"Dulu ya setelah gelap, tidak ada kegiatan, Bu. Susah juga untuk saya jika ada warga yang membutuhkan bantuan kesehatan, lampu petromaks dan pelita tak cukup terang," Bidan Marlin bercerita. Sebagai satu-satunya tenaga kesehatan di Desa Balurebong, Marlin menjadi rujukan semua masyarakat ketika mereka memerlukan bantuan kesehatan, tak hanya soal kehamilan dan kelahiran. Diakuinya, sulit memberikan layanan optimal ketika penerangan terbatas.
Desa Balurebong di Lembata, Nusa Tenggara Timur itu memang belum dialiri listrik.
Balurebong terletak di atas bukit. Perjalanan ke sana memakan waktu satu setengah hingga dua jam mengendarai motor dari ibukota kabupaten, Lewoleba, melewati jalan beraspal, jalan beraspal jelek, jalan berbatu, dan jalan tanah. Hingga Juli tahun ini, Balurebong belum menikmati listrik.
Saat saya ke sana, sudah ada beberapa tiang listrik terpasang di pinggir jalan. Belum sampai ke Balurebong, belum pula berkabel.
Balurebong yang BeruntungÂ
Namun jelas, dengan jumlah rumah tangga yang mencapai 80, instalasi listrik surya atap itu tentu belum menjawab kebutuhan mereka.
Balurebong hanyalah satu dari ribuan desa yang belum mendapatkan akses listrik. Desa ini bisa dibilang sedikit beruntung sudah "merasakan" terang dalam keterbatasan, karena masih ada 2.519 desa yang benar-benar gelap di Indonesia. Lokasi sering menjadi hambatan, karena perpanjangan jaringan listrik memerlukan biaya yang tak sedikit dan usaha yang ekstra keras. Membawa tiang-tiang listrik melewati hutan, jalan rusak, hingga menyeberang selat bukanlah pekerjaan mudah.
Dalam semangat mewujudkan cita-cita kemerdekaan, lokasi dan kesulitan tak boleh jadi alasan.
Membangun dari Pinggiran dengan Penyediaan Energi
Salah satu nawacita Presiden Jokowi adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa. Pengejawantahan cita-cita itu mendorong munculnya Dana Desa yang bertujuan untuk membekali desa dengan modal finansial untuk mengembangkan desa, dalam kerangka memenuhi kebutuhan dasar warga negara. Modal ini bisa digunakan untuk pembangunan fasilitas masyarakat dan pengembangan potensi desa untuk usaha, dengan harapan kebutuhan dasar masyarakat akan air, sanitasi, hingga energi dapat terpenuhi serta mendorong tumbuhnya sentra ekonomi lokal.
Marcelinus, mantan kepala desa Balurebong, melihat potensi penggunaan Dana Desa untuk kebutuhan energi di desanya. Kepala desa ini berencana membeli generator diesel dengan Dana Desa untuk menghadirkan listrik di desanya. Rencana ini kemudian berganti karena Marcelinus melihat bahwa instalasi listrik surya atap dengan sistem rumahan (solar home system) lebih cocok untuk desanya. Matahari berlimpah di Balurebong, dan dengan empat dusun yang tersebar lokasinya, solar home system (SHS)Â dapat dipasang secara individu tanpa mengkhawatirkan jauh dekatnya ketersambungan dengan sumber listrik.