[caption id="attachment_350478" align="aligncenter" width="560" caption="Dok Pribadi"][/caption]
"Ayuk Citra ini galak nian sama kopi,"
begitu kira-kira penggalan kalimat yang diucapkan seorang teman pada tuan rumah yang kami kunjungi karena ketika ditawari minum "teh atau kopi?" saya selalu menjawab kopi. Ayuk adalah panggilan untuk kakak perempuan, galak artinya suka. Iya, saya memang suka kopi dan tiga hari itu saya berada di Semende, the very land of Semende/Semendo coffee, jadi saya tidak punya alasan untuk memilih jenis minuman lain.
Semende terletak di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Berjarak 7-8 jam perjalanan darat dari Palembang, Semende memiliki ketinggian 800-1200 meter di atas permukaan laut, di deretan Bukit Barisan. Lokasinya yang terletak di pegunungan membuat perjalanan menuju Semende bertema rock and roll, jalan sempit berkelok-kelok (yang bagusnya sudah) paving block dengan kiri kanan tebing atau jurang. Bonusnya banyak: sawah hijau, hutan yang lebih hijau, dan langit yang birunya nggak santai.
[caption id="attachment_350482" align="aligncenter" width="430" caption="Pagi hari di Semende Darat Ulu"]
Hal pertama yang menarik perhatian saya adalah biji-biji kopi yang bertebaran di jalan dan dibiarkan digilas kendaraan yang lewat. Hal yang menurut saya aneh ini akan terjawab nanti. Kedua, tuan rumah selalu, selalu menyajikan kopi panas yang baunya menguar hingga ke seluruh ruangan. Ada yang menyajikannya dalam gelas, ada yang membawa satu teko harum kopi panas dan membebaskan tamu untuk menuang sendiri. Pagi, siang, sore, malam, kopi selalu ada. Saya jadi lupa diri karena harum aromanya dan tidak pernah menolak ketika kopi terhidang di hadapan.
Saya kemudian mempertanyakan, ada apa antara Semende dengan kopi?
Dan mulai berkenalanlah saya dengan kopi Semende/Semendo. Semende yang letaknya di khayangan, eh, maksudnya tinggi, memang menjadi tempat yang strategis untuk menanam kopi. Tak heran dalam perjalanan ke Semende Darat Ulu (Semende paling atas), saya melihat banyak pohon kopi, meski memang belum masa panen. Kabarnya di seluruh Semende, sekitar 10 ribu hektar digunakan untuk perkebunan kopi. Dalam hati saya membatin, kemana aja gue selama ini, nggak ngeh kalau ada kopi seenak ini dari Sumatera. Iya, saya malu karena ternyata khazanah per-kopi-an saya masih sangat terbatas.
Kopi Semende adalah jenis kopi robusta, dengan aroma kuat namun rasa yang tidak terlalu pahit. Saya berani mengatakan bahwa kopi Semende ini adalah jenis kopi yang full body, kopi yang aromanya intens dan kaya. Katanya, kopi yang full body biasanya tingkat keasamannya rendah, sehingga tidak membuat sakit perut walau sering diminum. Sepertinya benar karena saya bisa minum lebih dari 5 gelas sehari dan baik-baik saja. Pagi hari, saat bangun pagi dan malas bergerak dari tempat tidur karena dinginnya ampun-ampunan, aroma kopi Semende yang baru dituang air panas membuat saya langsung bersemangat. Mandi urusan besok, kopi urusan sekarang, hahaha.
Nah, soal biji kopi yang dijemur di jalan tadi, ternyata itu adalah metode masyarakat Semende untuk mengeringkan biji kopi, terutama karena mengeringkannya di paving block atau aspal dianggap lebih cepat daripada menjemurnya di tanah. Secara ilmu perpindahan panas memang masuk akal, sih. Proses penjemurannya sendiri memakan waktu sekitar 2-3 minggu, kemudian biji kopi yang sudah kering dan terkelupas kulitnya dicuci dan dijemur kembali. Setelahnya, baru kemudian dipanggang hingga berwarna kehitaman dan digiling. Jadi ya, kopi yang saya minum sepanjang tiga hari itu (sepertinya) berasal dari kopi yang bijinya terlindas kendaraan di jalanan. Tapi jangan tanya rasanya, deh.