Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Potret Pariwisata Indonesia

3 Februari 2014   15:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:12 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oke. Setelah beberapa bulan tetap jobless dan menghabiskan waktu dengan jalan-jalan di Indonesia, itu pun di Pulau Jawa dan sekitarnya, seorang teman berkomentar, “Kok lo turun kasta sih, jalan-jalannya di Indonesia doang? Katanya traveler.”

Beginilah potret pariwisata Indonesia.

1)Jalan-jalan di Indonesia masih kalah gengsi dengan jalan-jalan ke luar negeri

Pertanyaan yang dilontarkan teman saya tadi buktinya. Tidak bisa dipungkiri, dengan semakin mudahnya kota-kota negara tetangga dicapai, termasuk banyaknya penerbangan berbiaya rendah; orang lebih memilih untuk jalan-jalan ke Singapura atau Malaysia dibanding ke Tana Toraja atau Pantai Ora. Dari dulu juga ke luar negeri dianggap lebih bergengsi dibanding negara sendiri. Banyak yang memilih bulan madu ke Phi Phi Island daripada ke Cubadak (tahu nggak itu di mana?). Melihat tarian ala Thailand lebih oke dibanding melihat tari tradisional Indonesia. Berpartisipasi dalam festival Holi lebih keren dibanding menyaksikan upacara Kasada di Tengger. Lha piye? Kalau begini ceritanya ya tidak heran kalau Thailand yang alamnya 11-12 dengan Indonesia lebih banyak menyedot turis, soalnya orang Thailand-nya sendiri bangga dengan budaya lokal. Tidak heran juga kalau Malaysia mulai mengklaim banyak budaya Indonesia, lha wong kita sendiri malu mengakuinya.

Di Museum Ullen Sentalu (Kaliurang, Yogyakarta), ada satu replika relief Candi Borobudur yang dipasang miring di salah satu sudut halamannya. Ketika saya menanyakan mengapa dipasang seperti itu, pemandu di sana menjawab, “Cerminan karakter kita sekarang, di mana budaya lokal sudah mulai terlupakan dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan.”

I am sad to realize how true that is.

2)Akses susah, transportasi sama susahnya, minim informasi pula

Pertama kali riset (dengan Paman Google, tentu) mengenai Pantai Sukamade di Banyuwangi yang merupakan pantai pendaratan penyu untuk meletakkan telurnya, informasi mengenai transportasi yang saya dapat kurang lebih begini: Sukamade bisa dicapai dengan kendaraan (truk/jip) dari pusat kota Banyuwangi dengan jarak tempuh sekitar 3 jam. Deskripsi yang menyesatkan mengingat kata-kata ‘bisa dicapai’ itu seharusnya dijabarkan sejelas-jelasnya bahwa jalan ke sana adalah jalan aspal bagus, disusul aspal rusak, disusul jalan makadam (batu dan tanah), lalu ditambah acara menyeberang sungai (ceritanya kemarin naik sepeda motor). Dimulai dari kota, memasuki kecamatan, lalu memasuki hutan dan gunung yang orang saja jarang kelihatan, apalagi sinyal telepon genggam. Minim informasi pula bahwa dengan kondisi yang begini, petualang jomblo seperti saya harus mau menembus medan berat dengan sepeda motor mengingat harga sewa mobil yang mahal. Mahalnya bukan karena mobilnya, karena perlu supir berpengalaman.

Ada baiknya juga, dengan akses yang ya gitu deh, yang datang ke sana sedikit. Tapi kalau sudah dikenalkan sebagai “tujuan wisata”, yang namanya menjual ya harus ada nilai dan fasilitas yang ditawarkan. Bayangkan, misalnya membeli batik di pasar, penjualnya menyuruh kita mengambilnya sendiri di gudang.

Jadi kalau di Indonesia, jangan percaya begitu saja dengan informasi online. Bisa saja ditulis accessible, tapi tidak diterangkan kalau harus sedia Antimo sepanjang jalan karena jalannya bergelombang. Tanyakan pada orang lokal.

3)Belum berorientasi wisata yang sustainable

Dua minggu lalu saya pergi ke Gunung Penanjakan untuk melihat matahari terbit di atas Bromo. Jam 4 pagi sampai di viewpoint tertinggi, dan yang terlihat di sana hanyalah kerumunan orang. Jip saja harus parkir sampai 500 meter di bawah area parkir biasa, saking banyaknya pengunjung. Sampah? Jangan tanya. Sudah banyak tempat sampah disediakan tapi tetap saja plastik-plastik bertebaran di mana-mana.

Sustainable yang saya maksud tidak hanya secara ekosistem lingkungan, bahwa kita seharusnya tidak mengambil apa pun kecuali gambar dan tidak meninggalkan apa pun kecuali jejak kaki; melainkan juga bagaimana sebuah area wisata dikelola dengan orientasi berkelanjutan, tak hanya soal keuntungan finansial sementara. Begitu satu area ramai dengan wisatawan, lalu banyak ruko didirikan, tanpa melihat bagaimana estetika tempat tersebut berubah banyak, tanpa menyadari bahwa limbah dari ruko-ruko ini kemudian mencemari lingkungan.

Tak hanya itu, lalu mulai banyak yang berlaku tidak jujur, menjual entah itu makanan, suvenir, apa pun, dengan harga yang tidak masuk akal; berpikir bahwa mereka harus mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya dalam sekali penjualan. Mereka lupa bahwa kejujuran itu bisa mendatangkan keuntungan berlanjut di kemudian hari. Pelancong mana yang suka ditipu dengan harga mencekik? Mereka nantinya tentu malas kembali membeli. Tapi kalau jujur, mengambil keuntungan standar? Kita juga tidak segan menghormati dan membeli kembali.

4)Asing vs lokal

Hampir di semua area wisata yang saya datangi, selalu memasang tarif berbeda untuk wisatawan asing dan lokal. Tentu saja lebih mahal untuk wisatawan asing, bisa lebih dari 10 kali lipat. Tiket masuk Kawah Ijen untuk lokal hanya Rp 2.000, sedangkan untuk wisatawan asing Rp 15.000. Tiket melihat matahari terbit di Borobudur: Rp 250.000 untuk lokal dan Rp 380.000 untuk wisatawan asing. Itu tiketnya saja, masih ada biaya kamera, yang lagi-lagi beda tarif.

Iya sih alasan yang saya dengar klise: wisatawan asing duitnya lebih banyak. Kata siapa? Tidak semua yang datang ke Indonesia itu horang kayah yang berlebih uang untuk leha-leha. Banyak yang datang dengan mode backpacker, mengirit sebisa mungkin karena tidak hanya satu tempat yang dikunjungi. Kalau sudah begini, masa adil? Kalau berbicara devisa negara, kan mereka sudah bayar visa? Kan mereka menginap dan berbelanja?

Pembedaan itu juga dalam bentuk aturan bersama, seperti yang saya jumpai saat membawa teman dari Taiwan ke Ijen. Kalau wisatawan lokal bisa membawa mobil sendiri, wisatawan asing harus menyewa jip untuk menuju Paltuding (pos terakhir sebelum mendaki) dari Banyuwangi (atau dari mana pun), yang harganya sekitar Rp 600.000. Nekat membawa mobil sendiri berujung dengan tidak diizinkannya si wisatawan asing untuk masuk.

Berhubungan dengan poin ketiga, soal transportasi pun wisatawan asing banyak dipalak. Teman saya yang naik taksi dengan tarif normal Rp 50.000, diminta membayar Rp 200.000 oleh calo di terminal. Untung dia berkomunikasi dengan saya, kalau tidak, ya ditipu, mentang-mentang wisatawan asing dan tidak mengerti bahasa Indonesia, apalagi rute.

Gimana dong?

5)Akomodasi? Ya gitu deh…

Jujur ya, orang Indonesia itu sebenarnya jago untuk urusan show off dan memoles diri. Banyak hotel-hotel yang kelihatan megah dan mewah, tapiiiii, tidak bisa merawat. Jadi luarannya saja yang bagus, dalamnya jangan dikira sama, terutama kamar mandi. Keramik menguning, toilet kotor, air menggenang. Entahlah bagaimana logikanya. Kalau saya ya mending membangun hotel yang arsitekturnya biasa saja, tak perlu ada marmer segala macam, uangnya dialihkan untuk biaya perawatan. Membersihkan kamar mandi secara teratur apa susahnya, jangan hanya pas ada tamu saja baru dibersihkan.

Karena banyak area wisata yang terpencil, jadi memang jangan berharap bisa tidur di kasur busa. Sering tidak ada penginapan yang memadai, atau sesekali ada namun dengan tarif dolar yang tidak terjangkau pelancong kere seperti saya. Alternatifnya ya membawa tenda. Akomodasi yang memadai juga tidak selalu dekat dengan area wisata, ada yang 2 jam jauhnya. Ini bisa bermasalah bagi mereka yang waktu berwisatanya terbatas.

6)Menikmati perjalanan atau mengabadikan momen?

Sedang enak-enak memanjakan mata memandang langit dini hari yang kebiruan, eh ada talenan (baca: tablet) terangkat ke atas. Ah, hilang sudah mood saya. Sedang menikmati lukisan yang menarik, nyelononglah dua gadis yang sibuk berfoto dengan lukisan yang bersangkutan, berkali-kali pula, karena yang satunya merasa poninya kurang rapi di foto pertama. Di foto kedua, katanya kelihatan gemuk. Di foto ketiga, kakinya kepotong. Saya bingung mau marah atau mau tertawa.

Kalau mengabadikan momen, saya setuju. Momen saat matahari terbit, saat ombak memecah karang, saat nelayan menjaring ikan. Tapi kalau untuk tujuan dokumentasi, di mana di dalamnya ada foto diri, saya sendiri terkadang jengah. Tidak menyalahkan, wong berfoto itu sah-sah saja, kamera siapa juga. Tapi apakah esensi melakukan perjalanan itu hanya sekedar untuk menambah album di Facebook? Di antara segala kamera canggih yang ada di pasaran, adakah yang mengalahkan mata kita sendiri? Sibuk berfoto sendiri malah membuat kita kehilangan momen.

Itu saja catatan saya kali ini. See you next time.

XOXO,

-Citra

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun