Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pinggul Penari

2 Desember 2013   11:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:25 1650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_281492" align="aligncenter" width="614" caption="Tim Tari Kayau NTUST Indonesian Student Association"][/caption]

"Mbak, pinggulmu itu pinggul penari ya", begitu komentar seorang teman. Saya terkejut melihat matanya yang jeli. Apa pasal? Dengan 'kelakuan' saya sekarang, ditambah penampakan yang sama sekali tidak menampakkan ciri-ciri penari, banyak yang sulit percaya kalau saya bilang saya dulu penari sewaktu kecil.

Saya lupa saya menari sejak kapan, kemungkinan kelas 2 SD. Di dekat rumah ada seorang pelatih tari handal yang membuka rumahnya untuk anak-anak yang ingin menari, dan kesanalah saya menghabiskan waktu beberapa kali seminggu untuk menari. Dasar tarian saya tentu saja Jawa tradisional (Jawa Tengah, tepatnya, tarian yang asalnya dari Keraton Surakarta dan Yogyakarta), yang saya akui, menempa badan sekaligus kesabaran saya karena tempo menarinya yang lambat, sangat lambat.

Saya ingat, saya punya sampur kesayangan. Sampur adalah selendang berbahan dasar chiffon yang kedua ujungnya dihias dengan pernik keemasan. Warnanya bermacam-macam, tentu. Sampur dan/atau selendang adalah elemen tidak terpisahkan dalam tarian Jawa. Hampir semua tarian Jawa, baik yang ditarikan laki-laki maupun perempuan, menggunakan selendang dan/atau sampur. Saya ingat, saya pernah merengek meminta sampur yang warnanya saya suka, dan ketika mendapatkannya, saya menari dengan sukacita.

Latihan gerakan dasar menari Jawa yang saya dapatkan meliputi bagaimana cara berdiri yang benar, gerakan menapak yang halus (sedikit diseret), hingga bagaimana menyibakkan sampur yang benar, yang harus dilakukan dengan sentakan tangan yang pas sehingga senada dengan irama gending pengiring. Tidak lupa juga bagaimana mata bergerak mengikuti ayunan sampur atau lambaian tangan, karena dalam tari Jawa kontak mata langsung dengan penonton sangat jarang diperlihatkan.

Karena mulai sejak kecil, jenis tarian yang diajarkan pada saya tentu saja bertahap, ya bertahap sesuai umur (masa iya umur 8 tahun menarikan tari Bedhaya atau Gambyong), ya bertahap sesuai tingkat kesulitan. Untuk usia anak-anak, karena koordinasi badan yang agak sulit untuk diajak lembut, tarian yang diajarkan juga yang gerakannya sedikit lincah, banyak 'mengangkat kaki' istilahnya. Tarian Jawa tradisional yang halus seperti Gambyong, Srimpi, atau Bedhaya, yang umumnya ditarikan gadis remaja menjelang dewasa, mengandalkan gerakan menyeret kaki, menumpukan berat badan pada telapak kaki. Ini sulit dan melelahkan sekali, terutama untuk anak-anak. Jadilah tarian yang pertama diperkenalkan adalah tarian ringan seperti Tari Merak (yang ini dari Jawa Barat) dan Tari Bondan, yang pertama tentang burung merak (ya iya lah!), yang kedua tentang menimang bayi/adik. Durasinya masih tergolong pendek, kurang dari 5 menit, sehingga tidak banyak menguras tenaga. Kalau sudah lumayan, saya dan teman-teman lain biasanya diminta untuk 'manggung' di acara pernikahan, ya tentu pernikahan dengan adat tradisional Jawa. Dulu hiburan di saat pengantin berganti baju atau berfoto bersama ya tarian tradisional, sekarang kebanyakan musik campursari. Wah, rasanya senang kalau sudah boleh 'manggung', karena itu artinya tarian saya sudah dianggap baik.

Beranjak besar dan semakin mahir, jenis tariannya berganti. Sudah mulai ditempa untuk tari-tari feminin yang memerlukan teknik lebih tinggi. Sebutlah Tari Srimpi, Tari Golek, hingga Tari Gambyong. Latihan mendalam pertama tentunya bagaimana mempertahankan postur tubuh yang benar: kaki sedikit ditekuk, badan dibusungkan ke depan, pinggul ditarik ke belakang. Sepertinya mudah, tapi silakan dicoba sendiri. Untuk lebih menambah kesulitan, kain atau jarik dengan stagen (kain panjang yang fungsinya seperti korset) dipakai, yang membatasi gerak kaki dan melatih gerakan kaki supaya tidak pecicilan. Kebiasaan berdiri dengan postur ini ditambah dengan penggunaan jarik dan stagen-lah yang membuat mereka yang punya dasar menari Jawa memiliki bentuk pinggul yang berbeda. Pinggul penari, itu kata teman saya.

Latihannya membuat badan pegal-pegal setelahnya. Tidak mudah menyesuaikan diri dengan gending pengiring yang lambat, tidak mudah juga menahan badan untuk bergerak dengan tempo slow motion level maksimal. Kaki diseret, tangan mengayun anggun, senyum tidak boleh hilang. Susaaaaaah banget mau tersenyum memukau dengan kaki seperti menahan beban 50 kilo. Tapi puas rasanya bila sudah dipercaya menari Gambyong, misalnya, karena tarian ini tarian yang populer dan sering ditarikan sebagai tarian pembuka. Kain yang digunakan sudah 'dewasa', bermodel kemben, dengan sanggul dan bunga wangi, tidak lagi berompi dan dengan aksesoris kepala seperti saat menari Merak.

[caption id="attachment_281493" align="aligncenter" width="587" caption="Tari Kayau"]

1385959456960819044
1385959456960819044
[/caption]

Saya menari hingga SMP, karena di SMP waktu itu ada muatan lokal menari. Setelah itu saya vakum hingga kuliah S3, ketika pengalaman menari saya 'dibangkitkan' kembali dengan tarian dari Kalimantan. Jauh berbeda, memang. Kalau tarian tradisional Jawa itu lembut mengalir, tarian Kalimantan justru harus tegas. Bukan murni tarian tradisional memang, Tari Kayau yang saya tarikan waktu itu merupakan tari kontemporer yang dirancang oleh koreografer berbakat: Danang Pamungkas dan (yang sekarang istrinya) Dewi Galuh Sinta Sari. Musiknya tegas, menghentak, dengan gerakan yang juga harus tegas dan cepat mengimbangi. Saya tentu, sering dimarahi saat latihan, karena masih megal-megol, terpengaruh dasar menari saya dahulu yang pelan. Jarik dan stagen lalu diganti dengan kain yang diikatkan ke pinggang, menutupi celana panjang atau legging hitam. Harus pecicilan menarinya, sehingga celana panjang wajib hukumnya dipakai.

Beberapa kali menjadi 'penari latar' dalam formasi Tari Kayau ini, lalu saya naik jabatan menjadi si putri, yang harus berdiri di punggung dan pundak salah satu penari laki-laki. Wuaaah, ini lagi, latihannya harus ekstra. Ekstra hati-hati, ekstra berani karena ya ngeri sendiri harus naik-naik begitu. But I did it! Dan saya menyukainya. Senang karena masih bisa menari, masih bisa mempelajari tarian baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun