Secara konstitusional, mendidik adalah tanggung jawab pemerintah; namun secara moral, mendidik adalah tanggung jawab orang terdidik.
Begitu salah satu pesan yang disampaikan oleh Pak Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, saat membuka pelatihan intensif Pengajar Muda (anak-anak muda yang direkrut Indonesia Mengajar untuk mengajar satu tahun di daerah) angkatan IX di Kantor Indonesia Mengajar kemarin (Senin, 27 Oktober).
Sebagai pendiri gerakan ini, Pak Anies menyampaikan banyak hal. Indonesia Mengajar didirikan di tahun 2010 dengan visi besar: melunasi janji kemerdekaan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Alih-alih urun angan, para pendiri gerakan ini memilih untuk ikut terlibat langsung di dunia pendidikan Indonesia, terutama pendidikan dasar. “Kita bisa menulis, iya, namun bukankah rasanya lebih baik bila kita menulis dan melakukan, lebih-lebih mengawal apa yang sudah kita rencanakan?”
Uhuk. Sebagai “penulis”, saya keselek.
Pembukaan pelatihan intensif Pengajar Muda kali ini memang terasa berbeda. Kurang dari 24 jam sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengumumkan susunan kabinet pemerintahannya, dengan memasukkan Pak Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (nama yang akhirnya tetap dipilih alih-alih Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah; Pak Anies bertutur, “Bisa menghemat anggaran sekian miliar karena tidak perlu mengganti nama dan segala atribut kementerian”). Dalam siaran langsung itu, Joko Widodo ‘hanya’ memperkenalkan Pak Anies sebagai pendiri Indonesia Mengajar. Sesuatu yang membanggakan, bahwa gerakan ini bisa menyumbangkan satu atau dua hal untuk kemajuan pendidikan Indonesia.
Jika biasanya Pak Anies datang dengan mobil berplat biasa, kemarin beliau hadir dengan mobil berplat RI 26. It was indeed different. Pak Anies memang ‘berbeda’, namun Indonesia Mengajar tetaplah gerakan yang sama seperti sebelumnya. “Indonesia Mengajar adalah inisiatif masyarakat, bukan pemerintah, dan harus tetap dijaga sebagai inisiatif masyarakat”, begitu yang dipaparkan Pak Anies. Indonesia Mengajar memang hadir dari kerumuman positif sejumlah orang (sipil) yang peduli dengan pendidikan dan ingin berpartisipasi aktif di samping pemerintah untuk memajukan pendidikan. Indonesia Mengajar tidak menggunakan dana pemerintah sepeser pun, melainkan mengajak sebanyak mungkin pihak lain untuk ikut iuran. Ada yang iuran pembiayaan program, ada yang iuran satu tahun kehadiran, ada yang iuran waktu luang. Pendek kata, kerumunan positif itu terus membesar, menular. Hingga saat ini, sudah lebih dari 57.000 anak muda mendaftar untuk menjadi Pengajar Muda, menjadi pejuang (kata Pak Anies), karena mereka tahu akan ditempatkan di daerah terpencil, minim listrik, susah akses transportasi, selama satu tahun pula, namun mereka masih mendaftar dengan semangat.
Di tengah realita pendidikan Indonesia yang masih banyak membuat kita miris (masih ingat statistik mengenai rerata lama orang Indonesia belajar? Kurang dari 6 tahun), Indonesia Mengajar memilih optimis. Guru adalah kunci, karenanya Indonesia Mengajar memilih untuk mengirim orang alih-alih barang, merekrut anak-anak muda berkualitas untuk menyumbangkan waktu mereka selama 1 tahun mengajar di berbagai daerah di Indonesia. Dari Aceh Utara sampai Fakfak, dari Kepulauan Sangihe sampai Rote Ndao. “Indonesia Mengajar bukan sekadar program mengirim guru, satu tahun penugasan itu adalah sekolah kepemimpinan,” Pak Anies menjabarkan mengenai misi Indonesia Mengajar. Seseorang disebut pemimpin apabila dia memiliki pengikut (followers), dan dengan menjadi guru, anak-anak muda ini belajar memimpin di tingkat dasar, memimpin anak-anak di ruang kelasnya. Anak-anaklah yang akan menempa mereka dan memberikan feedback yang tulus, jujur. Mereka juga akan mencintai dengan tulus.
Terjun ke masyarakat adalah cara yang dipilih Indonesia Mengajar untuk mencetak pemimpin-pemimpin masa depan dengan world class competence dan grassroots understanding. Tak hanya memiliki kemampuan tinggi dan keterampilan yang tarafnya internasional, anak-anak muda ini juga diharapkan mengerti realita apa yang terjadi di pelosok-pelosok negeri, tak hanya melihat apa yang disajikan televisi, tak hanya membaca apa yang disediakan media.
“Be a diamond, not a coal,” pesan Pak Anies yang selanjutnya. Jadilah permata, bukan batu bara. Kedua benda ini memiliki unsur yang sama, yaitu karbon, namun timbangannya berbeda. Batu bara ditimbang dengan satuan ton, permata ditimbang dengan satuan gram, even smaller. Dan apa yang menjadikan kedua benda dengan unsur sama ini berbeda? Proses bagaimana mereka menjadi. Permata dihasilkan oleh tekanan yang besar. Dan demikianlah pemimpin, bisa jadi tidak terlahir, melainkan ditempa dengan berbagai ujian, dan lulus.
Dan pesan-pesan panjangnya yang semuanya tweetable itu ditutup dengan kelakar khasnya, “Indonesia Mengajar bukan program pemerintah, meski salah satu founder-nya dipindahtugaskan ke pemerintahan.”
Pendidikan adalah urusan bersama. Ayo turun tangan iuran untuk pendidikan.
XOXO,
-Citra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H