Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Rumah Kita Cuma Satu: Bumi

5 Desember 2014   17:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:59 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah sepotong pembicaraan saya dengan seorang teman di Twitter beberapa waktu lalu. Dengan pendidikan tinggi yang bisa saya tempuh (juga dengan gelar yang menyertainya), saya masih merasa kontribusi saya masih sedikit, merasa masih belum berkarya.

1 Juli 2014, saya dinyatakan lulus sidang disertasi saya dan bisa membawa pulang gelar doktor di bidang teknik kimia dari sebuah universitas negeri di Taiwan. Jauh sebelumnya, saya sempat merenung tentang satu pertanyaan: apa yang bisa saya lakukan dengan kapasitas saya sebagai mahasiswa doktoral dan belajar tentang teknik kimia-lingkungan?

Suatu malam, saya sedang lembur membantu adviser saya mengerjakan sebuah review mengenai kondisi dan permasalahan mengenai air di Asia Tenggara. Membaca sekian banyak jurnal, artikel ilmiah, kemudian menuliskannya kembali. Selesai membaca bahan yang harus saya tuliskan, saya sedikit terhenyak. Ada banyak sekali data, publikasi ilmiah, yang membeberkan fakta lapangan mengenai permasalahan yang berkaitan dengan air di Asia Tenggara, yang sedihnya “hanya” diketahui oleh kalangan tertentu karena dipublikasikan secara terpusat pada kalangan tertentu, di sini kalangan peneliti. Terpusatnya karena apa? Ada banyak faktor, salah satunya adalah karena format dan bahasa yang kurang bersahabat untuk mereka yang tidak mendalami bidang yang sama. Sederhananya, bagaimana kita bisa mengerti sebuah persoalan dan mencari solusi jika bahasanya saja tidak kita mengerti?

Malam itu pertanyaan saya terjawab. Menulis di blog dan media online lain adalah pilihan saya. Satu, saya suka (banget) menulis. Kedua, pengalaman saya menulis secara teknis (ilmiah) juga diimbangi dengan banyaknya saya menulis tipe fitur. Ketiga, Taiwan memiliki koneksi internet yang stabil yang tentunya mendukung niat saya untuk berbagi lewat online platform.

Sejak saat itu, saya banyak meluangkan waktu untuk menulis tentang isu lingkungan, baik di blog pribadi maupun milik bersama seperti Kompasiana. Diawali dari tulisan yang saya susun mengenai kondisi dan masalah terkait air di Asia Tenggara yang memang aslinya berbahasa Inggris, saya kemudian membuat mind map sederhana mengenai isu apa yang bisa saya angkat dan tuliskan, terutama dalam bahasa Indonesia. Memikirkan mengenai topik, menggali pengalaman, mencari data pendukung, hingga menuliskannya dengan gaya bahasa yang disesuaikan untuk semua kalangan.

Tujuan saya jelas: berbagi pengetahuan dan pengalaman, dengan mimpi lebih besar, agar semua orang bisa tahu dan peduli tentang lingkungan.

Karena rumah kita cuma satu, bumi. Dan betapa pun menakjubkannya Interstellar, itu kisah fiksi.

Topik mengenai air seringkali saya tuliskan, terutama karena resource yang satu ini sering dikesampingkan karena kita berpikir air itu berlimpah. Seorang profesor pernah menganalogikan bahwa jika jumlah air tawar yang tersedia untuk kita di bumi ini setara dengan 1 galon, maka yang benar-benar tersedia untuk kita sebenarnya hanya 2 tetes. Sedikit, karena jumlah air yang banyak itu didominasi oleh es di kutub, dan air laut hanya bisa dikonsumsi bila sudah melalui proses desalinasi (penghilangan garam dan mineral lain) yang biayanya juga tidak sedikit. Masih berpikir bahwa air kita melimpah?

Karena ini pula maka saya berbagi mengenai rainwater harvesting (memanen air hujan). Dengan sistem yang dirancang baik, kita bisa menggunakan air hujan untuk keperluan MCK, dan bila disertai dengan instalasi pengolahan, bisa diminum. Tapi setidaknya bisa menghemat air tanpa harus bergantung pada air permukaan (sungai/danau), apalagi negara kita adalah negara tropis dengan curah hujan tinggi. Sistem rainwater harvesting ini juga bisa dimanfaatkan sebagai alternatif pencegahan banjir.

Selain air, soal sampah dan limbah juga merupakan persoalan serius. Menurut UNEP, pada tahun 2011, setiap orang di Jakarta menghasilkan 1,7 kg sampah. Fantastis? Memang. Jadi kepedulian tentang sampah itu sangat-sangat diperlukan. Barangkali Jakarta bisa belajar dari kota Taipei tentang bagaimana mengolah limbah perkotaannya. Belum soal sampah elektronik? Banyak yang sering berganti gadget untuk kepentingan penampilan, tapi jangan lupakan bahwa sampah gadget yang kita gunakan itu akan berakhir di mana, diolah siapa, apa efeknya ke lingkungan.

Terkadang ketika menulis tentang isu lingkungan, saya jadi ngeri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun