Mohon tunggu...
Citra Cita
Citra Cita Mohon Tunggu... Freelancer - Pegiat Pendidikan

Kita perlu mendidik anak dari sejak dini, karena mereka perlu tau betapa pentingnya pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Antara Pidato Bahasa Indonesia Jokowi di PBB dan Apakah Sumpah Pemuda Gagal?

25 September 2020   16:45 Diperbarui: 25 September 2020   17:09 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebulan lagi, orang-orang akan ramai bicara soal sumpah pemuda. Mulai dari sejarah panjangnya, teksnya, maknanya dan wajibnya semua pemuda dan yang merasa masih muda untuk mengamalkan sumpah 28 Oktober 1928 itu.

Tapi sebelum itu, mari kita menggeser perhatian sedikit untuk membandingkan dengan pidato presiden Jokowi di Sidang Umum PBB, tanggal 23 September lalu waktu Indonesia. Yang kemudian menimbulkan pertanyaan besar apakah Sumpah Pemuda gagal membawa pemuda-pemudi Indonesia untuk bangga dan cinta sama negeri sendiri? Bangga pada bahasa Indonesia.

Tokoh utama Sumpah Pemuda kala itu, M. Yamin, Soegondo Djojopoespito, Soenario Sastrowardoyo, Dolly Salim, dan WR Soepratman, bisa jadi tak pernah membayangkan orang-orang Indonesia akan se-oportunis ini, yang memaknai perdebatan pidato presidennya dengan penilaian bahasa yang digunakan, oleh karena posisi politik yang gak usai sejak 2014 lalu. Dan kemudian menilai penggunaan bahasa Indonesia oleh Jokowi di acara Internasional adalah sebuah hal yang memalukan. Sesuatu yang konyol.

Penggunaan bahasa Indonesia seperti di sidang umum PBB sebetulnya udah ada acuannya di UU Nomor 24 Tahun 2009 pasal 28, dengan bunyi "Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri."

Bahkan di undang-undang tersebut, secara jelas dinyatakan Bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional. Sama banget dengan Sumpah Pemuda. Tapi, beberapak kalangan menyembunyikan kebenaran, dan lebih memilih mempermasalahkan yang seharusnya jadi kebanggaan bangsa.

Padahal, bukankah melihat kebaikan adalah sesuatu yang luar biasa? Ataukah kita akan tetap memaksakan diri untuk melihat hal buruk dikerumunan yang baik?

Ini gara-gara kita sejak kecil selalu diajarkan untuk menjadi yang terbaik, bersaing. Teman kelas adalah saingan. Kelas adalah arena kompetensi. Memuncaki ranking satu di setiap pembagian raport adalah kemenangan. Yang bodoh biar saja bodoh, tak perlu dibantu. Kesuksesan dan kemenangan adalah hasil usaha sendiri. Padahal, menang itu adalah ketika menguntungkan semua pihak tanpa meninggalkan satu kalangan, dengan cara kerja sama.

Semua kemajuan apapun, dapat tercapai jika semua dapat bekerja sama, bekerja sama, dan bekerja sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun