Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Transjakarta Berbenah: Si Kembar Amari dan Andini

6 Mei 2015   11:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:19 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430883125155559446

Jakarta, ibukota negara kita tercinta ini dikenal ikonik dengan kondisi yang ironisnya mencerminkan kurang baiknya pengelolaan kota: kemacetan. Dialami setiap hari oleh warganya, didengar dan dilihat terus menerus oleh mereka yang tinggal lain kota, disampaikan penuh senyum kecut bahkan oleh orang dari mancanegara. Adviser saya dulu di Taiwan pun harus meminta maaf pada saya karena tidak bisa memenuhi undangan bertemu saat beliau di Jakarta karena satu alasan mahadimensi tadi. Telat bekerja, karena macet. Meeting ditunda, karena macet. Pergi pagi buta pulang malam kentara, demi menghindari macet.

Sebabnya memang kompleks, mulai dari pertumbuhan jalan yang tidak seimbang dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor, tidak adanya pembatasan jumlah kendaraan bermotor, pelanggaran lalu lintas kecil-kecil yang menimbulkan efek bola salju, hingga proyek situasional seperti pengerjaan MRT. Hingga titik ini, saya sedikit banyak merenung akan keputusan saya untuk selalu menggunakan kendaraan umum. Bisa jadi saya idealis, berusaha berkontribusi mengurangi kemacetan dan polusi.

Tapi percaya tidak percaya, keputusan saya itu juga karena saya percaya pemerintah Jakarta mau dan mampu mengembangkan sarana transportasi umum yang baik untuk warganya. Kali ini saya berbicara mengenai Transjakarta.

Dari hari ke hari, Transjakarta memang berbenah.

Halte-halte Transjakarta kini sudah banyak yang direnovasi, terutama yang saya lihat di Koridor 1. Dengan posisi halte yang berada di tengah jalan/jalur cepat dan area yang sempit, desain halte lama tidak mengantisipasi ketika penumpang berlebih di jam-jam sibuk. Halte-halte tersebut kemudian dibongkar dan diperpanjang (iya, secara ukuran) sehingga menyisakan ruang yang cukup lega ketika antrian penumpang mengular. Haltenya juga dibuat terbuka sehingga aliran udara lebih bebas.

Tiket elektronik sudah diterapkan sepenuhnya di semua koridor, terhitung sejak Februari 2015. Dengan dompet elektronik yang terintegrasi, menggunakan Transjakarta dan commuter line lebih mudah dan praktis. Kartu keluaran berbagai bank yang digunakan sebagai dompet elektronik pra bayar kini sudah bisa didapatkan di banyak halte atau bank terkait, tak seperti sebelum e-ticketing diharuskan. "Pemaksaan" penggunaan tiket elektronik ini juga saya lihat "memaksa" pihak Transjakarta untuk memastikan mesin top-up (penambahan saldo) dan pengecekan saldo selalu berjalan. Sebelumnya, tak sekali dua kali saya harus menerima kenyataan tak bisa mengisi kartu saya karena mesin bermasalah.

Hanya saja memang tiket untuk satu kali perjalanan (single trip) belum tersedia. Barangkali bisa mencontoh kartu perjalanan tunggal milik commuter line. Selesai dipakai, bisa dikembalikan.

Saya yang sebenarnya tidak merasakan efek dilarangnya kendaraan bermotor roda dua di sepanjang Jalan M.H. Thamrin justru merasa terbantu dengan layanan bus gratis sepanjang Thamrin dan Sudirman. Sebagai kompensasi larangan tersebut, Transjakarta menyediakan bus gratis di kedua jalan protokol tersebut, yang beroperasi mulai pukul 06.00 hingga 22.00. Jeda waktu menunggunya memang antara 20-30 menit dan berjalan di jalur lambat yang mau tak mau terpengaruh kemacetan, namun saya melihat penyediaan bus gratis ini punya andil dalam membantu pekerja di sekitar kedua jalan protokol ini. Selain ini, penumpang juga "dipaksa" untuk tertib menunggu dan turun di halte bus(bukan halte Transjakarta), karena bus gratis ini hanya berhenti di halte-halte yang tersedia di pinggir jalan, tak seperti bus kota reguler yang bisa turun naik di mana saja.

Sebagai pengguna kendaraan umum, pulang di malam hari seringkali menjadi momok. Transjakarta menjawab kekhawatiran saya dengan adanya si kembar amari dan andini. Amari (angkutan malam hari) dan andini (angkutan dini hari) adalah angkutan Transjakarta yang beroperasi pukul 22.30 hingga 04.30, sementara angkutan reguler Transjakarta melayani penumpang antara pukul 05.00 dan 22.00. Dari segi jenis bus, amari dan andini menggunakan bus berkapasitas lebih kecil dibanding bus Transjakarta reguler. Hingga awal bulan ini, amari dan andini diterapkan di 3 koridor: Koridor 1, 3, dan 9. Dalam waktu dekat, Koridor 2, 5, 8, 10 akan menyusul dioperasikan 24 jam. Sebagai catatan, amari dan andini tidak berhenti di semua halte, sehingga calon penumpang harus tahu terlebih dahulu halte mana saja yang beroperasi 24 jam. Di Koridor 1 misalnya, dari Bundaran Senayan, amari dan andini tidak berhenti di Halte GBK dan Polda, langsung menuju Halte Bendungan Hilir. Lama menunggunya juga sedikit lebih lama, antara 20 hingga 30 menit.

Hal-hal itu membuat saya tersenyum, bahagia melihat pemerintah kota Jakarta memberikan perhatian pada warganya dengan pembenahan transportasi umum.

Saya kira setiap orang bisa menunjukkan bobroknya hal-hal di sekitar kita. Bagi saya, memandang masalah sebagai tantangan dan mengapresiasi perubahan-perubahan, tak peduli seberapa kecil, adalah sebuah keputusan yang membuat hari-hari saya tak melulu dirundung keluh kesah.

XOXO,

-Citra

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun