"Dasar anak millenial," begitu atasan saya di kantor sering berujar. Bukan dalam kondisi menyalahkan, ujaran itu sering muncul karena saya memakai sepatu bootsmerah atau kemeja  bergambar kelinci dan wortel ke kantor, menanggapi perbincangan di WhatsApp dengan gambar GIF, atau menjadi agen tak resmi segala macam jajanan di Instagram. Menurut beliau kelakuan saya agak ajaib sehingga beliau mengasosiasikan saya dengan stereotipe millenial yang aneh (memangnya saya aneh? Hahaha).
Padahal menurut saya, saya juga tak millenial banget. Saya tak begitu tech-savvy dibanding milenials pada umumnya, penggunaan medsos saya biasa saja, tidak setiap kali ngevlog atau menunjukkan kegiatan dengan InstaStories. Dalam pekerjaan, sumbangsih ke-milenial-an saya sungguh tak signifikan: mempublikasikan acara dengan Periscope, menyarankan model kultwit yang lebih interaktif, hingga membuat laporan lebih visual dengan bantuan Canva (dan platform gratisan lainnya). Oh ya, saya juga mengusulkan bahwa kantor sebaiknya punya akun korporat untuk ojek daring, mengingat naik taksi sekarang lebih banyak kena macetnya.
Salah satu hal lain yang saya lakukan sebagai millenials adalah sesekali melakukan diseminasi dan advokasi mengenai isu yang menjadi bagian dari kerja profesional saya di media yang lebih luas dengan bahasa yang lebih populer. Atau bahasa kerennya: sesekali nulis di Kompasiana. Hihihi.
Millenials di Tempat Kerja
Menurut statistik global dari ATKearney, populasi millenials di seluruh dunia sekitar 19% dari total populasi berdasar generasi, dan lebih dari separuhnya tinggal di Asia. Di India saja jumlahnya diperkirakan 385 juta (JUTA ya) orang, dan Indonesia termasuk salah satu negara dengan penduduk millenials yang juga banyak. Dengan mengasumsikan bahwa millenials "muda" dengan kelahiran 1995 -- 2000 sedang atau baru saja lulus kuliah, maka sejumlah besar millenials memang saat ini menjadi penyumbang tenaga kerja yang cukup signifikan. Diperkirakan di tahun 2020, mayoritas pekerja adalah millenials karena mereka hampir semuanya memasuki usia produktif bekerja. Dan karena millenials dibesarkan dengan cara yang berbeda dengan baby boomers, dalam lingkup perkembangan teknologi yang juga berbeda, serta munculnya kesempatan yang luas untuk melakukan interaksi; mereka juga memiliki pola kerja yang berbeda. Perbedaan itu mencakup tingkat pendidikan, gaya komunikasi, keseimbangan kerja dan keluarga/pertemanan, hingga tujuan bekerja. Cukup berbeda sampai-sampai banyak sekali topik mengenai "bagaimana mengelola pekerja millenial".
Jika Anda mengetik "millenials in the workplace", video Simon Sinek ini berada paling atas. Boleh ditonton dulu, atau bisa juga saya rangkumkan isinya.
Dalam video tersebut, Simon Sinek menyebutkan segala karakteristik "buruk" millenials yang membuat mereka sulit beradaptasi di lingkup pekerjaan. Simon Sinek (menurut saya) memang agak menggeneralisasi, bahwa millenials itu narsis, kecanduan media sosial, entitled (apa ya bahasa Indonesianya? Dimanja?), hingga bahwa millenials itu cepat bosan lalu sering berganti pekerjaan. Â
Saya tak sepenuhnya setuju dan juga tak sepenuhnya membantah pendapat Simon Sinek, namun itu bukan topik bahasan saya kali ini.
Millenials menyukai kebebasan,
...... dan ini merupakan pertanda bagus untuk mendorong efisiensi energi. Salah satu poin penting yang disampaikan Simon Sinek adalah bagaimana millenials "mencintai" kebebasan dalam bekerja dan itu membuat mereka tak takut untuk berganti pekerjaan atau tidak memiliki pekerjaan tetap. Deloitte melakukan sebuah survei mengenai pekerja millenials dan mereka menemukan bahwa millenials mengharapkan pekerjaan yang stabil namun dengan situasi yang fleksibel (freelance flexibility with full-time stability). Situasi kerja yang fleksibel itu salah satunya adalah "tempat bekerja".