Ada sebuah harapan terselip ketika saya mengetahui bahwa Kementerian Pendidikan Nasional dipecah menjadi dua: Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Karena setidaknya dengan adanya kementerian riset yang mandiri, dunia penelitian di Indonesia bisa maju dan bersaing dengan negara-negara lain.
Sebagai seseorang yang pernah mengenyam pendidikan di dalam dan luar negeri, terutama yang menggunakan riset, saya melihat banyak perbedaan. Soal fasilitas iya, juga mengenai dukungan dan jaringan antar universitas. Kontrasnya perbedaan 3 hal ini membuat banyak peneliti Indonesia kemudian enggan kembali ke Indonesia setelah sekolah atau berkiprah di luar negeri.
Berbicara soal fasilitas riset, ada dua faktor yang mempengaruhi tersedianya fasilitas riset di suatu kampus, yaitu dana dan visi universitas. Riset itu mahal, jenderal! Sebagai contoh, di bidang saya yang teknik kimia, riset memerlukan banyak bahan dan instrumen. Bahan yang digunakan sebaiknya yang tingkat kemurniannya tinggi (puriss p.a.), bukan yang technical. Harga yang murni dengan technical tentu saja berbeda. Satu bahan bisa seharga USD 1.000 per 1 L, padahal untuk riset yang memakan waktu bertahun-tahun, jelas volume yang diperlukan juga banyak. Berapa grant penelitian yang diberikan untuk para dosen dan peneliti? Bisa jadi jumlahnya hanya cukup untuk membeli bahan kimianya saja.
Selain soal bahan, instrumen ini juga masalah pelik. Karena harganya yang wow banget, tidak semua universitas atau lembaga penelitian memiliki instrumen yang mereka perlukan, terutama yang tidak rutin digunakan (karena membuat skala prioritas). Ketika saya mengerjakan disertasi dan menggunakan instrumen yang namanya field emission scanning electron microscopy (FE-SEM), yaitu alat untuk mengambil gambar resolusi tinggi dengan perbesaran hingga ribuan kali, pembimbing saya mengatakan, “enjoy the ride, this instrument is as expensive as a Ferrari”. Duar. Yah, mleset-mleset dikit dari USD 150.000 lah. Berapa itu? 1,5 miliar rupiah. Itu satu instrumen saja untuk satu analisa. Padahal yang namanya riset, multi evidences itu penting untuk mendukung kesahihan data dan hipotesis. Artinya ya harus menggunakan banyak instrumen. Saat mengerjakan skripsi S1, dikarenakan keterbatasan instrumen, saya harus mengirimkan sampel ke salah satu universitas di Australia. Lagi-lagi karena di Indonesia saya belum tahu ada di mana alatnya.
Nah, bila visi universitas tidak mengedepankan riset, tentu saja fasilitas untuk riset juga tidak menjadi prioritas. Akibatnya riset menjadi mandheg atau stagnan di tema yang sama atau serupa, dikarenakan keterbatasan alat. Karena hal ini pula publikasi ilmiah universitas di Indonesia masih kalah jauh dibanding Malaysia, misalnya, karena banyak universitas belum membangun iklim riset yang baik.
Yang kedua mengenai dukungan. Saya bersyukur bahwa ketika kuliah S1, dosen-dosen di jurusan saya sangat mendukung iklim penelitian yang menyenangkan. Setiap dosen memiliki bidang keahlian yang berbeda, dan membuka kesempatan dan ruang diskusi yang luas untuk menentukan topik penelitian. Tanya jawab dan pengadaan materi, terutama jurnal-jurnal internasional yang aksesnya terbatas, difasilitasi dengan baik sehingga mahasiswa bisa membuka ruang pandang yang lebar. Selain itu, saya dan teman-teman juga didukung untuk menghasilkan penelitian yang bagus dan bertaraf internasional, tak hanya melakukan riset melainkan juga belajar bagaimana mempublikasikannya di jurnal internasional. Penelitian yang baik saja sudah berat, apalagi menuliskannya dalam bahasa Inggris, belum lagi menjadikannya paper dengan standar internasional. Iya susah, tapi kesusahan itu terbayar dengan dukungan penuh dari para dosen.
Dosen-dosen berdedikasi dengan mindset luas seperti itu masih belum menjamur di Indonesia. Beban mengajar untuk kenaikan jabatan tergolong tinggi sehingga menyebabkan riset menjadi sampingan saja. Melakukan riset sendiri dan mempublikasikannya sendiri saja repot, apalagi harus mendorong dan mendampingi mahasiswa melakukan hal yang sama. Insentif dan aturan untuk publikasi internasional juga belum menggiurkan, sehingga akhirnya dukungan untuk menghasilkan penelitian kelas dunia belum menjadi prioritas.
Tadi saya menyebutkan ketika melakukan penelitian untuk skripsi S1, saya harus mengirimkan sampel ke Australia. Ketika belajar di Taiwan, tidak sekali dua kali pula saya numpang ngelab di universitas lain karena mereka memiliki instrumen yang tidak dimiliki universitas saya. Prosedurnya sederhana, tidak berbelit, karena dibantu dengan jaringan antar dosen/profesor yang erat. Jadi profesor saya tinggal menghubungi profesor yang bertanggungjawab di lab yang hendak saya tuju, jika sudah iya, saya tinggal datang ke universitas yang bersangkutan untuk melakukan penelitian. Free of charge (atau kadang berbayar dengan tarif normal). Tidak masalah jika harus membayar, karena memang begitulah adanya, yang penting penelitian saya bisa tetap berjalan. Jadi begitulah, jaringan antar universitas (dan juga antar dosen) membantu sekali untuk menyediakan iklim riset yang baik.
Belum lama ini, NTUST (dengan konsentrasi di bidang science and engineering), NTU (dengan konsentrasi di segala bidang), dan NTNU (dengan konsentrasi di bidang social science), tiga universitas di Taiwan yang berbeda-beda bidang kelebihannya memutuskan untuk membentuk NTU Triangle, jaringan 3 universitas yang bertujuan untuk memaksimalkan potensi mereka dalam hal akademis dan riset dengan berbagi fasilitas dan saling mendukung. Dengan aliansi 3 universitas ini, diharapkan iklim riset di Taiwan semakin menguat dan bisa menaikkan ranking aliansi ini di deretan universitas kelas dunia. Berbeda justru bukan berarti berseteru, melainkan bersatu untuk satu tujuan yang sama.
Dengan kementerian mandiri yang (semoga) bisa fokus pada pengembangan pendidikan tinggi dan riset di Indonesia, saya tentu optimis Indonesia dan para peneliti dan dosennya bisa bersaing dan unjuk gigi di kancah yang lebih tinggi.