Begitu menginjakkan kaki di halaman sebuah rumah, mata saya langsung tertuju pada pojok halaman yang rimbun dengan berbagai tanaman menjalar. Di sudut kecil itu, buah pare berukuran besar bergelantungan indah dari bambu penyangganya, menggoda untuk dipetik.
Pak Jhon Ludgi berdiri di menyambut kami di depan kios pertaniannya. Istrinya, Mama Seni, tergopoh-gopoh menyediakan kursi plastik. "Sa kira masih nanti datangnya, tak sempat ganti bajulah ini," ujarnya sambil menyalami kami, tamunya. Senyumnya yang hangat dan lebar segera membuat saya melupakan perjalanan 5 jam berkendara dari Sumba Barat ke Waingapu di bagian timur Pulau Sumba.
Sumba Memang Instagrammable, Tapi.....
Beberapa waktu lalu, Instagram milik artis kenamaan Dian Sastro dipenuhi dengan banyak foto si cantik ini mengenakan tenun Sumba, menunggang kuda, hingga bermain berlari dengan anak-anak di Wairinding, sebuah bukit dengan pemandangan luar biasa di Sumba Timur. Foto-fotonya sungguh mempesona, cantiknya Dian dan cantiknya Sumba membuat foto-foto tersebut banyak menuai pujian. Dian Sastro berada di sana untuk mendukung kerajinan tenun Sumba dan kegiatan sosial untuk penyediaan air bagi masyarakat Sumba.
Sumba memang instragammable. Lansekap daerahnya eksotis, ada bukit, ada pantai, ada padang rumput. Di saat musim penghujan, tanaman dan rerumputan yang hijau semakin menambah manisnya pulau ini. Namun Sumba adalah pulau yang memiliki iklim kering. Musim kemarau di Sumba relatif panjang, yaitu 8 bulan. Musim hujannya berkisar di bulan Desember hingga Maret saja, saat di mana air cukup berlimpah di daerah yang berada di sepanjang jalur sungai dan resapan air. Di musim kemarau, biasanya daerah utara Sumba yang memiliki cukup air. Di daerah lain, masyarakat dan anak-anak harus berjalan jauh untuk mendapatkan air.
Jika air untuk kehidupan sehari-hari saja sulit, apalagi untuk bertani. Padahal pertanian adalah mata pencaharian utama sebagian besar penduduk Sumba. Di beberapa daerah, penduduk harus berganti mata pencaharian saat air langka, karena tanah mereka kering dan mereka tidak bisa bertanam. Banyak dari mereka yang memelihara hewan, seperti kerbau, sapi, kuda, dan kambing; yang kemudian diternakkan dan dijual untuk mengimbangi ketiadaan panen. Para perempuan juga umumnya menenun kemudian menjual hasilnya. Kain tenun Sumba memang terkenal cantik, secantik Dian Sastro.
Di luar tantangan musim, Sumba juga merupakan daerah yang miskin energi. Listrik belum tersedia total di sana, masyarakat masih bergantung pada cara memasak tradisional menggunakan kayu bakar. Selain tak ramah lingkungan, ibu dan anak-anak terpapar pada asap yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Penggunaan minyak tanah juga membuat keluarga harus mengeluarkan puluhan ribu per bulannya untuk membeli minyak tanah yang kini semakin langka.
Cerita Pak Jhon dan Mama Seni
"Tanah kering sudah, kebanyakan urea. Mana bisa tumbuh itu sayuran," Pak Jhon bercerita.
Di tahun 2015, Pak Jhon dan Mama Seni berkenalan dengan teknologi reaktor biogas. Masyarakat di Sumba umumnya memiliki hewan ternak, misalnya sapi, kerbau, babi, dan kambing. Melihat kotoran ternak miliknya hanya dibuang tanpa dimanfaatkan, Pak Jhon tertarik untuk memasang reaktor biogas di rumahnya. Reaktor biogas adalah teknologi fermentasi yang mengubah kotoran hewan (dan bisa jadi manusia) serta material organik lain seperti sampah basah dari dapur menjadi gas. Gas ini dapat digunakan untuk memasak (dengan kompor gas) atau untuk penerangan rumah. Salah satu teknologi energi terbarukan ini adalah alternatif tepat guna yang dapat digunakan sebagai pengganti ketergantungan pada bahan bakar fosil seperti minyak tanah.