Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Titanic: Lima Belas Tahun Kemudian

4 April 2012   17:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:02 1895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13335603721646098353

[caption id="attachment_170068" align="aligncenter" width="602" caption="Reader's Digest, National Geographic, dan 2 tiket Titanic 3D"][/caption]

April tahun ini memang bulannya Titanic. Dua majalah internasional yang sering saya baca, National Geographic dan Reader’s Digest, dua-duanya menyertakan artikel tentang Titanic. James Cameron menulis satu catatan singkat di National Geographic. Tentu saja judul tulisan ini bisa saja Titanic: Seratus Tahun Kemudian, sesuai sejarahnya. Hampir seratus tahun lalu, tepatnya tanggal 15 April 1912, RMS Titanic tenggelam bersama sekitar 1.500 lebih penumpangnya yang tidak terselamatkan. Tapi kemarin, 4 April 2012, adalah pemutaran perdana film Titanic karya James Cameron yang di-remake dalam format 3D.

Sejarah perfilman mencatat bahwa Titanic (1997) waktu itu adalah film termahal yang pernah dibuat, menghabiskan biaya hingga USD 200 juta, film pertama yang mencatat penjualan lebih dari USD 1 miliar, dan memenangkan 11 Academy Awards dari 14 nominasi, termasuk Best Picture dan Best Director. Meski durasinya lebih dari 3 jam (dengan sendirinya mengurangi frekuensi pemutaran), film ini mampu mencatatkan diri sebagai film dengan angka penjualan tertinggi selama 12 tahun sampai akhirnya Avatar (yang juga karya James Cameron) dirilis tahun 2009.

Lima belas tahun kemudian, kemarin tepatnya, Titanic dalam format 3D dirilis. Sejak awal saya memang ingin menonton film ini, tapi bukan kemarin. Tanpa rencana, dan jujur tanpa ekspektasi tinggi, karena meski teknologi memungkinkan, film yang direkam lima belas tahun lalu dan kemudian diolah untuk memberikan efek 3D tentunya berbeda dengan film yang direkam dengan teknologi sekarang. Kabarnya James Cameron menghabiskan waktu 60 minggu dan USD 18 juta untuk me-remake film ini ke dalam format 3D.

Hasilnya?

Cerita dan alurnya sama persis, tapi dalam 20 menit pertama, saat Brock Lovett dan krunya menjelajah reruntuhan Titanic, efek 3D-nya benar-benar membuat penonton seakan menjadi Snoop Dog dan Duncan, dua ROV (remotely operated vehicle) yang digunakan Lovett untuk merekam sisa-sisa kemegahan Titanic. Pinggiran dek kapal yang berkarat (disebut dengan rusticle), lorong yang gelap, pintu yang menghalangi, bahkan kepingan puing-puing yang mengambang dimana-mana; terlihat dengan jelas. James Cameron sendiri adalah underwater explorer, yang menjadikan prolog cerita di kedalaman laut Atlantik ini begitu intens, dan sendirinya semakin intens saat direka ulang dengan format 3D.

Cerita berjalan, dan seperti ‘kecurigaan’ saya sebelumnya, banyak scene yang memang tidak terasa efek 3D-nya. Adegan klasik di anjungan kapal (“the flying scene”) pun terasa biasa. Beberapa kali saya melepas kacamata 3D yang saya gunakan dan saturasi gambar asli terlihat lebih tinggi dibanding dengan menggunakan kacamata. Berbeda jauh dengan Avatar memang. Efek 3D-nya mulai terasa kembali saat Titanic berada di momen kritisnya. Bagaimana orang-orang bergelantungan di dinding kapal dan berjatuhan ke laut Atlantik yang membekukan, bagaimana sebuah balok terlihat menghalangi sekoci yang akan diturunkan, hingga saat Titanic sudah tenggelam dan para penumpang terlihat mengambang di laut. Breathtaking, dalam konteks menyedihkan, saya tidak sanggup membayangkan apa yang mereka rasakan. Dinginnya air yang menusuk dan tidak adanya harapan hidup. Air di rambut yang akhirnya menjadi butiran es. Membuat penonton bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan mereka yang masih terjebak di dalam dan dengan sendirinya meluncur jatuh ke dasar lautan Atlantik?

Ada satu bagian yang sedikit menggelitik saya, langit berbintang yang entah kenapa terlihat sangat cemerlang dan berbeda di film 3D ini dibanding film sebelumnya. Ternyata memang James Cameron memperbaiki akurasi bintang-bintang tersebut, karena seorang ahli astronomi mempertanyakan akurasinya. Lalu James Cameron meminta ahli astronomi tersebut memberikan posisi bintang-bintang di langit secara eksak saat Titanic tenggelam seratus tahun lalu.

Di 30 menit terakhir film berdurasi 3 jam 14 menit ini, saya samar-samar mendengar beberapa orang terisak. Lima belas tahun lalu, Titanic menjadi film box office dengan cerita cintanya yang sederhana sekaligus menyedihkan di sebuah kapal yang digelari "unsinkable". Lima belas tahun kemudian, Titanic dihidupkan kembali di layar lebar, dengan reruntuhan yang sejangkauan mata dan bayangan kematian di dinginnya samudera, yang sesaknya begitu terasa.

-Citra

P.S. Foto koleksi pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun