Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Setelah IQ, EQ, dan SQ, Kini Terbitlah DQ

8 Oktober 2017   14:45 Diperbarui: 8 Oktober 2017   19:05 7930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dunia digital (kredit foto: McKinsey via LinkedIn)

Keterbatasan untuk mengikuti perkembangan dunia digital yang super cepat itulah yang sering menjerumuskan kita dalam perilaku-perilaku kurang berfaedah, baik soal etika, keseringan online, keamanan, hingga critical thinking. World Economic Forum dalam beberapa riset, artikel, dan inisiatifnya terkait DQ memetakan apa saja kompetensi yang seharusnya diajarkan dan dikenalkan pada anak terkait "kewarganegaraan digital" mereka. Peta yang menurut saya juga berlaku untuk kita semua, tak peduli generasi apa.

DQ menurut riset World Economic Forum (kredit foto: weforum.org)
DQ menurut riset World Economic Forum (kredit foto: weforum.org)
Peta ini sungguh mencerminkan permasalahan yang sering kita bahas terkait dunia digital. Dimulai dari yang paling dasar, identitas. Dunia digital memang "menyarukan" identitas. Kita tentu masih ingat dengan Saracen. Kita juga "kenal" dengan Buni Yani dan Jonru. Baik anonim atau bernama, keberadaan kita dunia digital hendaknya dikelola dengan sehat dan dengan integritas. Untuk anak-anak, mengajarkan bahwa mereka juga menjadi warga negara digital ini penting untuk membangun etika, perilaku yang baik, dan menjaga keamanan mereka. Secara lebih jauh, ini berkaitan erat dengan menjaga privasi dan mengelola jejak alias footprint. Zaman now juga adalah zaman skrinsyut, cyin. Yang kita ucapkan seabad lalu saat masih cupu bisa jadi "senjata" orang lain untuk menyerang kita di masa kini.

Kecerdasan digital ini juga meliputi empati digital dan perisakan siber (cyberbullying). Memahami perasaan dalam interaksi langsung saja sering kedodoran, apalagi ini di ranah digital yang sering singkat, tidak bernada, bahkan tanpa titik koma. Kayaknya lebih mudah menerjemahkan gerakan buntut kucing dibanding memahami perasaan warganet dan berempati pada mereka. Heu. Karena sulit dilakukan inilah, kesalahpahaman dan perisakan siber sering terjadi. Berempati aja susah, makanya menahan diri untuk nggak nyinyir juga sama susahnya.

Poin tak kalah penting, bahkan menurut saya paling penting, dari keberadaan kita di dunia digital adalah mengenai pemikiran kritis (critical thinking). Dalam definisinya, WEF menyebutkan pemikiran kritis ini meliputi kemampuan membedakan informasi benar dan salah, konten yang baik dan mengancam, serta kontak yang dapat dan tidak dapat dipercaya di komunikasi daring. Sudah cukup sering kita mendapat brodkes informasi kurang diyakini kebenarannya di WAG, mudah mempercayai sumber tanpa ricek-ricek-ricek, hingga kasus-kasus penipuan cinta di berbagai media sosial yang melibatkan uang. Kita yang sudah dewasa (asumsinya) saja bisa terjebak, apalagi anak-anak?

DQ ini dimensi yang jelas dan juga memiliki alat ukur, dan sebagaimana layaknya alat ukur lainnya; bisa saja tidak mewakili kondisi sesungguhnya atau menyatakan secara pasti bahwa skor rendah sama dengan apa. Lepas dari itu, menyadari bahwa dalam perkembangan teknologi yang pesat dan bergeraknya sistem dunia ke arah sana, mau tak mau kita harus memikirkan kompetensi dan model kecerdasan digital yang relevan. Baik relevan dengan kita sendiri juga dengan generasi selanjutnya, anak-anak dan cucu-cicit. Saya tak bisa menyalahkan para orangtua yang "alergi" dengan teknologi, melarang anaknya untuk sama sekali tak memegang hape atau tablet; mengingat banyaknya dampak negatif yang muncul di dunia digital. Dari sudut pandang perlindungan anak, kita seyogyanya juga mempertimbangkan bahwa anak-anak itu (dan kita!) akan menjadi warga negara digital. Dan menghadapi sekian banyak tantangan dunia digital yang tak terhindarkan ini (kecuali mau tinggal di pedalaman hutan), kita harus menyesuaikan.

Selamat datang, DQ.

Salam hangat,

Citra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun