Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sehat itu (Tak) Mahal

19 September 2016   18:12 Diperbarui: 19 September 2016   18:27 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit foto: TRIBUN PONTIANAK/GALIH NOFRIO NANDA

Saya baru mendaftar BPJS Kesehatan tahun lalu. Sebagai keluarga PNS (orangtua saya), dulu setiap anggota keluarga terlindungi Askes. Kalau dipikir-pikir memang ekslusif ya asuransinya, yang mendapatkan hanya mereka yang bekerja pada negara. Ketika BPJS Kesehatan diluncurkan, mereka yang menjadi peserta Askes otomatis terdaftar.

Saya, yang sudah tak berumur 21 (*uhuk!), sudah sejak lama “terlempar” dari penerima manfaat Askes. Tapi saya memang tak segera mendaftar BPJS Kesehatan ketika program ini diluncurkan di awal tahun 2014. Pertama, masih skeptis dengan pelaksanaannya. Kedua, sebagai bagian dari kaum menengah (yang katanya) ngehe itu, alasan yang pertama itu rasional untuk membuat kami menggunakan asuransi swastaKetiga, kebetulan kerja di kantor mendapatkan asuransi rawat inap yang lumayan.

Menurut UU BPJS Pasal 14, setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan. Sebagai warga negara yang baik (percayalah, saya berusaha, hihi), maka tengah tahun 2015, saya akhirnya mendaftar menjadi peserta. Di masa itu, selain banyak harapan digantungkan pada program JKN ini, banyak pula cerita tak mengenakkan yang menyertainya. Mulai dari proses pendaftaran yang berbelit-belit hingga soal pelayanan kurang memuaskan di fasilitas kesehatan yang mengakomodasi BPJS Kesehatan.

Sebelum berangkat ke kantor BPJS setempat, saya mengafirmasi diri. “Citra, kamu yakin?”

Berkaca pada Taiwan

Sebelum kembali ke Indonesia, saya tinggal di Taiwan. Di sana, serupa dengan aturan BPJS Kesehatan, warga asing juga harus mendaftar asuransi kesehatan nasional yang disebut national health insurance (NHI). Terlepas dari keharusannya, menjadi peserta NHI di Taiwan jauh lebih banyak manfaatnya daripada tidaknya.

Manfaat yang paling utama adalah harga layanan kesehatan yang menjadi cukup terjangkau dibanding tanpa NHI. Selain itu jangkauannya luas, tak hanya di fasilitas kesehatan milik pemerintah, klinik swasta juga menerima NHI. Harga terjangkaunya tadi menjadi daya tarik tersendiri sampai-sampai banyak orang Taiwan di Amerika Serikat yang mempertahankan kewarganegaraan ganda mereka untuk berobat. “If I get sick, I go to Taiwan, medical care is much cheaper than the US,” teman ABC (American Born Chinese) saya pernah bilang.

Mirip juga dengan Program Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan, mereka yang tidak mampu membayar tentu saja akan dibiayai pemerintah. Karena sistemnya yang asuransi banget, pembayaran preminya tidak didasarkan pada kelas pelayanan kesehatan yang dipilih, melainkan pada penghasilan dan kategori profesi (PNS, petani, mahasiswa, pekerja asing, dsb). Secara sederhana memang semakin besar penghasilannya, makin mahal. Mahasiswa seperti saya bayarnya sekitar 250 ribu per bulan (kurs saat itu), itu sudah disubsidi pemerintah 40%-nya, jadi sebenarnya yang harus saya bayarkan lebih dari itu. Mahal? Jika dibandingkan dengan fasilitas dan layanan yang saya dapat, saya berani bilang tak mahal.

Yang menarik dari NHI ini adalah soal kenaikan premi. Saya lupa tepatnya tahun berapa, premi NHI ini naik dan menimbulkan protes yang cukup panjang di kalangan masyarakat Taiwan. Pada penerapannya program asuransi nasional seperti NHI memang membutuhkan dana yang besar. Karena cakupannya yang meliputi seluruh warga negara dan untuk sekian banyak aspek kesehatan, pengeluaran pemerintah untuk membayar (expenditure) memang melebihi penerimaan premi (revenue).

Pemerintah sempat mengeluarkan pajak tembakau untuk menutupi perbedaan ini, dan berencana untuk meningkatkan pajak tembakau guna mensubsidi NHI. Selain itu ada pula extra-charge untuk mereka yang kemampuan finansialnya lebih sehingga bisa mensubsidi silang yang lainnya. Ada pula sistem co-payment, pembayaran ekstra untuk pelayanan kesehatan di luar cakupan NHI, yang dianggap malah membebani mereka yang kurang mampu.

NHI memang ada plus-minusnya.

Indonesia dan BPJS Kesehatan

Sebenarnya mimpi saya (dan mimpi bersama, ada amin sodara-sodara?) adalah sistem kesehatan seperti NHS di Inggris. Sistem general tax seperti ini memang yang ideal, di mana penghasilan pajak negara adalah sumber dana biaya kesehatan penduduk (sederhananya: semua hrates). Namun barangkali serupa seperti Taiwan, negara berkembang dengan model pemerintahan yang masih mencari jalannya dan sangat bergantung pada situasi politik serta kondisi keuangan negara bisa jadi lebih terjamin menggunakan sistem premi. Dengan penerimaan negara dari pajak yang kadang meleset, sistem general tax bisa membahayakan implementasi pelayanan kesehatan jika mendadak ada pemotongan anggaran (seperti sekarang).

Maka dari sisi keberlanjutan program layanan kesehatan umum, menurut saya saat ini sistem premi (yang kita sebut dengan iuran) memang lebih membantu. Dengan menjamin adanya revenue dari iuran peserta BPJS Kesehatan, expenditure yang meliputi pembiayaan layanan kesehatan, penyediaan sarana kesehatan, hingga pengembangan obat bisa tetap berjalan tanpa bergantung pada ke mana arah prioritas anggaran negara.

Jika Taiwan menerapkan extra charge untuk subsidi silang, BPJS Kesehatan dengan iuran berbeda untuk kelas yang berbeda juga memiliki peran yang sama. Lebih spesifik lagi, dengan semangat iuran ini, peserta BPJS Kesehatan akan menerima manfaat yang sama tak peduli strata sosialnya. Dengan subsidi dari pembayaran iuran peserta BPJS Kesehatan, mereka yang sakit bisa tetap menerima layanan kesehatan sesuai dengan yang diperlukan.

Kalau di asuransi swasta, premi yang kita bayarkan digunakan untuk menutup biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk membayar klain, maka iuran BPJS Kesehatan digunakan untuk membayar biaya layanan kesehatan peserta yang sakit.

Dulu saya pikir ini naif dan berbunga-bunga, namun di samping kontroversi seputar BPJS Kesehatan dan bagaimana kita mengharapkan meningkatnya pelayanan kesehatan, saya beberapa kali melihat contoh nyatanya.

Contoh pertama, saat saya mendaftar jadi peserta.

Prosesnya cukup mudah. Idealnya semua anggota keluarga dalam 1 Kartu Keluarga (KK) didaftarkan sekaligus, berhubung saya satu-satunya yang terlempar dari lanjutan Askes, maka saya mendaftar sendiri. Syaratnya pun tak sulit, asal semua dokumen lengkap, bisa langsung diproses. Antri memang iya.

Saya mendapat antrian nomor 43, sementara di depan saya masih ada 11 orang lain. Saya melihat sekeliling dan melihat antusiasme mereka. Saya melihat bapak-bapak dan ibu-ibu yang semangat bertanya pada petugas tentang syarat apa yang kurang. Mereka tak paham birokrasi, namun mau bergerak mendaftar. Saya bertanya pada salah satu ibu setengah baya di sebelah saya, "Ibu, mau daftar BPJS Kesehatan?" Si ibu mengangguk. "Iya mbak. Pengen ikut juga dapet jaminan pemerintah. Saya orang nggak punya, kalau sakit bayarnya mahal, nggak kuat mbak".

Kemudian si ibu bertutur mengenai saudaranya yang sakit dan harus menjalani operasi. Dari total biaya 10 juta, saudara si ibu hanya perlu membayar 900 ribu. "Kami yang orang kecil terbantu sekali dengan BPJS, mbak. Kata saudara saya, ke Puskesmas juga gratis. Sanggup bayar ke dokter juga. Tadinya saya pikir susah daftarnya, mbak, ternyata tidak sulit. Semoga saya bisa merasakan manfaatnya ya mbak".

Si ibu tersenyum. Saya pun mengulum senyum. Bagi sebagian orang, memiliki jaminan kesehatan adalah mimpi mahal. Ketika sakit, bukan berpikir mau berobat ke mana, mendengar kata dokter atau rumah sakit saja sudah menjadi beban, karena mereka tak sanggup memikirkan dari mana biayanya. Bagi sebagian orang, BPJS Kesehatan adalah harapan mereka untuk bisa menikmati akses kesehatan yang layak dan terjangkau.

Contoh kedua, soal berobat ke puskesmas.

Dulu saya termasuk kelompok manusia malas periksa ke puskesmas. Banyak pengalaman buruk: mengantri sampai berjamur, dokter atau staf kurang ramah, sering sudah tutup layanan padahal masih jam buka. Iya dengan pegang kartu Askes harga obat dan periksa tak seberapa, tapi nggondoknya banyak.

Pertama ke Jakarta, saya tak tahu dan tak berniat mencari tahu tentang puskesmas terdekat. Sok pede dengan kesehatan (*toyor kepala sendiri*). Lucunya, saya mulai melirik puskesmas terdekat ketika datang ke kantor kelurahan setempat. Puskesmasnya tingkat kelurahan, pas di sebelah kantor kelurahan dan kecamatan. Bersih, rapi, menggunakan sistem antrian rapi di depan yang dijaga pak satpam murah senyum. "Eh, bagus juga puskesmasnya," saya membatin. Belum berniat periksa, lagipula saya sedang sehat.

Suatu ketika gusi saya bengkak. Berhubung info sana sini ternyata dokter gigi di Jakarta habisnya paling murah 200 ribu (hihuuu), jadilah saya nekat ke puskesmas kelurahan itu. Di sana memang praktek dokter gigi dan umum. Datang, antri sebentar, daftar, bayar 2000 (iya, dua ribu) karena faskes tingkat satu saya bukan di sana.

Jika faskes tingkat satu memang di puskesmas tersebut, tidak perlu bayar. Dicek tensi, berat badan dan suhu oleh asisten dokter, lalu antri lagi, baru diperiksa dokter gigi. Karena perlu penanganan, ada tambahan biaya lagi, cukup mahal, yaitu……..(jeng jeng) dua puluh ribu. Bayangkan, hanya sepersepuluh tarif di klinik dokter gigi! Dokternya telaten, ramah, banyak mengingatkan. Obat tentu diberikan tanpa bayar lagi.

Ketika mengantri dokter gigi itu saya bercakap dengan pasien sebelah. Si bapak yang datang dengan satu anaknya itu bercerita dengan sumringah mengenai manfaat BPJS Kesehatan, terutama untuk anak-anaknya. Ketika si kecil sakit dan perlu imunisasi, mereka cukup datang ke puskesmas terdekat.

Ketika si kakak sakit gigi, mereka juga bisa datang ke puskesmas dan menikmati layanan kesehatan yang hampir gratis, karena rujukan faskesnya di sana. Ketika memerlukan tes darah dan di puskesmas kelurahan itu tak ada fasilitasnya, si bapak dirujuk cepat ke rumah sakit untuk penanganan selanjutnya. Si bapak bercerita dengan mata berkaca-kaca.

Saya jadi ikut terharu. Iuran saya dan peserta sehat lain yang belum dipakai dapat digunakan untuk memastikan orang-orang seperti si bapak dan keluarganya, juga si ibu dan keluarganya, guna mendapatkan layanan kesehatan yang baik. Di lain kesempatan bisa jadi iuran si bapak, si ibu, dan orang-orang lain di luar sana yang menjadi sumber pendanaan layanan kesehatan yang saya terima.  

Setelah pengalaman pertama yang menyenangkan itu, kini saya jadi advokat puskesmas. Sebagai pendatang di kota yang katanya serba mahal ini, saya selalu menganjurkan pada teman yang perlu berobat untuk mencoba dulu ke puskesmas. Perbaikan dan peningkatan model layanan seperti ini adalah sebuah penanda kemajuan yang baik, bahwa pemerintah sedang berusaha memerikan layanan kesehatan yang memadai untuk warga negaranya.

Aspek yang perlu dikembangkan? Banyak. Serupa seperti NHI Taiwan, revenue BPJS Kesehatan tak menutup expenditure. Iuran untuk peserta Kelas 1 dan 2 pun naik, kenaikan yang cukup signifikan. Mahal? Mirip dengan NHI pula, dengan fasilitas dan layanan yang saya alami hingga sekarang, saya oke dengan biaya sebesar itu.

Plus, jika kenaikan iuran itu dapat menjamin fasilitas kesehatan yang baik dan merata di seluruh Indonesia, I don’t mind. Tentu saja saya berharap antrian sampai tus-tus di loket pasien pengguna BPJS di rumah sakit akan segera berubah. Jumlah dokter dan tenaga kesehatan juga masih belum sebanding dan merata dengan jumlah mereka yang berobat. Tentu saja saya berharap kenaikan iuran dapat mengatasi masalah ini dengan segera. Orang sakit tak bisa menunggu, bukan?

Pertanyaannya, can we improve? Wah tataran pertanyaan bukan soal bisa atau tidak, kita HARUS meningkatkan apa yang ada sekarang. Bagi saya yang suka sinis ini, mengikuti program pemerintah dan memberikan umpan balik dalam proses menjalaninya adalah sebuah bentuk kepedulian. Siapa tahu kita bisa menikmati layanan kesehatan all free seperti Inggris dalam waktu tak terlalu lama dari sekarang?

XOXO,

Citra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun