Tujuh belas tahun yang lalu, para pemimpin dunia berkumpul di kantor pusat PBB di New York. Dalam acara yang bertajuk Millenium Summit itu, mereka menandatangani sebuah deklarasi global: Millenium Declaration. Deklarasi inilah yang kemudian bertransformasi menjadi agenda global Millenium Development Goals (MDGs), dengan cita-cita besar untuk menyelesaikan berbagai tantangan di dunia. MDGs ini terdiri dari 8 tujuan, mulai dari pengentasan kemiskinan dan kelaparan, peningkatan kesehatan ibu dan anak, hingga membangun kolaborasi internasional untuk pembangunan. Masing-masing tujuan memiliki banyak targetnya tersendiri. Semua target ini diusahakan tercapai sebelum deadline, yaitu tahun 2015.
Beberapa tahun setelah MDGs berjalan, ternyata ada yang terlupa. Dalam usaha memenuhi target MDGs, barulah disadari bahwa kemiskinan energi tak ada di sana, padahal energi adalah prasyarat banyak kemajuan dan tujuan. Tujuan MDGs 2 mengenai pendidikan dasar misalnya, tentu akan sulit dicapai tanpa ketersediaan listrik untuk pendukung proses belajar. Tujuan MDGs 5 mengenai kesehatan ibu, juga banyak berhubungan dengan tersedianya energi bersih untuk memasak.
"Kelalaian" ini adalah cerminan bahwa isu energi memang isu yang sering luput dari perhatian. Adanya energi amatlah penting dalam mendorong kemajuan, perkembangan ekonomi, hingga pemberdayaan perempuan. Sekretaris Jenderal PBB saat itu, Ban Ki-Moon, kemudian meluncurkan inisiatif global yang disebut Sustainable Energy for All (SE4ALL) di tahun 2011, yang secara spesifik terfokus pada persoalan energi dan pemenuhan kebutuhan energi dengan cara-cara yang berkelanjutan. SE4ALL "hanya" punya tiga tujuan: peningkatan akses energi modern, penggandaan laju pengembangan energi terbarukan, dan penggandaan laju efisiensi energi; dengan tenggat waktu 2030.
Belajar dari kesalahan sebelumnya, ketika MDGs berakhir, kita berganti ke SDGs (Sustainable Development Goals). Dalam SDGs, energi berkelanjutan punya "posnya" sendiri.
Generasi yang masih merasakan memasak atau memakan masakan dari kompor minyak tanah atau tungku tradisional mungkin ingat ketakutan ini. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, pemerintah meluncurkan program nasional konversi minyak tanah ke elpiji (LPG). Program yang tujuannya baik ini menghadapi banyak kendala di lapangan, termasuk ketakutan masyarakat akan keamanan tabung gas yang digunakan, apalagi sebelumnya sudah terbiasa menggunakan tungku atau kompor yang sangat mudah penggunaannya.
Latar belakang program konversi minyak tanah ke elpiji ini memang masuk akal, saat itu harga minyak mentah dunia sedang tinggi sehingga bila penggunaan minyak tanah dipertahankan, subsidi dalam negeri akan membengkak. Selain itu gas juga merupakan bahan bakar yang relatif lebih bersih dibanding minyak tanah. Konversi ini dinilai sejalan dengan salah satu tujuan SE4ALL, yaitu peningkatan akses energi modern yang berkelanjutan untuk pengguna.
Yang namanya mengubah kebiasaan tentu saja banyak tantangannya. Mulai dari kurangnya sosialisasi, hilangnya minyak tanah dari peredaran sebelum semua siap mengadopsi cara memasak baru, hingga masih mahalnya harga elpiji untuk masyarakat yang kurang mampu. Dalam perjalanannya, pemerintah harus banyak bermanuver, beradaptasi dengan persoalan-persoalan yang muncul.
Konversi yang "berdarah-darah" ini bisa dibilang sukses. Â Dalam Global Tracking Framework Report yang dirilis oleh World Bank dan Sustainable Energy for All di SE4ALL Forum 2017, Indonesia dinilai menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam penyediaan energi bersih untuk memasak. Dalam periode 2007 -- 2014, Indonesia telah meningkatkan penyediaan energi bersih untuk memasak hingga mencapai 57% total populasi penduduk.
Prestasi? Tentu. PR? Masih banyak.
Bicara energi bersih untuk memasak, masih banyak penduduk Indonesia yang menggunakan metode tradisional untuk memasak, terutama di daerah perdesaan. Kemiskinan energi ini sangat mempengaruhi masyarakat di daerah terpencil, khususnya perempuan, karena mereka memikul tanggung jawab utama untuk kegiatan rumah tangga seperti memasak, membersihkan, menyediakan air dan merawat anak-anak. Inilah yang dulu juga terbersit di benak Ban Ki-Moon saat mencetuskan SE4ALL.