[caption caption="Kredit Foto: Risma (staf Teten Masduki)"][/caption]"Pak Jokowi, terakhir sedekat ini dengan Bapak, waktu itu saya merasa kesal....."
Kalimat ini yang terbersit pertama di pikiran saya ketika mendadak dipanggil maju untuk menyampaikan uneg-uneg oleh Mas Iskandar Zulkarnaen sebagai salah satu perwakilan Kompasianer yang diundang hadir di Istana Negara. Berhubung mau pencitraan (ehem!), jadilah saya akhirnya menyampaikan sedikit pengalaman dan pembelajaran di Kompasiana, sembari menahan grogi karena baru pertama kali "pidato" di depan presiden, medhok pula. Pak Jokowi tersenyum dan mengangguk-angguk ketika saya bicara. Barangkali membatin, "Bocah iki medhok banget yo...." Rasa-rasanya kearifan lokal yang otomatis ada di saya adalah logat saya yang njawani.Â
Saya memperhatikan Pak Jokowi sejak beliau masuk ke ruangan. Raut mukanya tenang, pembawaannya santai. Pak Jokowi yang saya lihat hari Sabtu itu sama dengan Pak Jokowi yang saya lihat sembilan bulan lalu.
Begitu biasa. Mudah mengatakan bahwa beliau adalah salah satu dari kita, kita warga negara yang tak menduduki jabatan kepemerintahan. Sosoknya serupa benar dengan bapak saya di rumah.Â
Biasa yang diam-diam membuat saya kagum. Duduk seruangan dengan beliau rasanya tak berjarak. Biasa yang membuat saya bertanya-tanya. Seberapa luar biasanya beliau sehingga bisa didukung (dan sekaligus dibenci) banyak orang. Biasa yang membuat saya merenung, bahwa perjalanan, perjuangan, dan karakter seseorang sering sekali jauh melampaui apa yang kasat mata dan apa yang dikatakan orang.
Suatu Hari di Bulan Maret
Sebelum bertemu Pak Jokowi di Istana Negara, saya berselisih jalan dengan beliau di Lhokseumawe, Aceh, awal Maret tahun ini. Pak Jokowi dan rombongan datang ke Aceh Utara untuk meresmikan pembangunan bendungan Keureuto. Menggunakan pesawat kepresidenan, beliau mendarat di Banda Aceh, kemudian lanjut dengan pesawat Hercules ke Lhokseumawe. Berhubung presiden, sama dengan prosedur makan siang kemarin, keamanan jelas nomor 1. Bandara Lhokseumawe disterilkan, tidak boleh ada penerbangan masuk dan keluar hingga Pak Jokowi meninggalkan Aceh Utara.Â
Saya dan rombongan (yang sedang ke sana dalam perjalanan kerja), sedikit khawatir. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore dan belum ada tanda-tanda Pak Jokowi sampai di bandara setelah peresmian pembangunan bendungan itu. Pesawat komersial yang sedianya saya tumpangi ke Medan (dan kemudian ke Jakarta) seharusnya sudah take off setengah jam yang lalu.
Sembari duduk-duduk bosan di ruang tunggu, saya mengamati bandara mungil ini. Steril, jelas. Hercules berdiri gagah di landasan pacu. Rombongan polisi, tentara, hilir mudik. Mendekati pukul 6 sore, barulah Pak Jokowi dan rombongan sampai di bandara Lhokseumawe. Dari balik dinding kaca, saya melihat sosoknya yang berjalan cepat. Gesturnya santai, berlawanan dengan pengawal di sekelilingnya yang siaga. Di tengah kawalan dan di antara para pejabat pemerintahan yang di sekelilingnya, beliau terlihat biasa saja. Tetap dengan kemeja putihnya yang digulung lengannya.Â
Iya, deklarasi saya waktu itu tentang Pak Jokowi: beliau begitu biasa. Barangkali biasanya itu yang membuatnya luar biasa.
Pak Jokowi kembali ke Banda Aceh dengan pesawat Hercules, kami akhirnya tak bisa terbang ke Medan karena bandara Lhokseumawe tak memiliki lampu di landasannya. Matahari keburu terbenam, dan karena alasan keselamatan, penerbangan hari itu dibatalkan.Â
Gimana nggak kesel coba?Â