom pernah cerita tentang masalah ini…” dia terisak “…gue malu Dam…” Aku mengusap kepalanya, aku merasakan wangi shampo-nya seperti perpaduan mint dan chamomile.
“Jangan rusak Valentine-nya dengan menangis” aku mencoba menghiburnya.
“Boleh bikin pengakuan?”Dia menatapku, seakan meminta persetujuan” Baiklah gue mau bilang secara terang-terangan, sejak dulu gue suka sama elo, okay?” diucapkan secara cepat hingga nilai rasanya terasa hambar, seandainya dia mau mengucapkannya perlahan, seakan lidahnya menikmati kata per katanya. “Ini tiba-tiba, tapi yang gue tau, cuma elo yang selalu ada buat gue bahkan saat kita pisah, saat gue dengan kehidupan liar gue di sana dan elo dengan masa depan cerah dengan jalan yang lurus-lurus saja.”
“Kedengarannya hidup gue membosankan” aku tak pandai berkomunikasi apalagi dalam keadaan seperti ini.
“Damar, dengerin gue! Gue berasal dari keluarga disfungsional, elo tau, dan setelah nyokap gue kawin lagi dengan selingkuhannya, segalanya tak lebih baik” saat mengatakannya dia menahan tangisnya, dia memaksa diri memandang langit-langit. “Gue mengalami pelecehan seksual dari bokap tiri gue, dan sampai akhirnya gue nggak tahan, tapi nyokap nggak percaya sama gue, gue pengen pulang, balik kemari, tapi elo tau bokap gue kawin lagi, gue sendiri tanpa siapa-siapa, usia gue masih muda, cuma elo yang ada, walau gue nggak pernah cerita tentang hal-hal yang gue biarin aja jadi rahasia.”
Aku mengangguk, hanya itu yang bisa kulakukan pada saat dalam dadaku ada rasa iba, sekaligus sakit hati atas orang-orang yang menyakitinya.
“Gue nggak tau harus bagaimana!” itu kalimat terakhir yang diucapkannya. “Pulang kembali ke sini adalah langkah berani, menurut gue! Gue nggak punya siapa-siapa lagi selain elo! Sebentar” Brilly bangkit dan berjalan menuju meja, dan mengambil sesuatu di sana, setelah itu dia kembali dan membawaan sebuah scrapbook.
“Harusnya gue ngasih ini delapan tahun lalu” dia tersenyum walau wajahnya masih basah karena air mata.
Aku menerimanya, dan membalik-balik halamannya, foto-foto kami di masa lalu, saat tawa ceria masih milik kami bersama.
“Dulu…gue tau bahkan kalopun elo nggak bilang tapi dari segala yang loe lakuin ke gue adalah nunjukkin kalo elo sayang sama gue, hari ini gue datang, ditengah keputusasaan hanya untuk tau satu hal, apa Valentine gue delapan tahun lalu, bakal jadi Valentine gue sekarang, karena dulu gue belum sempat mengatakannya, tapi jika tidak…”
“Bril…” lidahku kelu, dan segalanya terasa begitu cepat, belum sempat terolah di kepalaku.
“Dam, gue cuma pengen mencoba mencari peruntungan dimasa lalu, makanya gue kembali, gue pengen tau apa masih ada cinta atau tidak dimuka bumi?” Brilly terdengar serius ketika mengatakannya.” Orang kayak elo nggak akan bilang, tapi..anggap aja kalo gue cuma pengen muasin rasa penasaran dengan berwisata romantis ke masa lalu, sebelum gue… menikah” dia memperlihatkan cincin dijari manisnya. “Ada seseorang disana yang nunggu, tapi gue pengen pulang, untuk cinta yang tak sempat gue ucapkan, supaya gue nggak nyesal” dia menangis.
Aku tak yakin, seakan ini sebuah permainan
“Seandainya gue denger kata ajaib itu dari bibir orang yang gue harap mengatakanya sejak dulu” dia sungguh-sungguh dan menatap dalam pada mataku “Mungkin gue bisa ngerubah langkah, agar nggak ada sesal dimasa depan”
Aku mengerti sekarang, dan merengkuhnya sekali lagi lalu berbisik “If I tell you I love you, can I keep you forever?”
:::Happy Valentine Day::::
Soundtrack : When You Say Nothing at All (Ronan Keating)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H