Bulan-bulan ini adalah bulan-bulan di mana berita baik bertebaran di media sosial yang saya miliki. Lebih spesifiknya: berita teman-teman diterima studi lanjut (S2 dan S3) di universitas YY di Amerika Serikat, universitas XX di Inggris, politeknik AA di Jepang. Untuk term kuliah yang dimulai Fall 2016 (Agustus-September 2016), pengumuman penerimaannya memang setidaknya 3-6 bulan sebelumnya, biasanya di bulan Maret – Mei. Kebanyakan dari mereka mendapatkan beasiswa, penuh atau parsial, dari berbagai lembaga beasiswa, misalnya LPDP dari Kementerian Keuangan dan Australia Award Scholarship (AAS).
Beberapa tahun terakhir, seiring dengan meningkatnya persebaran informasi, perkembangan ilmu, dan visi “towards global village”, banyak sekali kesempatan yang ditawarkan pada mereka yang ingin melanjutkan studi lanjut di luar negeri. Lembaga-lembaga yang memberikan beasiswa kini banyak bervariasi, juga ada yang menambah kuota penerima beasiswa mereka. Semakin banyak pula teman, kenalan yang saya tahu, secara terbuka mengatakan ingin kuliah lagi di luar negeri.
“Kayaknya enak bisa jalan-jalan,”
Itu jawaban yang diberikan seorang teman ketika saya bertanya mengapa ia ingin kuliah S2 di salah satu negara di Eropa. Jawaban yang jamak saya temukan, baik yang itu diucapkan secara serius ataupun bercanda. Studi lanjut di luar negeri does have its perks.Media sosial dari mereka yang kuliah di luar negeri biasanya membuat iri: foto di depan Eiffel, foto di berbagai bandara di dunia, foto bersama PM Kanada (yang terakhir ini obsesi pribadi, haha). Tapi kembali lagi ke topik, motivasi adalah sesuatu yang perlu direnungkan secara serius.
Bagaimana tidak? Untuk melamar ke universitas di luar negeri, terutama jenjang studi lanjut, biasanya motivation letter selalu ditanyakan. Jawabannya akan menentukan apakah kita layak untuk kuliah di sana, dan jawaban “jalan-jalan” bukan jawaban yang mereka cari, kecuali memang mau melamar di jurusan traveling/hospitality/sejenisnya. Idealnya tentu saja motivasi yang selaras dengan jurusan/universitas yang diambil, memiliki visi ke depan, juga ada rencana tindak lanjut yang jelas.
Lupakan soal bagaimana menuliskan motivasi itu dalam bahasa yang menggugah (karena yang namanya tulisan bisa dibuat sedemikian rupa), ini soal motivasi yang sesungguhnya. Pertama, bagi saya tidak ada motivasi yang “salah”, karena motivasi ini biasanya bersifat personal. Ingin studi lanjut karena ingin jalan-jalannya, sah-sah saja. Kuliah lagi karena memang di pekerjaan perlu ilmu (dan gelar) yang lebih, tentu saja boleh. Ikut-ikut teman karena di gengnya semua lanjut S2, ya tentu silakan saja. Then what? Poin keduanya adalah sebuah pertanyaan: apakah motivasi itu cukup untuk bertahan dan menyelesaikan studi di tempat tujuan?
Kesan mendalam yang saya dapat dari studi saya di luar negeri adalah: masuknya aja susah, keluarnya apa lagi. Hahaha. Dengan standar pendidikan yang kebanyakan (tidak semua ya) lebih baik dibanding di negeri sendiri, proses seleksi masuk universitas yang dituju memang tidak main-main. Selain banyak surat (motivation, recommendation,bla bla bla), ada syarat kemampuan akademik serta bahasa yang harus dipenuhi. Katakan kita bukan orang jenius (ya sebagaimana layaknya sekian milyar orang di bumi ini), untuk bisa tembus ke universitas yang kita tuju tentunya diperlukan usaha, usaha yang seringkali tak sedikit.
Motivasi bisa apa saja, usaha untuk ke sana, itu lain perkara. Secara pribadi saya berpendapat motivasi itu “tidak penting”, yang penting adalah komitmen menjalaninya. Untuk membuat motivation letter saja seringkali harus mikir panjang, revisi sekian puluh kali. Untuk mendapatkan minimum nilai GRE (Graduate Records Examination) yang disyaratkan, belajarnya harus begadang, les sana sini, akhir pekan tak kenal jalan-jalan. Sudah kirim, sudah mendapat nilai lebih dari minimum, eh ada saja faktor X yang tidak kita tahu; lalu kita gagal. Ada yang berhasil pada percobaan pertama, ada pula yang baru beberapa kali bisa tembus.
Sampai di sana, perks kuliah di luar negeri seperti jalan-jalan itu langsung bisa lenyap kerennya begitu ketemu dengan teman-teman yang pintar, tugas yang banyak, atau budaya yang berbeda. Perlu lagi usaha untuk mempertahankan performa secara akademik, juga bergaul dengan baik, dan kemudian lulus dengan tak kalah eloknya. Belum lagi beban “bela negara”. Maaaak, jadi mahasiswa asing itu biasa dikenalnya negara dulu, baru nama. Malu lah kalau bertingkah kurang baik di negara orang, nanti yang kena jeleknya Indonesia. Kalau berprestasi di sana, bangganya juga berlipat ganda sih ya.
Jika ditarik ke belakang, motivasi tentunya bisa mempengaruhi usaha dan perjalanan kita ke sana. Memang butuh ilmunya? Jika tak siap dengan segala kerempongan studi di luar negeri, bisa jadi ada pilihan lain: cari mentor, ikut pelatihan. Sekadar ingin jalan-jalan? Jika tak memiliki niat dan resilience yang tinggi untuk berusaha tembus ke universitas yang dimaksud DAN lulus, ada pilihan lain yaitu dengan bekerja cari uang, lalu liburan ke luar negeri. Ikut-ikut teman? Boleh saja, kembali lagi ke soal komitmen tadi. Ikut-ikut teman kuliah ke Harvard itu sama nggak perjuangannya dengan ikut-ikut teman posting foto OOTD di Instagram?