Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Luar Negeri Juga Macet

17 Februari 2014   22:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:44 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak bisa dipungkiri, citra Jakarta sebagai kota macet sudah sedemikian melekatnya sampai-sampai pembimbing saya yang orang Taiwan mengatakan, "if I go to Indonesia, I always avoid Jakarta," karena pengalaman buruknya terjebak macet di sana. Meminjam istilah Dee Lestari dalam novelnya Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh: terkutuklah Jakarta yang memaksa warganya tua di jalan raya.

Sayapun memiliki pengalaman buruk dengan kemacetan Jakarta. Tapi yang namanya macet, banyak kota-kota besar di dunia yang mengalaminya, karena faktor yang serupa: ledakan penduduk yang memicu banyaknya kendaraan bermotor di jalan raya, padahal jalannya ya itu-itu saja. Sebutlah kota-kota besar di Asia: Taipei, Seoul, Tokyo, Hongkong, semua juga punya yang namanya macet. Coba rasakan jalanan Taipei jam 7-9 pagi. Sudah mirip sekali dengan Jakarta.

Lalu apa bedanya dengan Jakarta?

Kota-kota itu punya alternatif transportasi yang lain. Jalanan boleh macet, tapi penduduk di Taipei tidak harus menghabiskan waktu berjam-jam di jalan karena tidak ada pilihan lain selain kendaraan pribadi. Sarana transportasi publik sudah memadai, dengan kereta bawah tanah dan bus kota yang sudah terintegrasi. Saat jalan raya dalam kota padat merayap di jam-jam berangkat dan pulang kantor, Taipei Metro (mass rapid transit) menjadi pilihan utama. Jumlah penumpang yang membludak di saat-saat itu juga disiasati dengan menambah gerbong kereta dan mempersingkat jeda waktu per kereta.

Iya sih, ramainya juara di saat-saat itu, terutama pagi hari. Apalagi Tokyo (dan Jepang, secara umum), yang memiliki petugas khusus untuk mendorong para penumpang masuk ke dalam kereta. Hanya saja, setidaknya penduduk kota memiliki pilihan untuk tidak terlambat ke kantor meski harus berdesak-desakan dalam kereta atau bus. Tidak harus berangkat dini hari hanya untuk sampai kantor tepat waktu. Tidak juga terpaksa sampai di rumah larut malam karena  lagi-lagi, terjebak macet.

Selain sarana transportasi publik, banyak kota-kota besar di dunia yang membudayakan sepeda. Membudayakan sepeda tidak hanya dalam bentuk anjuran, juga dalam bentuk fasilitas. Trotoar lebar, disediakan untuk pesepeda dan pejalan kaki, bahkan ada yang menyediakan jalur khusus di jalan raya untuk pesepeda. Di Jakarta (dan Indonesia pada umumnya)? Minim trotoar karena semuanya dilahap pedagang kaki lima. Taipei dan Paris punya sistem persewaan sepeda dengan docking terminal yang dihubungkan semuanya secara online, sehingga bisa diambil dari mana saja dan dikembalikan di mana saja. Enak? Tentu. Bisa berolahraga di pagi hari, sekaligus menghindari kemacetan. Tidak juga perlu khawatir dengan mau parkir di mana.

Trotoar yang lebar dan difungsikan sebagaimana mestinya juga bisa digunakan mereka yang gemar (baca: mau) jalan kaki ke kantor. Jalan kaki memang masih dianggap aneh di banyak kota di Indonesia, selain karena budaya malas, juga takut kepanasan, juga karena adanya kendaraan (termasuk becak). Lha piye, saya memilih jalan kaki dari depan stasiun Purwosari Solo ke sebuah ruko yang jaraknya sekitar 15 menit jalan kaki saja dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Luar biasa dalam artian 'ngapain sih mbak, jalan kaki?' Padahal trotoar di Solo itu lebar-lebar, enak untuk jalan kaki (regardless of panas, itu bisa payungan kan).

Faktor pembeda kedua adalah pola pikir penduduknya. Tidak gengsi untuk naik kendaraan umum, tidak juga malu tidak punya mobil. Ini memang sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya sarana transportasi alternatif. Meski begitu, jangan lalu dilempar kesalahannya pada ada atau tidaknya sarana transportasi alternatif. Pembimbing saya yang notabene bisa selalu bermobil ke kampus juga sering memilih naik bus. Tidak gengsi naik sepeda. Seperti kata walikota Bogota (yang sistem bus kotanya dicontoh Jakarta), Gustavo Petro, "a developed country is not a place where the poor have cars. It's where the rich use public transportation."

Kendaraan pribadi memang dijadikan cerminan status pemiliknya, seringkali menjadi prioritas utama meski belum perlu atau belum bisa membeli. Banyak yang tergesa membeli mobil (apalagi dengan embel-embel mobil murah), padahal mereka belum memikirkan biaya bahan bakar, biaya perawatan, pajak, hingga biaya asuransi. Semata gengsi karena turun dari mobil terlihat lebih wah dibanding turun dari bus. Kalau di Taipei, banyak yang memilih tidak punya mobil dulu karena selain biaya-biaya yang tadi disebutkan, biaya parkir di Taipei mahalnya selangit. Jika tidak punya garasi pribadi (yang cuma ada di apartemen harga selangit), mau tak mau harus sewa lahan parkir, yang bisa mencapai lebih dari 3 juta per bulan. PARKIRNYA saja. Faktor ini sedikit banyak juga mengurangi volume kendaraan pribadi baru di jalan raya. Tidak memperparah kemacetan, setidaknya.

Begitulah, macet itu penderitaan bersama. Tak cuma dialami Jakarta, Surabaya, Yogya, hingga Malang. Saya juga tidak berharap kota-kota itu bebas macet (berharap, tapi sulit sekali diwujudkan, yes?), saya berharap sarana transportasi alternatifnya dieksplorasi dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga tak ada yang harus telat ke kantor, tak ada yang harus meninggalkan keluarga sepagi mungkin, tak ada yang mengorbankan sekian jam untuk menua di jalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun