Saya pernah berpikir bahwa Life of Pi adalah cerita yang unfilmable. Ceritanya puitis, sarat pesan, dan memuat adegan-adegan ‘gelap’ yang membacanya saja membuat saya memalingkan kepala.
Tapi Ang Lee ternyata memecahkan keskeptisan saya.
Ketika akhirnya Life of Pi muncul di layar lebar dengan format 3D, rasa penasaran itu muncul sangat kuat sehingga saya bertekad bahwa saya harus menontonnya di studio IMAX. Baru dua kali saya menonton di studio IMAX, yang pertama Avatar (keputusan yang sangat tepat waktu itu). Dan keputusan saya kali ini pun, murni judi, juga ternyata tidak salah.
Ceritanya tidak jauh berbeda dengan buku, dan saya memang tidak bermaksud membandingkan, dengan anggapan awal saya bahwa buku ini unfilmable. Garis besar ceritanya adalah mengenai Piscine Molitor Patel (Pi), yang dibesarkan di Pondicherry, di keluarga yang mengelola kebun binatang. Ia mengganti nama panggilannya dengan Pi saja karena sering diejek sebagai “pissing”. Di masa kecilnya yang juga tidak melulu bahagia ini juga Pi mengenal 3 agama. Ia dibesarkan sebagai seorang Hindu, lalu mulai mengenal Katolik dan Islam. Pi mengikuti tiga agama ini, tanpa kontradiksi satu dengan yang lain karena ia menemukan pesan berbeda yang menurutnya sama-sama penting. Karena situasi politik yang tidak menguntungkan, keluarga Patel memutuskan untuk pindah ke Kanada, beserta dengan binatang-binatang yang ada di kebun binatang yang mereka kelola. Perjalanan panjang melalui laut inilah yang menjadi awal 227 hari hidup Pi di lautan. Di Mariana Trech, kapal yang mereka tumpangi karam karena badai, dan Pi berhasil menyelamatkan diri di satu sekoci bersama dengan seekor zebra yang terluka, hyena, orangutan bernama Orange Juice, dan harimau Bengal bernama Richard Parker. Satu persatu binatang itu mati, si zebra dan Orange Juice dimakan oleh hyena, lalu akhirnya si hyena diterkam oleh Richard Parker.
Tinggallah Pi dan Richard Parker, mengarungi samudera selama 227 hari, menjalin hubungan yang rumit, juga sempat terdampar di pulau karnivora, pulau yang ketika malam menjelang berubah menjadi ‘pemakan daging’, air tawar berubah menjadi asam, tumbuhan merambat ‘memakan’ manusia (Pi menemukan gigi manusia di gumpalan buah di pohon). Mereka terapung-apung lagi dan akhirnya terdampar di Meksiko, di mana Richard Parker akhirnya meninggalkan Pi, yang menangis meraung-raung patah hati. Because there wasn’t even a glare of good bye.
Semua kisah ini diceritakan lagi oleh Pi pada dua agen asuransi dari Jepang yang menangani kecelakaan itu, yang tidak percaya, dan kemudian Pi membuat versi cerita lain dengan kisah serupa: dia berada di sekoci dengan ibunya, seorang koki, dan seorang pelaut.
Lalu dua cerita ini dikisahkan kembali pada seorang penulis.
Sarat pesan? Tentu saja. Tangan saya sampai gatal ingin menuliskan sekian banyak dialog yang berkesan di handphone supaya tidak lupa, tapi mata tidak bisa berkelit dari visualisasi yang tidak kalah menawan. Pesan mengenai pengenalan dan pemaknaan Tuhan, tentang keberanian mengingat masa lalu, tentang pilihan. Di awal film si penulis mengatakan, “They said you can make me believe in God”. Pi membalas, “I can only tell my story, what you believe is up to you”. Juga tentang harapan yang tidak boleh mati, tentang kepasrahan. Pi sempat menyerah, mengatakan pada Tuhan bahwa ia sudah kehilangan semuanya, sudah tidak lagi berdaya, ambillah nyawanya saja. Tapi ia hidup, dan berharap kembali. Dan bagaimana ia memaknai perjalanannya. Akhir film ini memang sama dengan bukunya, namun terlihat bagaimana sebenarnya cerita Pi dan Richard Parker itu dimungkinkan sebagai cerita karangan untuk menutupi kisah tragis sebenarnya yang melibatkan manusia dan bukan binatang.
Ang Lee membuktikan saya salah. Dan satu hal yang paling saya hargai dari adaptasinya ini adalah bagaimana ia membuatnya ‘bisa ditonton untuk semua’. Awal mula saya menjadi skeptis bahwa cerita ini tidak bisa difilmkan adalah adegan-adegan ‘kerasnya’. Film ini ratingnya PG (Parental Guidance Suggested – di bawah pengawasan orangtua), Ang Lee menyesuaikan adegan yang seharusnya lebih ‘mengerikan’ di buku menjadi adegan yang lebih ‘lembut’. Menjadikannya film yang pesannya tidak hanya bisa diambil mereka yang dewasa, melainkan juga remaja. Visualisasi 3D-nya? Jangan dianggap main-main. Apalagi kalau ditonton di studio IMAX.
Kalau tadinya saya berpikir syuting film ini pasti di Hollywood, sebagian besar footage untuk film ini ternyata direkam di Taiwan. Yap. Ang Lee yang kelahiran Taiwan membawa Life of Pi ke Taiwan, tepatnya di Taichung (Taiwan tengah), di mana ia membangun tangki air super besar untuk merekam perjalanan Pi di samudera Pasifik.
Selamat menonton. I can’t be grateful enough, that in this era in which I am living, story from books I love; can come alive. Memanjangkan pesannya pada lebih banyak lagi orang.
Bonus menonton: Richard Parker mini! Hahaha.
XOXO,
-Citra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H