Bapak saya pensiunan guru, Ibu masih bekerja sebagai guru. Budhe (kakak dari ayah) saya guru. Bulik (adik dari ayah) juga guru. Sepupu saya dari Budhe dan Bulik itu juga bekerja sebagai guru. Pendek kata, saya dikelilingi orang-orang yang memang bergelut di dunia pendidikan.
Barangkali itu salah satu alasan saya out of the blue bergabung dengan Indonesia Mengajar (sebagai program officer) sepulang menuntut ilmu di negeri seberang.
Ada satu masa di mana saya penasaran dengan konsep Indonesia Mengajar. Bagi saya tak ada yang istimewa dengan program mengirim guru ke daerah. Kenyataannya memang ada ketimpangan tinggi menyangkut jumlah guru di Indonesia, apalagi sekolah yang letaknya di luar Pulau Jawa, di ujung-ujung republik. Apa istimewanya mengirim guru? Apalagi yang dikirimkan adalah anak-anak muda modern, tak heran banyak yang bilang bahwa Indonesia Mengajar hanyalah program untuk 'menyenangkan' mereka. Semacam aksi heroisme tanpa keluaran yang jelas.
Out of curiosity, I joined the team.
(jangan bertanya saya sering ketemu Pak Anies atau tidak, ya :D)
Di Indonesia Mengajar, dikenal yang namanya Cerita Perubahan. Iya, perubahan, dan bukan keberhasilan atau prestasi. Pendekatan yang diambil Indonesia Mengajar adalah pendekatan berbasis outcome (capaian dambaan), dan bukan output (keluaran). Asal muasal pemakaian pendekatan ini tentu panjang, namun intinya sesuai dengan cita-cita Indonesia Mengajar, gerakan ini ingin mendorong perubahan perilaku, bukan sebanyak-banyak prestasi seperti menang lomba atau nilai sempurna.
Apakah ada anak didik di SD penempatan Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang menonjol? Ya tentu ada. Misalnya Febri Kristian Yafet dan Minarti dari SDN 09 Nanga Lungu (Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat) yang lolos ke final Kalbe Junior Scientist Award (KJSA) 2014.
Itu output, keluaran yang memang lebih banyak dilihat dan dijadikan patokan. Jika ditarik dari sini, outcome yang ingin dicapai adalah bagaimana bersemangatnya anak-anak didik untuk berprestasi, untuk menjadi percaya diri, bahwa keterbatasan yang ada di lingkungan mereka bukanlah halangan untuk menjadi berarti. Apakah keluarannya menjadi juara lomba atau "hanya" peningkatan performa di kelas, pengukurannya bukan lagi di sana. Jika ukurannya adalah menang lomba, saya di waktu SD juga akan masuk kategori tidak berhasil karena kalah melulu di berbagai lomba. Ada seorang anak mulanya malu-malu untuk datang ke sekolah, tidak aktif di kelas, kemudian berproses menjadi siswa yang rajin, percaya diri sehingga menonjol di kelas, bisa menjalin komunikasi yang baik dengan teman-temannya. Bukankah itu sebuah pencapaian luar biasa?
Karenanya Indonesia Mengajar mencatat setiap perubahan perilaku dalam Cerita Perubahan. Tak hanya dari siswa, karena senyatanya pendidikan adalah urusan banyak orang. Perubahan perilaku yang dikatalisasi dengan kehadiran Pengajar Muda ini dilihat dari berbagai pihak: guru, kepala sekolah, masyarakat, hingga ke dinas pendidikan. Begitulah. Instead of sending money or logistics, Indonesia Mengajar chooses to send people. Tinggal di pelosok, setahun, menyatu dengan masyarakat di sana, menjadi keluarga, menjadi bagian dari tempat tinggal mereka. Karena yang namanya perubahan perilaku tidak bisa dihasilkan dari pelatihan, tidak bisa didapat dengan seminar dan ceramah.
Ini bukan tentang aksi heroisme anak-anak muda itu saja, ini mengenai keyakinan dan optimisme bersama, bahwa dengan perubahan perilaku, kita bisa bersama menghadapi masalah-masalah pendidikan di Indonesia. Ini juga mengenai menemukan aktor lokal, mereka yang ada di daerah, yang dengan segala keterbatasan, menolak untuk menyerah. Tentang Cerita Perubahan yang beragam: Rahmadanti yang menaklukkan ketidakmungkinan, Ibu Nutfah sang guru sukarela yang mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk pendidikan, pemerintah kabupaten yang meluangkan sehari untuk berbagi.