Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Berwisata Kalau Belum Beretika

22 November 2013   16:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:48 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13851090061388754031

Saya justru tidak mendukung pengembangan fisik dan infrastruktur daerah wisata tanpa melihat analisa potensinya terlebih dahulu. Biarkan saja jalan ke G-Land tetap jelek seperti itu, setidaknya mereka yang berniat pergi kesana adalah mereka yang tahu diri, atau dalam kasus ini, wisatawan mancanegara yang bisa dibilang etika berwisatanya lebih baik dari kita. Banyak pengunjung memang membawa banyak keuntungan secara ekonomi, namun tanpa diimbangi dengan analisa mendalam mengenai kelangsungan daerah wisata itu sendiri, pengembangan wisata justru 'membunuh'. Ibaratnya terlalu banyak mempercantik diri (yang sebenarnya sudah cantik) dengan polesan segala rupa, operasi ini dan itu, yang mulanya akan membuat orang tertarik namun kemudian bosan. Setelah bosan dengan kecantikan artifisial, bisa tidak kembali ke kecantikan alami? Sulit.

Ini yang sering dilupakan pemerintah daerah. Sekalinya satu tempat wisata ramai, lalu jalan kesana diperbaiki, toilet didirikan, warung-warung 'diizinkan' bermunculan. Padahal semuanya bisa dibilang tanpa perhitungan: apakah tempat wisata itu bisa menampung sekian banyak orang, apakah mereka bisa memastikan semuanya beretika, apakah ada sumber daya dan sumber dana yang cukup untuk restorasi bila terjadi kerusakan. Yang penting dibangun dulu, retribusi masuk terus, lalu ketika potensi wisata itu meredup, ya sudah, ditinggalkan dengan kondisi rusak, sampah dimana-mana. Apa susahnya meluangkan waktu dan dana untuk melakukan assessment sebelum akhirnya mengembangkan sebuah tempat menjadi area wisata? Membatasi jumlah pengunjung yang datang itu sah-sah saja, jika memang harus demikian adanya untuk kelangsungan daerah wisata, terutama wisata alam dan budaya. Ini siapa yang bisa mengatur? Ya pemerintah, pengelola aset wisata.

Dilema moral, tentu saja ada di penulis memoar perjalanan seperti saya. Apakah saya akan mengabarkan pada dunia bahwa saja baru saja ketemu pantai yang indah, sehingga banyak orang akan kesana dan lalu merusaknya? Atau saya diam saja? Saya berjudi, berbagi ini, dengan harapan optimis bahwa kita semua punya nurani, punya akal sehat, punya kesadaran untuk beretika saat berwisata. Kita semua punya tanggung jawab yang sama, memelihara bumi, rumah kita yang cuma satu-satunya. Memelihara sejarah, karena kita tidak akan ada tanpa masa lalu. Dan ketika alam, sejarah, relik, dan bangunan menjadi tempat wisata, saya berharap kita ingat, bahwa kita 'memiliki' mereka, dan kewajiban kita juga untuk menjaganya.

Biarlah pantai indah yang saya temukan itu tetap sulit dicapai, jalannya tetap jelek, hutannya tetap lebat. Hingga ketika menyentuhnya, manusia sadar betapa alam itu sedemikian mempesona ketika tidak dicemarinya.

XOXO,

-Citra

P.S. Artikel ini ditulis untuk mengikuti lomba dari Kemenparekraf (Indonesia Travel).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun