Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Nature

RWH vs Banjir

2 Desember 2012   07:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:19 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rainwater harvesting (RWH) –pernah saya tuliskan sebelumnya- sekarang sudah banyak diintegrasikan dalam konsep konstruksi dan manajemen bangunan, terutama di daerah perkotaan. Tujuannya beragam, mulai dari mengatasi banjir, menghemat penggunaan air, hingga konservasi lingkungan.

Iya, mengatasi banjir.

Negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara, mulai dari Jepang, Korea, Taiwan, Filipina, hingga Indonesia, memiliki tingkat curah hujan yang tinggi dan dengan perkembangan populasi penduduk beserta aktivitasnya, membuat banyak daerah rentan pada banjir. Permasalahan inilah yang dilihat Professor Mooyoung Han dari Seoul National University, yang risetnya kemudian diimplementasikan oleh pemerintah kota Seoul sebagai salah satu cara untuk mengatasi banjir. Konsep RWH terintegrasi.

Secara singkat, sistem RWH terintegrasi ini diilustrasikan sebagai berikut:

Kantor pemerintah mengambil posisi di awal. Dengan informasi dari badan prakiraan cuaca, bila curah hujan tinggi diperkirakan akan terjadi, pemerintah kota menginformasikan ke masing-masing kantor distrik, di mana sistem informasi berantai ini akan berlanjut ke gedung-gedung dan bangunan individual, baik yang dimiliki pemerintah atau privat. Informasi ini sekaligus instruksi pada pemilik/pengelola gedung untuk mengosongkan tangki RWH sehingga bisa digunakan untuk menampung sejumlah besar air hujan dan tidak memenuhi saluran air perkotaan. Dengan cara ini, jumlah air yang mengalir melalui sistem perpipaan kota tidak melebihi batasnya dan air tidak menggenang di jalanan.

Konsep RWH terintegrasi ini memang harus didahului dengan implementasi peraturan adanya sistem RWH di masing-masing gedung. Pemerintah kota Seoul sendiri baru mengeluarkan program mengenai sistem RWH di tahun 2004. Program ini memiliki insentif dan penalti, untuk membuat implementasinya lebih tegas dan terarah. Setiap gedung baru milik pemerintah harus memiliki sistem RWH, sementara gedung lama diusahakan untuk juga menambahkan perpipaan dan tangki untuk memanen air hujan. Semua fasilitas publik, di antaranya taman, tempat parkir, dan sekolah, juga disarankan untuk membangun sistem tadah hujan. Sistem RWH juga diarahkan untuk gedung-gedung milik individu, bangunan yang memerlukan ijin mendirikan bangunan, dan pembangunan dalam skala besar (mall, kompleks) harus menjadikan sistem RWH sebagai prioritas.

Ada buktinya?

Seoul sudah punya Star City, kompleks tinggal dengan lebih dari 1.300 apartemen yang memiliki sistem RWH terintegrasi. Konsep yang digunakan di Star City adalah RSD (bukan Rida Sita Dewi ya :D), Rainfall – Storage – Discharge. Ketika hujan turun, air hujan disimpan dahulu, baru setelah curah hujan menurun, air hujan yang ditampung itu dibuang (atau digunakan). Dengan cara ini, volume air hujan yang membebani saluran air perkotaan tidak melebihi kapasitasnya.

13544326161681313601
13544326161681313601

Sistem RWH terintegrasi ini tentu saja bisa menjadi salah satu solusi mengatasi banjir di Indonesia, terutama di daerah perkotaan, yang notabene memiliki saluran air namun kapasitasnya terbatas. Untuk perumahan, RWH ini juga tidak sulit diterapkan, tidak diperlukan sistem perpipaan yang mbulet dan volume tangki yang digunakan bisa disesuaikan dengan lahan yang tersedia. Yang perlu diperhatikan, ada 3 komponen penting dalam sistem RWH: catchment area, perpipaan, dan penampungan. Jika catchment area yang digunakan adalah atap rumah, tentunya ada bagian tertentu yang diatur sehingga semua air mengalir ke tempat penampungan. Sama halnya jika yang digunakan adalah halaman rumah.

Dan jangan membuang bungkus permen sembarangan oke? Ga malu teriak-teriak sama pemerintah yang katanya ga becus mengatasi banjir tapi hal sederhana semacam membuang bungkus permen ke tempat saja tidak dilakukan?

XOXO,

-Citra

P.S. Gambar diambil dari paper berjudul "An Example of Climate Change Adaptation by Rainwater Management at the Star City Rainwater Project" oleh Han et.al. (International Water Association homepage).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun