Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Jakarta dan Monorel

25 Mei 2014   22:25 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:07 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lima tahun di Taipei, kamu tidak memiliki kendaraan pribadi?" seorang teman pernah bertanya. Jawabannya memang tidak. Alasannya satu saja, saya memang tidak memerlukan kendaraan pribadi untuk bepergian. Sarana transportasi massal cepat (mass rapid transit/MRT) di Taipei, yaitu Taipei Metro, sudah memberikan jawaban yang lebih dari cukup.

Pulang ke Indonesia, lalu akhirnya tinggal di Jakarta, sedikit banyak membuat saya jetlag untuk urusan transportasi publik. Mendeklarasikan diri sebagai pejuang busway, tidak jarang sayang menghela nafas panjang ketika melihat antrian penumpang di halte tertentu, belum lagi dengan penumpang yang berjejalan di dalam bus.

Jakarta, ibukota negara tercinta kita ini, tercatat sebagai area perkotaan dengan jumlah populasi terbesar kedua di dunia setelah Tokyo berdasarkan estimasi tahun 2012 (New Geography). Di antara 10 besar area perkotaan yang tercantum di sana (Tokyo, Jakarta, Seoul, Delhi, Manila, Shanghai, NY, Sao Paulo, Mexico City, Cairo), hanya Jakarta yang tidak memiliki sistem transportasi massal.

Pertanyaannya adalah, sebenarnya Jakarta memerlukan sistem transportasi massal atau tidak?

Sabtu, 24 Mei 2014, bertempat di Outback Steakhouse di Mall Kuningan City, Kompasiana bersama dengan PT. Jakarta Monorail (JM) duduk bersama dengan para Kompasianer untuk berdiskusi mengenai permasalahan ini. Dengan narasumber John Aryananda dari PT JM, Dharmaningtyas (pengamat transportasi), Tjipta Lesmana (pakar komunikasi politik UPH), dan Lukas Hutagalung (konsultan bidang infrastruktur); dipandu oleh editor Megapolitan Kompas.com, Laksono Hari Wiwoho; berbagai hal yang menjadi kendala belum adanya sistem transportasi massal, dalam hal ini monorel, di Jakarta dibahas bersama.

14009979941288446484
14009979941288446484
Wacana untuk membangun sistem transportasi massal di Jakarta sudah muncul sejak lama. Di era pemerintahan Sutiyoso, konsep pembangunannya sudah didiskusikan, kemudian menjadi terbengkalai, bahkan ada kemungkinan terminasi di era Fauzi Bowo, dan kemudian proyek yang tidak juga maju tidak mundur ini diwariskan ke gubernur Jakarta saat ini, Joko Widodo.

Monorel adalah mode yang dipilih untuk transportasi publik dalam kota Jakarta, karena pertimbangan infrastruktur dan biaya, demikian diungkapkan John dari PT JM. Heavy skytrain seperti yang digunakan di Bangkok memerlukan tiang pancang yang besar, dan ini tidak bisa diaplikasikan di Jakarta, yang jalan umumnya terbatas. Selain itu, karena chasis-nya yang lebih ringan, biayanya juga lebih rendah. Sistemnya yang melayang juga memastikan monorel tidak mengganggu alur kendaraan lain di batas permukaan tanah. Sarana transportasi massal, seperti monorel, menurut John harus menyasar kalangan menengah ke atas. Dengan adanya sistem transportasi berbasis rel yang nyaman, bisa mengangkut banyak orang, tidak terkendala arus lalu lintas, orang akan berpindah dari kendaraan pribadi ke mode transportasi umum. Satu kereta sendiri bisa memuat hingga 200 orang, berbeda sedikit dengan train untuk MRT yang bisa menampung 240 orang. Kelemahannya memang karena struktur dan chasis yang berbeda dengan MRT, kecepatan monorel 'hanya' berkisar 40-50 km/jam, tidak seperti MRT yang bisa mencapai 90 km/jam.

"Kalau saya dengan tegas menjawab ya," Tjipta menegaskan perlu atau tidaknya Jakarta memiliki sistem transportasi massal seperti monorel. Dengan tingkat kemacetan Jakarta yang sudah sedemikian parah, terutama di ruas jalan arteri, monorel sangat diperlukan, apalagi keberadaan busway belum membantu mengurai kemacetan di Jakarta secara signifikan.

Meski monorel dipandang sebagai salah satu solusi mengatasi kemacetan Jakarta, pengamat transportasi Dharmaningtyas mempertanyakan efektif atau tidaknya monorel. Menurutnya, sistem transportasi dinilai efektif bila menghubungkan asal dan tujuan. "KRL itu jelas efektif, karena menjadi sarana transportasi antara asal, Bogor dan sekitarnya, ke tujuan, kantor-kantor di Jakarta dan sekitarnya. Makanya setiap kali ditambah armada baru, jumlah penumpang juga naik," papar Dharmaningtyas. "Untuk monorel, jelas hanya di Jakarta dan dengan demikian terfokus pada tujuan saja, jangan-jangan nanti hanya menjadi sarana transportasi mall to mall saja," Dharmaningtyas menambahkan.

John dari PT JM menjelaskan bahwa sistem transportasi terintegrasi kota dan satelit (area sekitarnya) justru diperlukan. "Jika KRL menghubungkan satelit dengan Jakarta, lalu bagaimana dengan penduduk yang memang sudah berdomisili di Jakarta? Mereka juga memerlukan sarana transportasi dari titik A ke B," begitu yang diungkapkan John. Terlebih lagi, survei dan kajian mengenai koridor mana yang akan dibangun tentunya dilakukan, dan pemerintah provinsi yang menentukan jalur mana yang akan dilewati rute monorel.

Proyek monorel ini merupakan kerjasama pemerintah dan swasta (KPS): PT JM sebagai pihak swasta dan Pemprov DKI sebagai pihak pemerintah. Bila dianalogikan dengan pernikahan, KPS ini harus dijajaki dengan serius, antara Pemprov DKI sebagai pemangku kebijakan dan PT JM sebagai investor, begitu yang dipaparkan oleh konsultan dari Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), Lukas Hutagalung. "Apalagi ini pernikahannya kan direncanakan untuk jangka waktu lama, 50 tahun," imbuh Lukas. Serba-serbi birokrasi kesepahaman antara Pemprov DKI dan PT JM inilah yang menjadikan proyek pembangunan monorel belum juga segera dilaksanakan. Apa yang menjadi hak dan kewajiban pemerintah, apa pula yang harus dipenuhi dan didapatkan PT JM; masih didiskusikan. Misalnya berapa jumlah uang yang diinvestasikan Pemprov DKI, dari mana revenue stream PT JM didapatkan selama mengelola monorel, koridor yang yang hendak dibangun, juga soal pembebasan dan penyediaan lahan. John menyatakan bahwa PT JM dan Pemprov DKI sudah memasuki tahap akhir untuk finalisasi perjanjian kerja sama (PKS). Selain kajian yang komprehensif, Tjipta menambahkan bahwa tingkat kepercayaan yang tinggi dari Pemprov DKI ke pihak investor sangat diperlukan untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan monorel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun