Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Don’t Judge the Book by Its Cov..er..Title

21 Mei 2012   05:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:01 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasti banyak yang tahu istilah ini: “don’t judge the book by its cover”, sebuah idiom yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana seharusnya kita menilai seseorang, bukan melulu dari penampilan (atau kelihatannya), tapi kita juga harus tahu isinya. Idiom ini seperti menegaskan bahwa pada masa idiom ini dilahirkan (entah kapan), saya percaya buku sangat populer dan menjadi sesuatu yang bermakna sampai-sampai ‘wisdom’ soal kehidupan pun dilekatkan pada buku.

Tapi kali ini saya ingin membicarakan sesuatu yang lebih harfiah dan spesifik, bukan mengenai metafor. Don’t judge the book by its title, topik yang saya pilih. Mengingat seringnya saya tertipu soal judul dan sekedar sinopsis.

Lebih spesifik lagi: soal cinta. Cinta adalah subjek yang paling banyak diangkat penulis-penulis di mana saja. Bukan cinta dalam arti sempit (pria dan wanita), juga cinta pada biang roti (Dee, “Madre”), cinta pada matematika (Motohirou Katou, “Q.E.D”), cinta pada arkeologi dan dunia metafisik (Ayu Utami, “Bilangan Fu”), hingga cinta pada puisi yang membebaskan (N.H. Kleinbaum – Tom Schulman, “Dead Poet Society”). Lepas juga dari cinta kepada siapa (dan/atau apa), kisah-kisah cinta ini dibungkus dengan sejuta intrik lain yang membuat ceritanya semakin membuat mata tidak bisa lepas dan membuat mulut ternganga. Buku memberikan kita banyak pilihan untuk membaca kisah cinta yang mana.

Sehubungan dengan “don’t judge the book by its title”, banyak buku berjudul biasa namun isinya drama percintaan atau sebaliknya, buku berjudul kisah cinta namun isinya jauh berbeda. Terus terang saya bukan penggemar kisah cinta yang melodramatis seperti karya Nicholas Sparks (ada alasan kenapa saya suka engineering). Buku pertamanya yang saya baca adalah “The Notebook”, ketika saya SMP, tanpa pretensi apa-apa soal reputasi pengarangnya yang memang dikenal sebagai spesialis novel romantis. Saya pikir karena judulnya yang “biasa”, lalu ceritanya juga “biasa”. Setelah seperempat buku, saya lalu tidak jadi meneruskan membacanya dengan menggebu-gebu seperti biasa. Kisah cintanya memang manis, tapi sungguh, tanpa bermaksud mengecilkan pengarangnya; kisah cinta seperti ini bukan selera saya. Saya memang menyelesaikan bukunya, namun tanpa perasaan “excited”. Saya suka minum teh, tapi tidak semua jenis teh saya sukai, teh hijau termasuk satu di antaranya. Analoginya begitu.

Cerita saya yang kedua justru kebalikannya. Beberapa waktu lalu Ayu Utami meluncurkan bukunya yang berjudul “Cerita Cinta Enrico”. Judulnya “harfiah” sekali, “cerita cinta”, dengan embel-embel “enrico”. Membuat saya awalnya membayangkan kisah cinta ala telenovela. Yang membuat saya berpikir cukup lama untuk membelinya (tepatnya, sms Ibu untuk ‘nitip’ membelikannya). Hmmm, saya lupa tepatnya apa yang membuat saya memutuskan untuk membelinya. Ketika akhirnya bukunya datang ke Taipei, saya juga tidak segera membacanya. Ketika akhirnya memantapkan niat untuk membacanya, laaah, saya langsung tidak bisa berhenti. Ceritanya sama sekali tidak ‘manis’, cenderung ‘creepy’ tapi justru itu yang saya cari. Cinta seorang anak pada ibunya, yang dikemas dengan latar belakang masa gerilya, peperangan, kemerdekaan, hingga reformasi. Sejarah yang campur aduk dengan kisah cinta. Menghanyutkan. Menakutkan, tapi sekaligus membebaskan pikiran. Beda jauh dengan bayangan awal saya soal kisah cinta ala telenovela.

Jadi judul memang tidak bisa memberikan gambaran yang ‘lumayan’ untuk pembaca. Karena itu juga saya lebih suka mengunjungi toko buku yang memberikan satu sampel buku tanpa segel bagi pembeli. Ada satu toko buku yang sering saya kunjungi di Taipei, yang menyediakan sampel dan tidak membatasi pengunjung untuk membaca. Banyak calon pembeli (atau sekedar pengunjung) yang ‘dlosoran’ di lantai, membaca sampel buku.

Don’t judge the book by its title. The Da Vinci Code (Dan Brown) bukan tentang lukisan, Chicken Soup (various editors) bukan tentang resep masakan, Gerhana Kembar (Clara Ng) dan Supernova (Dee) bukan tentang even astronomi, Joker (Valiant Budi Yogi) bukan tentang main kartu,  dan The Naked Traveler (Trinity) bukan tentang traveler yang jalan-jalan tanpa baju.

Bijaksanalah ketika ‘menghakimi’ sebuah buku. Baca dulu isinya.

Selamat hari Senin,

-Citra

P.S. Foto koleksi pribadi, dan sedikit bosan karena saya terus menulis soal buku? :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun