Adik saya diberi nama Salindri. Salindri sesungguhnya adalah nama samaran Dewi Drupadi, istri Yudistira (menurut versi pewayangan Jawa, atau istri Pandawa Lima menurut Mahabarata). Pada suatu masa, Duryudana dan para Kurawa mengundang Pandawa Lima untuk berpesta. Sengkuni merayu Pandawa. Mereka mabuk dan berjudi. Akibat kalah judi itulah, Pandawa Lima, termasuk Dewi Drupadi, harus menjalani pengasingan di hutan selama 12 tahun. Bapak memilih nama Salindri sebagai penanda, bahwa judi akan menyengsarakan semua orang. Sebuah pengingat hidup bagi beliau sendiri, dan sebuah ujaran untuk yang lain.
Begitulah, saya tumbuh dalam lingkungan budaya Jawa yang kuat. Sejak kecil saya sering dibacakan dongeng, diajak mendengar siaran wayang di radio, juga menonton ketoprak di televisi. Saya terpapar kisah pewayangan sejak dini, kisah-kisah yang sarat pesan dan seakan tak pernah luntur konteksnya. Bapak bahkan punya satu set wayang kulit yang semua tokohnya beliau hafal ceritanya.
Lucunya, atau mungkin ironisnya, pengetahuan saya tentang wayang ternyata tak berbanding lurus dengan ketertarikan saya. Hanya di keluarga, saya mendapatkan gizinya. Di luar, di sekolah, hanya saat sekolah dasar. Selebihnya, tidak.
Serupa dengan budaya Indonesia lain yang makin lama makin pudar, sepertinya nguri-uri budaya (melestarikan budaya) tak dianggap sebagai sesuatu yang keren. Langgam Jawa tak sekeren musik hip hop, wayang tak sekeren drama Korea.
Padahal wayang sungguh kaya. Kaya rupa, kaya cerita, kaya pesan dan makna.
Mengemas Wayang untuk Generasi Muda
Selasa, 17 November kemarin, saya main ke Galeri Indonesia Kaya. Sebagai anak mall (*uhuk!) yang juga penikmat seni dan budaya, saya mengagumi konsep galeri ini. Bertempat di Grand Indonesia, galeri ini mendekatkan kekayaan budaya Indonesia pada kita, menjadi alternatif belajar dan mengenai budaya selain berkunjung ke museum atau ke daerah asalnya. Selain berbagai tampilan dan informasi mengenai kayanya budaya Indonesia, Galeri Indonesia Kaya juga sering menjadi tuan rumah berbagai pertunjukan budaya. Tari, musik, hingga diskusi, semua ada.
Dua hari itu, Galeri Indonesia Kaya menjadi tuan rumah acara Wayang in Town yang diselenggarakan oleh BCA. Fenomena kurangnya paparan dan minat remaja dan anak muda pada budaya dan kearifan lokal ternyata juga dilihat oleh BCA. Mereka kemudian mengolah konsep pengenalan dan pelestarian wayang ini dengan bentuk yang menarik dan menyenangkan. Di tahun 2014, BCA menyelenggarakan Wayang Masuk Mall di Semarang dan Jakarta. Dua tahun ini BCA juga mengenalkan wayang pada anak sekolah melalui kegiatan Wayang Day on School in Bali dan Semarang. Akhir tahun ini, Wayang in Town dihelat di Jakarta.
“Waktu SMA, saya menggemari wayang. Selain seru, saya juga belajar mengenai filosofi,” Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur BCA berujar. Karenanya BCA berkomitmen untuk memperkenalkan wayang yang merupakan salah satu UNESCO’s World Heritage pada generasi muda. Jahja juga menggarisbawahi kekayaan budaya Indonesia, yang tercermin dalam wayang. Tak hanya rupa-rupa wayang yang kaya, misalnya wayang orang, wayang golek, hingga wayang hip hop, wayang juga mengandung berbagai nilai luhur, seperti sikap ksatria dan pantang menyerah.
Dalam acara Wayang in Town ini, ratusan pelajar SMP dan SMA di Jakarta diajak untuk mengenal wayang lebih dalam melalui beberapa pagelaran, diskusi dan talkshow, juga kompetisi. Langsung merasa muda karena duduk di antara dedek-dedek remaja, saya merasakan aura semangat yang kuat. Datang dengan ciri khas sekolah masing-masing, auditorium Galeri Indonesia Kaya hari itu penuh. Ucapan selamat pagi dijawab dengan lantang dan tepuk membahana.