Bagian paling lucu adalah malam itu juga kami ke Banda Aceh untuk mengejar penerbangan pagi ke Jakarta. Pake jalan darat, lima jam berkelok-kelok. Sampai Banda Aceh lewat tengah malam. Tahu gitu numpang Pak Jokowi......
Suatu Hari di Bulan Desember
Jumat pagi di Kebayoran Baru. Belum selesai meletakkan pantat di kursi kantor, telepon genggam berbunyi. Suara di seberang sana menanyakan pada saya apakah saya bisa menghadiri jamuan makan siang di Istana Negara. Sebagai pengangguran banyak acara di akhir minggu, saya berkata iya.
Singkat kata singkat cerita, sampailah saya dan 99 Kompasianer lainnya di Istana Negara.Â
Baju harus begini, diperiksa sekian kali, tidak boleh membawa tas ke ruangan, semuanya tak merepotkan bagi saya. Setidaknya saya maklum bahwa itulah prosedur yang berlaku. Masuk ke aula, meja bundar dan kursi-kursi sudah tertata rapi. Pendingin ruangan menggerung alus, chandelier menggantung malu, peta Indonesia terpampang keemasan di ujung depan.Â
Kesan pertama: ruangan ini ramah, bahkan terkesan hangat. Paspampres dan staf kepresidenan ada di sana, namun tak terang-terangan menampakkan diri. Bagian tengah ruangan yang menjadi tempat Kompasianer duduk, sepenuhnya diisi oleh Kompasianer.Â
Lalu cerita ini kembali ke awal tulisan ini. Bapak yang saya sebut biasa itu muncul dengan kemeja putihnya yang sama, senyumnya yang sama lebar, gesturnya yang sama tenang. Menyalami semua yang hadir, menyilakan semua duduk, mengajak makan siang dulu dan berujar canda, mencairkan suasana.
Ketika Mas Iskandar Zulkarnaen meminta saya untuk maju menyampaikan sesuatu, pikiran saya langsung nge-blank. Selain agak sombong karena mengaku tak punya uneg-uneg yang hendak disampaikan, saya juga tak mempersiapkan diri untuk menyampaikan sesuatu. Jadilah saya menyapa beliau saja, mengucapkan terima kasih atas undangannya, dan sedikit bercerita tentang pembelajaran saya selama menulis di Kompasiana.
Rumah bersama ini mengajarkan pada saya tentang banyak hal, tak hanya teknik dan keterampilan menulis, juga tentang menyampaikan pendapat dalam bahasa tulisan yang santun.
Di rumah bersama ini saya belajar menghargai, belajar menerima umpan balik, belajar rendah hati, sekaligus membuka wawasan seluas-luasnya karena begitu banyaknya penulis hebat yang datang dari banyak latar belakang. Di rumah ini, mengutip kata Mas Nurulloh, sekian ratus ribu Kompasianer menyumbang peran untuk membuktikan bahwa media warga bukan sekadar noise.
Iya, di Kompasiana, Kompasianer dan tim Kompasiana menyumbang pikir, mengubah, mengarahkan noise menjadi voice. Jika Kompasiana dikelola dan diisi oleh orang-orang biasa, tak mempertahankan dan mempertajam kualitasnya selama bertahun-tahun ini, bisa jadi undangan dari presiden itu tak pernah datang.
Pak Jokowi mendengarkan semua ungkapan perwakilan Kompasianer dengan seksama. Saat memberikan ungkapan balasan, beliau menanggapi dengan santun. Kalau saya menyebut Pak Anies Baswedan sebagai seorang orator yang eloquent (ini apa ya padanan kata Bahasa Indonesianya?) karena gaya berbicaranya yang menggugah, manis, dan menggunakan bahasa serta analogi yang mendekati sastrawi; Pak Jokowi hanya memiliki kesamaan di bagian menggugah. Bahasanya lugas dan sederhana. Biasa sekali.