Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

“Publish or Perish”

5 Februari 2012   12:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:02 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah ini adalah ungkapan tidak tertulis di kalangan akademisi, di banyak negara termasuk Taiwan, tapi mungkin belum untuk Indonesia. Singkatnya, akademisi harus rajin mempublikasikan penelitiannya, atau “hancur” dan terlupakan.

Mencermati tulisan Pak Atep Afia yang merujuk pada Webometrics, jika Anda membuka Top Asia, Taiwan menempatkan 4 universitas di deretan Top 10. National Taiwan University, yang world rank-nya “hanya” 42, memiliki scholar rank 6, jauh melebihi universitas-universitas lain yang rankingnya lebih tinggi. Tiga universitas lainnya, memiliki scholar rank di bawah 100.

Publikasi di jurnal internasional adalah kewajiban bagi mahasiswa doktoral di Taiwan. Untuk persyaratan resmi mengajukan oral defense, biasanya jurusan mensyaratkan 1 publikasi. Tapi banyak aturan tidak tertulis mengenai berapa jumlah publikasi yang harus dicapai oleh mahasiswa doktoral sebelum lulus.

Jadi apakah kuliah di Taiwan sulit? Iya sulit bila Anda mahasiswa doktoral. Tapi semuanya juga kembali pada adviser masing-masing. Masing-masing adviser (professor) memiliki standar yang berbeda. Professor-professor yang memiliki high achievement dan riset yang mendalam bisa meminta publikasi lebih dari 2 pada mahasiswa doktoral bimbingannya. Adviser saya mensyaratkan minimal 2 kali presentasi di international conference (minimal setingkat Asia Pasifik) dan minimal 2 publikasi di jurnal internasional (sebisa mungkin dengan impact factor lebih dari 3 untuk masing-masing jurnal). Impact factor adalah angka relatif yang menunjukkan “seberapa penting” sebuah jurnal, semakin tinggi angkanya, semakin signifikan jurnal tersebut, semakin sulit menembusnya. Ada adviser yang mensyaratkan impact factor kumulatif lebih dari 10, baru bisa mengajukan oral defense. Artinya si mahasiswa harus mempublikasikan 4 paper di jurnal dengan impact factor minimal 3, atau 2 paper di jurnal dengan impact factor minimal 5, atau 1 paper dengan impact factor minimal 10. Jurnal yang akan saya sasar sekarang, Water Research, memiliki impact factor 4.546, terbit 20 issue dalam 1 tahun, per issue berisi 20-50 artikel. Padahal jumlah paper yang di-submit kesana bisa ribuan per issue. Jadi bayangkan susahnya menembus jurnal dengan impact factor di atas itu.

Begitulah. Publish or perish. Publikasi yang dilakukan mahasiswa doktoral berdampak langsung pada adviser, sehingga dosen-dosen yang masih berstatus assistant atau associate professor akan mengejar publikasi sebanyak-banyaknya, terutama sebagai first author. Atau bila tidak, berkolaborasi dengan akademisi lain, apalagi yang sudah punya nama besar, meski bukan sebagai nama pertama.

Percayalah, publikasi is a very very big deal in Taiwan. Saya tidak akan diluluskan (meski sudah waktunya) bila belum mencapai target publikasi adviser saya. Karena itu tidak heran banyak universitas-universitas di Taiwan yang menempatkan diri di jajaran universitas dengan jumlah publikasi bejibun. Atmosfer penelitian yang tinggi, tingkat persaingan yang juga tinggi (yap, lagi-lagi publish or perish), dan didukung dengan dana yang memadai (saya tidak akan mengatakan berlimpah) adalah faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya jumlah publikasi dari universitas-universitas di Taiwan. Satu faktor lagi yang membuat saya iri: kemudahan akses untuk menggunakan fasilitas di lain kampus. Cukup berbekal permintaan izin (yang biasanya lisan) dari adviser ke adviser (di kampus tujuan), yang saya lakukan tinggal datang ke lab di kampus lain dan mengerjakan penelitian. Tidak perlu ada birokrasi berbelit-belit. Perlu membayar fee khusus jika saya menggunakan alat analisa yang mahal (seperti scanning electron microscope/TEM), tapi selain itu, lab kampus lain pun bisa serasa lab sendiri.

Jaringan antar adviser juga sangat luas dan erat. Tidak terlihat ada perbedaan antara universitas negeri atau swasta. Untuk membantu saya mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai penelitian yang akan saya publikasikan, saya dirujuk ke professor di universitas lain yang menurut adviser saya lebih ahli di bidangnya. Tanpa birokrasi macam-macam juga. Saya tinggal datang ke kampus tujuan dan berdiskusi dengan beliau.

Dana atau hibah penelitian memang memegang faktor penting (terutama yang memerlukan konferensi internasional), namun lepas dari itu, kerjasama antar kampus tidak kalah pentingnya. Bagaimana fasilitas penelitian yang tidak bisa dibeli kampus lain bisa digunakan bersama, juga untuk kemajuan bersama.

Sebenarnya Indonesia punya banyak akademisi yang mempublikasikan paper-nya di jurnal internasional. Hanya memang afiliasinya bukan universitas di Indonesia. Mungkin karena “publish or perish” belum menjadi tren di negara kita.

Jadi, kapan ya saya lulus? *kembali memeriksa draft paper*

-Citra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun