[caption id="attachment_166117" align="aligncenter" width="491" caption="Orientasi Studi Mahasiswa Baru UT"][/caption]
Saya sendiri tidak yakin kalau apa yang saya dan rekan-rekan saya kerjakan ini termasuk dalam kerja sosial, jadi saya dengan sendirinya juga tidak yakin bahwa kami bisa disebut relawan.
Sejak tahun 2010, Perhimpunan Pelajar Indonesia di Taiwan (PPI Taiwan) sudah menjajaki kemungkinan untuk memfasilitasi pekerja-pekerja Indonesia di Taiwan (yang disebut BMI – Buruh Migran Indonesia) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan perjalanan yang cukup panjang, terhitung sejak tahun ajaran 2011-202, PPI Taiwan berhasil ‘memboyong’ Universitas Terbuka (UT) ke Taiwan, dengan demikian membuka kelompok belajar (pokjar) jarak jauh di bawah UPBJJ UT Jakarta.
Badan pelaksana (BP) pokjar UT Taiwan sendiri dibentuk bulan Juli 2011, terdiri dari badan pengurus harian (ketua, sekretaris, bendahara), kemudian divisi humas dan media, administrasi dan kemahasiswaan, serta akademik dan tutorial. Semua posisi ini diisi oleh mahasiswa Indonesia di Taiwan. Saya bergabung dan memegang posisi bendahara, karena sebelumnya berpengalaman sedikit dengan keuangan dan kesibukan saya membatasi kontribusi saya bila saya bergabung di lain divisi.
Mahasiswa UT Taiwan angkatan pertama berjumlah 33 orang, semuanya di jurusan manajemen, karena di awal memang hanya ditawarkan 3 jurusan dan batasan jumlah mahasiswa per kelas membuat kelas yang dibuka akhirnya hanya 1 saja. Semua mahasiswa UT adalah pekerja, dan kelas untuk kuliah, baik itu kelas rekaman online, tatap muka online (langsung), atau tatap muka kelas; waktunya disesuaikan dengan waktu liburan atau waktu non-kerja.
Pada dasarnya, BP UT Taiwan menarik biaya operasional dari mahasiswa (selain uang kuliah yang dibayarkan ke UT Pusat) untuk berbagai keperluan, misalnya logistik (pengiriman modul), sewa ruangan untuk ujian, termasuk biaya operasional pengurus (transport, makan, dan sebagainya). Biaya operasional ini bisa bervariasi bergantung pada jumlah mahasiswa, karena semakin sedikit jumlah mahasiswa, semakin kecil jumlah pembagi dari total biaya operasional (artinya biaya operasional semakin besar). Di awal tahun anggaran memang ada pos pengeluaran untuk kompensasi bagi BP UT per semester. Meski begitu, pos pengeluaran untuk kompensasi ini diprioritaskan paling akhir, artinya tidak bisa dipastikan BP akan memperoleh kompensasi dari kerja mereka selama satu semester; kalau tidak ada ya berarti BP UT bekerja tanpa dibayar, bekerja sosial.
Dan itu yang saya kagumi dari rekan-rekan saya sesama BP UT. Mereka bekerja dengan serius meski tahu pasti bahwa belum tentu mereka dibayar. Tidak sedikit dari mereka yang mengatakan, uangnya disimpan saja untuk kas semester depan, untuk mengurangi biaya operasional, supaya mengurangi beban mahasiswa. Mereka tidak ingin membebani mahasiswa UT yang notabene pekerja, yang juga harus menghidupi keluarga mereka di Indonesia. Padahal kerja mereka juga tidak ringan (setidaknya tidak seringan saya yang biasanya di kampus saja, menerima, mengganti uang, membuat laporan keuangan). Mereka harus mendata mahasiswa, berkomunikasi dengan UPBJJ Jakarta, mengirim modul ke mahasiswa, menyiapkan kelas untuk tatap muka langsung, dan sebagainya. Capek? Pasti. Tidak jarang pula mereka tidak meminta reimbursement ke saya untuk biaya operasional yang mereka keluarkan, misalnya uang transportasi atau uang makan. Biaya web hosting UT Taiwan (http://ut-taiwan.org/) pun tidak dibebankan pada biaya operasional, melainkan ditanggung secara pribadi oleh salah satu BP UT Taiwan.
Lalu apa yang pasti kami dapatkan dari kerja sosial tersebut? Pelajaran berharga dari para BMI. Serius, saya dan teman-teman salut luar biasa dengan semangat mereka untuk belajar lagi. Beda dengan Hongkong yang memiliki libur reguler untuk para pekerja, Taiwan tidak memiliki aturan serupa terutama untuk pekerja informal, misalnya caretaker atau pembantu rumah tangga. Tidak sedikit BMI yang harus bekerja 7 hari seminggu, dengan jam kerja panjang dan tidak teratur. Dan mereka masih bersemangat belajar, mengikuti tutorial online, datang ke kelas tatap muka langsung; tentunya dengan meminta ijin lebih dahulu pada majikan. Mereka juga dengan semangat selalu menanyakan kapan modulnya datang karena tidak sabar ingin segera belajar. “Inget saya dengerin pak guru sambil motongin sayur”, begitu kata seorang mahasiswa UT. Ih, siapa yang tidak merasa malu coba? Kadang saya masih saja mengeluh dengan tugas-tugas kuliah padahal saya ‘hanya’ kuliah, tidak nyambi bekerja *jitak kepala sendiri*.
Semester kedua ini (2012.1), pokjar UT Taiwan menerima 68 mahasiswa baru untuk 3 jurusan. Dan kami yakin, kompensasi yang kami dapatkan adalah pelajaran berharga dari mereka, semangat yang mereka tularkan, yang justru lebih kami perlukan daripada kompensasi material. Saya? Belajar dobel, belajar untuk tetap semangat dari mahasiswa UT dan belajar bekerja ikhlas dari rekan-rekan BP UT Taiwan.
Kurang enak apa coba jadi saya? Memiliki banyak teman yang bisa dijadikan teladan :)
-Citra
P.S. Foto koleksi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H