Di tengah penyelenggaraan pameran buku bertajuk Big Bad Wolf (BBW) di Jakarta, saya penasaran. Pertanyaan besarnya satu saja: jika ada studi yang mengatakan bahwa Indonesia minat bacanya rendah, lalu mengapa pameran buku BBW ini fenomenal dan menarik banyak pengunjung?
Apakah semata karena harga murah sehingga banyak yang beli untuk dibaca entah kapan? Apakah para kutu buku yang selama ini sembunyi terjaga dengan segera di momen istimewa ini? Ataukah ramainya karena para ibu perkasa yang menyediakan jasa titipan (jastip) bagi mereka yang tak bisa datang ke sana?
Sementara pertanyaan itu saya renungkan jawabannya (halah), saya justru kemudian tertarik untuk mengetahui studi mana sih yang menyebutkan minat baca Indonesia itu rendah.
Studi dari Amerika
“Prestasi” Indonesia sebagai negara dengan minat baca rendah ini agaknya pertama kali disebut oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan di tahun 2016 dalam sebuah acara (silakan merujuk ke sini). Dari sana saya beranjak ke website universitas yang melakukan studinya, yaitu Central Connecticut State University. Studi mengenai minat baca tersebut bertajuk “World’s Most Literate Nation”. “Literate” sendiri secara tunggal berarti melek huruf atau bisa membaca (dan menulis). Jika dilihat dari judulnya saja, ini tidak menyinggung soal minat baca, karena bisa membaca tak lantas menyiratkan kesukaan (minat) membaca.
Maka saya membaca metodologi dan sumber datanya, karena saya lebih penasaran lagi bagaimana mereka melakukan studi tersebut. Di deskripsi studinya, langsung dinyatakan bahwa studi ini bukan soal kemampuan membaca namun perilaku membaca. Di sana juga tercantum:
The World’s Most Literate Nations (WMLN) is a descriptive study of rank orders created from a collection of variables of two kinds: those related to tested literacy achievement and those representing examples of literate behaviors. The latter include 15 variables grouped under five categories, including Libraries, Newspapers, Education System - Inputs, Education System - Outputs, and Computer Availability, as well as population, which is used for establishing per capita ratios, where appropriate.
Jadi studi ini menggunakan variabel pencapaian literasi (kemampuan baca) dan variabel yang mewakili contoh-contoh perilaku membaca (literasi). Variabel yang mereka gunakan dikelompokkan tersendiri, dan datanya diambil dari data-data yang tersedia secara publik, misalnya dari UNESCO dan PBB. Jadi mereka tidak mengadakan survei menanyakan pada berapa responden mengenai minat baca. Mereka mengelompokkan variabel tersebut dalam 5 kategori: Perpustakaan, Koran, Sistem Pendidikan – Input, Sistem Pendidikan – Keluaran, dan Ketersediaan Komputer.
Yang Menarik dari Studi Ini
Saya pikir yang menarik dari studi ini adalah interpretasinya bagi kita. Secara keseluruhan memang kita ranking 60 dari 61 negara yang menjadi objek studi. Pemilihan 61 ini bukan tanpa alasan, karena sesungguhnya negara yang masuk dalam studi ini lebih dari itu, hanya saja banyak negara yang tidak ditemukan datanya.
Jadi berbahagialah kita karena belum tentu juga kita paling bontot.