Mohon tunggu...
Citra Dano Putri
Citra Dano Putri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

More than just "ordinary".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Radio Lokal; Hidup Segan Matipun Tak Mau

22 Mei 2012   22:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:57 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_189898" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Salah satu rekan sesama penyiar radio di Gorontalo pernah bikin dunia media disana gempar. Penyebabnya, sebuah portal online nasional memuat pernyataannya bahwa masih ada radio lokal yang menggaji penyiarnya dibawah standar (2500/jam). Saya yang juga mantan karyawan dari radio yang disebut itu, langsung ditelpon beberapa teman yang ingin mengkonfirmasi kebenarannya, dan mengungkapkan ketidak percayaan mereka. Wajar kalau mereka tidak percaya. Kesan seorang awak radio memang terlanjur dinilai tinggi oleh yang lain. Dengan dandanan modis, dan hobi eksis di tengah - tengah event bergengsi, tidak salah kalau ada yang menganggap bahwa kerja di radio itu enak. Santai, gaul, tambah wawasan, dibayar pula. Memang sih. Yang tidak banyak orang tahu adalah, radio lokal dihadapkan pada permasalahan berat baik keluar maupun kedalam yang sudah mengakar dan susah dituntaskan, dan tentu saja jadi tanggung jawab para awaknya termasuk penyiar. Kita mulai dengan permasalahan keluar;

Permasalahan pertama. Pengiklan lokal yang susah diarahkan dan diajak berdiskusi. Bagaimana mungkin, produk minuman energi untuk laki - laki dewasa ngotot pengen memasang spot iklan di radio dengan segmentasi anak SMA?! Alasannya sederhana, bos perusahaannya suka dengan radio itu.

Kedua, sulitnya memetakan pendengar radio. Saya sebut sulit karena sebuah radio berita, dengan isi informasi lokal mulai sosial, budaya, politik, olahraga, hingga harga bahan - bahan dapur dipasar, dan punya segmentasi musik oldies klasik (70 - 90'an) justru memiliki pendengar aktif dari kalangan anak - anak SMA. Hasilnya, bagian kreatif programnya dibuat pusing untuk mencari tahu apa yang salah dengan setingan mereka. Diantara itu semua, masalah yang paling menonjol adalah munculnya persaingan harga iklan yang tidak sehat diantara sesama radio lokal. Demi mendapatkan pengiklan sebanyak - banyaknya, sebuah radio rela membanting harga spot iklan mereka hingga menjadi tiga ratus ribu sebulan untuk 5 spot per hari. Teman saya menyebutnya "obral harga diri radio"

Bagaimana kedalamnya? Lebih parah lagi.

Pertama, kurangnya regenerasi awak radio, dikarenakan kurangnya juga kesempatan pemula untuk belajar. Beberapa radio swasta dengan terang - terangan menerapkan sistem monarki dalam manajemennya. Bisa dibilang tidak ada kesempatan karir didalamnya, kecuali ditunjuk langsung oleh yang berkuasa. Penyebab berikutnya, pendapatan dari radio yang dirasakan belum mampu untuk bisa menjadi lahan hidup, sehingga awaknya kebanyakan menjadikan radio sebagai sampingan saja, dan ogah untuk bertahan. Kedua, kreatifitas yang harus mengalah dengan kemauan pengiklan dan kepentingan pemilik. Tidak ada istilah berpikir "out of the box" disini. Ketiga, Karena kurangnya pendapatan dan mahalnya melakukan riset, maka sebagian besar radio hanya mampu meraba - raba siapa khalayaknya, dan berhasil tidaknya program - program yang ada selama ini. Hasilnya? stasiun pun mencari cara cepat, yaitu menghitung jumlah pendengarnya lewat pendengar aktif (yang berpartisipasi dalam acaranya lewat telepon/sms/jejaring sosial) Keempat, kurangnya trainer yang melatih calon penyiar membuat kualitas mereka pun standar dan lambat perkembangannya. Apalagi setelah esok - esoknya berhadapan dengan masalah pendapatan, kebanyakan penyiar menjadikannya sebagai alasan untuk tidak disiplin dan malas mengaktualisasi diri. Lucunya lagi, bukannya "memaksa" penyiar untuk meningkatkan kualitas diri, yang ada justru manajemen membuat program yang menyesuaikan dengan kemampuan penyiarnya. Dan masih banyak lagi permasalahan lain, yang mengantarkan radio - radio lokal pada situasi "hidup segan matipun tak mau" Ibarat benang kusut, membutuhkan waktu yang lama dan konsistensi untuk menguraikan dan menyelesaikan permasalahan tadi. Tapi optimis saja, bukan tidak mungkin juga bisa diselesaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun