Perempuan paruh baya itu menyambut saya dengan senyum lebar. Di sampingnya, seorang anak kecil cantik berambut cokelat juga tersenyum sama lebarnya. "Nona Citra, akhirnya sampai pula to ke Lembata," Mama Rovina menyapa. Dipeluknya saya dengan hangat.
Tiga bulan sebelumnya, saya berjumpa dengan Mama Rovina di Jakarta. Pada kesempatan itu beliau bercerita mengenai kisah perjuangannya mendapatkan banyak manfaat dari energi terbarukan. Mama Rovina punya mimpi besar, katanya, "Saya boleh tak lulus SD, tapi kedua anak saya harus bisa sekolah sampai tinggi."
Beutaran, Desa di Sudut Lembata
Sehari sebelum bertemu Mama Rovina di rumahnya, saya menjejakkan kaki di Lembata. Pulau yang masuk dalam wilayah administrasi Nusa Tenggara Timur ini berjarak 45 menit penerbangan dari Kupang. Dari ibukota kabupatennya, Lewoleba, saya pergi ke Beutaran, desa di mana Mama Rovina tinggal. Desa Beutaran berjarak 90 menit perjalanan motor. Kebanyakan masyarakatnya tidak memiliki mata pencaharian tetap. Bila sedang musim bagus, mereka melaut. Bila tidak, mereka berkebun atau bertani. Pertanian dan perkebunan juga sangat bergantung pada musim karena air yang sulit didapat saat musim kemarau.
Selain melaut dan berkebun, banyak pula penduduk Desa Beutaran yang merantau ke Malaysia dan ke daerah-daerah perbatasan Indonesia seperti Batam dan Kalimantan Utara. Desa ini merupakan salah satu desa yang dicanangkan sebagai "Desa Peduli Buruh Migran" oleh Menteri Tenaga Kerja di tahun 2016. Sebagian besar penduduk yang berusia di atas 40 tahun mengenyam pendidikan sampai SMP, ada pula yang tak lulus SD seperti Mama Rovina.
Desa Beutaran juga masih bergantung pada generator desa (PLTD) yang hanya beroperasi 4-6 jam setiap malam. Sebagian wilayah Lembata belum memiliki listrik PLN, terutama yang lokasinya jauh dari Lewoleba. Listrik yang berasal dari PLTD juga tidak selalu ada setiap malam, apabila generator desa rusak, proses perbaikan dapat memakan waktu berhari-hari.
Karena penerangan yang terbatas, penduduk Desa Beutaran menggunakan pelita (lampu minyak tanah) untuk penerangan dalam rumah. Untuk keperluan melaut dan menyuluh, para penduduk menggunakan lampu gas (petromaks) karena nyalanya lebih stabil dan lebih terang. Minyak tanah untuk penerangan dan pengisian lampu gas ini memakan pos biaya yang cukup banyak bagi masyarakat Desa Beutaran. Dalam sebulan mereka bisa menghabiskan hingga Rp 70.000 untuk minyak tanah karena minimnya penerangan. Nominal ini sangat besar mengingat pendapat masyarakat tak sampai 500.000 per bulannya.
Mama Rovina dan Perjuangannya
"Rumah Mama pemandangannya bagus sekali," saya berujar. Rumah sederhana di atas bukit itu memang menghadap ke laut, memberikan pemandangan yang luar biasa indah. "Iya to, kalau tahu Nona Citra datang, menginap saja di rumah Mama," jawabnya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!