Keterbatasan untuk mengikuti perkembangan dunia digital yang super cepat itulah yang sering menjerumuskan kita dalam perilaku-perilaku kurang berfaedah, baik soal etika, keseringan online, keamanan, hingga critical thinking. World Economic Forum dalam beberapa riset, artikel, dan inisiatifnya terkait DQ memetakan apa saja kompetensi yang seharusnya diajarkan dan dikenalkan pada anak terkait "kewarganegaraan digital" mereka. Peta yang menurut saya juga berlaku untuk kita semua, tak peduli generasi apa.
Kecerdasan digital ini juga meliputi empati digital dan perisakan siber (cyberbullying). Memahami perasaan dalam interaksi langsung saja sering kedodoran, apalagi ini di ranah digital yang sering singkat, tidak bernada, bahkan tanpa titik koma. Kayaknya lebih mudah menerjemahkan gerakan buntut kucing dibanding memahami perasaan warganet dan berempati pada mereka. Heu. Karena sulit dilakukan inilah, kesalahpahaman dan perisakan siber sering terjadi. Berempati aja susah, makanya menahan diri untuk nggak nyinyir juga sama susahnya.
Poin tak kalah penting, bahkan menurut saya paling penting, dari keberadaan kita di dunia digital adalah mengenai pemikiran kritis (critical thinking). Dalam definisinya, WEF menyebutkan pemikiran kritis ini meliputi kemampuan membedakan informasi benar dan salah, konten yang baik dan mengancam, serta kontak yang dapat dan tidak dapat dipercaya di komunikasi daring. Sudah cukup sering kita mendapat brodkes informasi kurang diyakini kebenarannya di WAG, mudah mempercayai sumber tanpa ricek-ricek-ricek, hingga kasus-kasus penipuan cinta di berbagai media sosial yang melibatkan uang. Kita yang sudah dewasa (asumsinya) saja bisa terjebak, apalagi anak-anak?
DQ ini dimensi yang jelas dan juga memiliki alat ukur, dan sebagaimana layaknya alat ukur lainnya; bisa saja tidak mewakili kondisi sesungguhnya atau menyatakan secara pasti bahwa skor rendah sama dengan apa. Lepas dari itu, menyadari bahwa dalam perkembangan teknologi yang pesat dan bergeraknya sistem dunia ke arah sana, mau tak mau kita harus memikirkan kompetensi dan model kecerdasan digital yang relevan. Baik relevan dengan kita sendiri juga dengan generasi selanjutnya, anak-anak dan cucu-cicit. Saya tak bisa menyalahkan para orangtua yang "alergi" dengan teknologi, melarang anaknya untuk sama sekali tak memegang hape atau tablet; mengingat banyaknya dampak negatif yang muncul di dunia digital. Dari sudut pandang perlindungan anak, kita seyogyanya juga mempertimbangkan bahwa anak-anak itu (dan kita!) akan menjadi warga negara digital. Dan menghadapi sekian banyak tantangan dunia digital yang tak terhindarkan ini (kecuali mau tinggal di pedalaman hutan), kita harus menyesuaikan.
Selamat datang, DQ.
Salam hangat,
Citra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H