Mohon tunggu...
Citra Iswal Samira
Citra Iswal Samira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Citra merupakan mahasiswa aktif fakultas ilmu komunikasi pancasila. Citra memiliki ketertarikan pada bidang sosial media dan copywriting

Topik konten yang menjadi favorit ku yaitu tidak jauh seputar inovasi-inovasi baru, perkembangan media sosial, serta lifestyle yang dirasa relate dengan kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Bijak dengan Sampah Pribadi, Ayo Mulai Gunakan Pembalut Reusable

8 April 2024   01:01 Diperbarui: 8 April 2024   01:15 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : Doktersehat.com

Di dalam dunia Perempuan pastinya para akan mengalami datang bulan di setiap bulannya, yang dimana hal ini berarti mengalami proses mentruasi. Menurut Alodokter, Menstruasi adalah keluarnya darah dari daerah inti kewanitaan, siklus ini adalah bagian dari proses normal organ reproduksi wanita untuk mempersiapkan kehamilan dan ketika tidak ada pembuahan akan mengeluarkan darah dan hal ini yang dikenal dengan menstruasi (haid). Dilansir dari website halodoc, jangka waktu ini dapat terjadi lebih cepat atau pun lebih lambat dengan perbedaan antara 22 hingga 35 hari, dengan rata-rata setiap 28 hari. Seseorang dikatakan mempunyai masa haid normal ketika terjadi setiap 23 hari hingga 35 hari. Dengan rentang berlangsungnya haid, yaitu 3 (tiga) sampai 7 (tujuh) hari. Tentu saja, dalam menjaga darah kotor tersebut para kaum hawa ini, harus menggunakan pembalut sebagai produk sanitasi mereka. Selain pembalut, ada juga produk sanitasi yang bisa digunakan yaitu tampon dan menstrual cup. Kegunaan dari produk sanitasi ini tetap pada fungsi yang utamanya yaitu sebagai tempat pembuangan darah tersebut. Memfokuskan pembahasan ini terhadap produk sanitasi yaitu pembalut, pembalut sendiri mempunyai berbagai macam bentuk, ukuran, serta jenis yang terkandung didalam pembalut ini. Inovasi ini dibentuk dalam memenui kenyamanan para perempuan dalam memilih produk sanitasi mereka.

SEJARAH TERCIPTANYA PEMBALUT DI DUNIA

Sejarah dalam menghadirkan pembalut sebagai produk sanitasi wanita juga sudah ada semenjak abad kuno hingga saat ini dengan inovasi dan sanitasi yang terus berkembang. Sesuai penjelasan dari website Magdalene, dalam SimpleHealth disebutkan sejarawan meyakini masyarakat Mesir Kuno membuat semacam tampon dari papirus yang dihaluskan. Sementara di masyarakat Yunani Kuno, perempuan memakai tampon yang terbuat dari bilah kayu yang dibungkus tiras. Sebagian perempuan ada juga yang diyakini memakai spons laut sebagai tampon. Dari abad kelima hingga abad kelima belas, wanita menggunakan kain lap sebagai pembalut yang dapat dicuci dan digunakan kembali. Hal ini menyebabkan popularitas istilah "on the rag" untuk merujuk pada wanita yang sedang menstruasi.

Menurut sebuah artikel di Femme International, pada abad kesepuluh di Yunani, terdapat kejadian dimana seorang wanita melemparkan kain lap bekas pembalutnya kepada seorang pemuda yang mengganggunya, dengan harapan agar pemuda tersebut menghentikan tindakannya. Selain menggunakan kain lap, pilihan lain bagi wanita pada masa tersebut termasuk wol, kapas, bulu kelinci, atau rumput yang dimasukkan ke dalam celana dalam untuk menyerap darah menstruasi. Sedangkan pada tahun 1850-an, wanita mulai menggunakan katun dan flanel yang dilekatkan pada celana dalam perempuan yang mengembang, yang dikenal dengan sebutan bloomer. Selain itu, produk sanitary bloomer juga muncul, terbuat dari karet dengan lubang-lubang sebagai ventilasi, dan dapat dipakai bolak-balik. Selanjutnya, muncul juga celemek menstruasi (sanitary apron) yang bukanlah untuk menampung darah, melainkan untuk mencegah noda darah menembus ke baju wanita. Berbagai bentuk celemek ini mulai dari kain hingga karet.

Pada akhir abad ke-19, sabuk menstruasi menjadi populer. 

Sumber Gambar : Makassar Tribunnews
Sumber Gambar : Makassar Tribunnews
Sabuk ini terbuat dari bahan kain yang mirip dengan ikat pinggang modern, tetapi memiliki kait di bagian tengah depan dan belakang untuk menahan kain yang diletakkan di antara kedua kaki. Ada cerita dibalik pematenan produk ini, di mana penemu pertama yang terdaftar dalam Google Patents yaitu Dora Morner pada tahun 1922 dengan nomor paten US1423353A. Namun, versi lain yang ditulis di situs Prochoice Missouri menyebutkan bahwa Mary Beatrice Davidson Kenner, seorang wanita kulit hitam, sebenarnya menemukan sabuk menstruasi ini 30 tahun sebelum patennya dikeluarkan pada tahun 1957. Kenner menghadapi rintangan rasial dan gender dalam upayanya memasarkan ide tersebut, seperti ketika sebuah perusahaan menarik minatnya namun mengubah pikiran mereka setelah mengetahui bahwa Kenner adalah wanita kulit hitam.

Pada akhir 1880-an hingga awal 1900-an, terjadi kemajuan penting dalam pengembangan pembalut. Risalah berjudul "From rags to riches" menyebutkan kutipan dari British Medical Journal Juli 1880 yang merujuk pada munculnya pembalut sekali pakai pertama, yaitu Southall dari Inggris. Produk ini terbuat dari materi antiseptik dan memiliki kemampuan penyerapan yang baik. Segera setelahnya, produk pesaing dari Jerman bernama Hartmann juga muncul, terbuat dari pulp serat kayu yang umumnya digunakan dalam pembuatan kertas. Di Amerika Serikat, Johnson & Johnson mengikuti tren dengan menciptakan Lister's Towel, yang terbuat dari bahan dasar kain tipis dan katun. Meskipun demikian, pada saat itu, masih banyak wanita yang lebih memilih membuat sendiri pembalut mereka karena dianggap lebih ekonomis, nyaman, dan tidak memicu rasa malu seperti saat harus membeli di toko.

Johnson & Johnson kemudian mengubah pendekatan mereka dengan mengembangkan Lister's Towel menjadi produk bernama Nupak, yang lebih ambigu dalam deskripsi produknya. Meskipun demikian, perusahaan seperti Kimberly Clark terus berusaha memasarkan pembalut sekali pakai pada tahun 1920-an. Mereka terinspirasi oleh penggunaan perban oleh perawat selama Perang Dunia I, yang terbuat dari material bernama cellucotton, yang lebih murah dan lima kali lebih menyerap daripada perban katun. Kimberly Clark kemudian menamai produknya Kotex, dipilih berdasarkan observasi pegawai perusahaan yang menemukan bahwa teksturnya mirip katun. Untuk mempermudah pengucapan, mereka memilih nama Kotex daripada Cot-tex.

Hingga pertengahan abad ke-20, pembalut sekali pakai masih digunakan dengan cara dimasukkan langsung ke dalam celana dalam atau diikat menggunakan sabuk menstruasi. Namun, pada tahun 1969, terjadi inovasi pada produk pembalut Stayfree dengan penggunaan perekat (lem yang menempel pada kain) di bagian tengah bawahnya. Hal ini memberikan tingkat kenyamanan yang lebih tinggi bagi pengguna pembalut sekali pakai, dan secara bertahap mengurangi penggunaan sabuk menstruasi yang lebih tidak nyaman. Produk seperti Stayfree menjadi standar yang terus digunakan dan dikembangkan hingga saat ini. Pada tahun 1990-an, dikembangkan pula inovasi produk pembalut dengan gel penyerap cairan di tengahnya.

DAMPAK BURUK BAGI LINGKUNGAN JIKA MENGGUNAKAN PEMBALUT SEKALI PAKAI

Dengan begitu, seiring berjalannya waktu dan terjadi juga peningkatan sampah pembalut hal ini terjadi dikarenakan penggunaan pembalut sekali pakai yang harus diganti lebih dari 1 kali di dalam sehari tergantung banyaknya volume darah yang di hasilkan para perempuan setiap harinya selama minggu menstruasi ini. diperkirakan  mencapai  1,4 miliar  per  bulan.  Rata-rata  wanita  menggunakan pembalut  sebanyak  4-5  sekali  pakai  dalam  satu  hari,  dalam  sebulan  dapat  diperkirakan  terdapat  300 pembalut per orang setiap tahunnya. (Ayu Sri Oktavianti, Ni Ketut Anjani :  2022) Seorang wanita mengalami menstruasi dan harus menjalankan aktivitas sehari-hari, yang mungkin memerlukan penggantian pembalut beberapa kali dalam sehari, baik di rumah, di tempat kerja, maupun saat bepergian. Jika pembalut yang sudah digunakan tidak dikelola dengan baik, ini dapat menimbulkan sejumlah masalah, termasuk dampak lingkungan, kesehatan, dan juga masalah estetika (Puspita, 2019). 

sumber gambar : FotoBisnis.com
sumber gambar : FotoBisnis.com
Mayoritas sampah rumah tangga, sebesar 37,39%, termasuk di dalamnya pembalut yang digunakan (Novia et al., 2022). Mengutip dari geotimes, yang menjelaskan bahwa menurut Ketua harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi pada Selasa (7/7), mengatakan bahwa pembalut menjadi salah satu pencemar tertinggi di Indonesia. Menurut Tulus, jumlah sampah pembalut dalam satu bulan bisa mencapai 1,4 miliar. Lebih lanjut, dengan ditemukannya zat klorin yang berbahaya bagi kesehatan, Tulus menyarankan agar masyarakat kembali menggunakan pembalut kain. Menurut artikel National Geographic Indonesia, seiring berjalannya waktu, pembalut akan melepaskan gas metana yang menyebabkan pencemaran lingkungan. Selain itu, pembalut juga merupakan ancaman bagi lingkungan karena sulit terurai. Jeanny menyatakan bahwa pembalut mengandung plastik yang membutuhkan puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai. Selain itu, pembalut juga mengandung pemutih yang digunakan pada bagian penyerapnya, yang dapat mencemari tanah dan air.

Dilansir melalui Kompas, Pembalut kewanitaan terbuat dari serat kapas, pulp selulosa, ataupun rayon yang pada awalnya tidak berwarna putih. Serat-serat tersebut kemudian dicuci dengan klorin untuk mendapatkan serat yang putih dan bersih. Pencucian dengan klorin menimbulkan suatu zat bernama dioksin pada pembalut yang akan masuk ke tubuh. Dilansir dari Organic Online, dioksin dalam pembalut memanglah sedikit namun dioksi tidak akan pernah bisa dikeluarkan dari tubuh. Yang artinya walaupun dioksi sedikit, ia akan terus-terus menumpuk dalam tubuh dan menjadi zat karsinogenik (pemicu kanker), gangguan hormon, radang panggul, ketidakteraturan menstruasi, dan gangguan sistem reproduksi. Bisa di simpulkan bahwa penggunaan pembalut kewanitaan sebagai produk sanitasi setiap harinya akan berdampak buruk terhadap lingkungan serta tubuh. Di Indonesia sendiri, sampah pembalut ternyata dapat mencapai 26 ton setiap hari. Bahkan di Indonesia juga masih banyak yang membuang sampah pembalut kesungai dan berakhir kelaut (Sustaination,2018). Menurut Aladina, Phthalates yang digunakan untuk menghasilkan pembalut yang halus Pestisida dan herbisida seperti furan yang terdapat di dalam katun Zat kimia lain yang tidak tercantum di dalam kemasan pembalut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun