Kolaborasi AI dan Manusia : Masa Depan Penelitian Otak dengan CellBoost
Kemajuan dalam ilmu pengetahuan selalu bertumpu pada kolaborasi antardisiplin, dan salah satu area yang paling menjanjikan saat ini adalah penerapan kecerdasan buatan (AI) dalam bidang neuroanatomi. Artikel "CellBoost: A pipeline for machine assisted annotation in neuroanatomy" yang ditulis oleh Kui Qian, Beth Friedman, Jun Takatoh, Alexander Groisman, Fan Wang, David Kleinfeld, dan Yoav Freund (2024), menyoroti perkembangan signifikan dalam teknologi anotasi berbasis AI untuk penelitian otak. Di dalam artikel ini, CellBoost, sebuah pipeline berbasis pembelajaran mesin, diperkenalkan untuk mengotomatisasi anotasi sel-sel yang telah diberi penanda molekuler. Teknologi ini menawarkan solusi yang menggabungkan kecepatan dan ketepatan AI dengan penilaian akhir manusia, menghasilkan pengurangan waktu kerja hingga sepuluh kali lipat dibandingkan metode manual.
Anotasi sel dalam neuroanatomi adalah pekerjaan yang sangat intensif, baik dari segi tenaga maupun waktu. Sebelum hadirnya teknologi seperti CellBoost, para peneliti sering kali menghabiskan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, untuk menandai sel dalam jaringan otak, terutama ketika berhadapan dengan dataset besar yang bisa mencapai ukuran terabyte. Dengan kemajuan dalam teknologi pemindaian beresolusi tinggi, tantangan dalam analisis data semakin meningkat. Sebagai contoh, metode tradisional memerlukan setidaknya 50 jam untuk mengannotasi 10.000 sel di satu otak tikus, sebagaimana dicatat dalam artikel tersebut.
Dalam konteks inilah, pipeline seperti CellBoost menunjukkan potensi besar untuk merevolusi cara kita melakukan penelitian otak. Dengan meningkatkan efisiensi anotasi, para peneliti dapat mengalokasikan lebih banyak waktu untuk analisis data yang lebih mendalam dan penemuan yang lebih inovatif.
***
Artikel yang ditulis oleh Qian dkk. (2024) memaparkan solusi berbasis kecerdasan buatan untuk mengatasi masalah kompleks dalam anotasi sel di bidang neuroanatomi. CellBoost, sebagai pipeline yang mereka kembangkan, menawarkan pendekatan hybrid, di mana mesin melakukan deteksi otomatis sel yang ditandai, dan manusia berperan dalam memvalidasi hasil deteksi yang kurang meyakinkan. Pendekatan ini mengurangi beban kerja manual dengan signifikan, sebagaimana diuraikan dalam penelitian mereka. Dalam uji coba pada empat otak tikus, algoritma ini mampu mengurangi waktu anotasi dari 50 jam menjadi sekitar 5 jam, atau sepuluh kali lebih cepat tanpa kehilangan akurasi yang signifikan.
Keunggulan CellBoost tidak hanya terletak pada pengurangan waktu kerja. Tingkat kesalahan deteksi juga berkurang drastis. Misalnya, sistem ini memiliki tingkat kesalahan positif kurang dari 1% dalam mendeteksi neuron yang ditandai (Qian dkk., 2024). Bahkan, dibandingkan dengan anotator manusia yang bekerja tanpa bantuan, kesalahan deteksi oleh algoritma ini masih berada pada tingkat yang sama, yang menunjukkan bahwa AI dapat mendekati, bahkan menyamai, keakuratan para ahli neuroanatomi.
Sistem ini juga memanfaatkan pendekatan pembelajaran mesin melalui algoritma boosting, yang terkenal dengan kemampuannya untuk menggabungkan "keputusan lemah" menjadi model prediksi yang kuat. Penggunaan model ini dalam CellBoost membantu mendeteksi sel-sel yang "sulit" atau memiliki bentuk yang tidak biasa, dengan penulis menekankan bahwa sekitar 20% dari kasus anotasi yang sulit biasanya menjadi sumber perbedaan pendapat antara anotator manusia. Menurut Qian dkk., CellBoost juga dapat diadaptasi untuk jenis penanda molekuler lain, yang berarti bahwa penerapannya bisa jauh melampaui penelitian neuroanatomi tikus saja.
Penghematan waktu, akurasi yang tinggi, dan fleksibilitas metode ini menjadikannya sangat berharga bagi dunia riset yang bergantung pada analisis gambar mikroskopik berskala besar. Jika diimplementasikan lebih luas, teknologi seperti ini dapat mempercepat penemuan di bidang neurologi, mempercepat studi tentang penyakit otak, seperti Alzheimer atau Parkinson, di mana pemetaan sel saraf yang tepat sangat penting. Dengan dataset yang terus bertambah besar dan lebih kompleks, adopsi teknologi pembelajaran mesin seperti ini bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan.
***